22. BERTAHAN
"Tapi, kalau keputusanmu bener-bener bulat buat berhenti, aku hanya minta satu hal. Jangan lakuin sekarang, nanti. Kamu harus tetep bertahan di sini. Setidaknya ... sampai O2SN berakhir."
Haura terpaku. Pandangannya masih menuju ke arah lain. Enggan menatap Luna meski sosoknya kini mulai mengayunkan tungkainya menjauh dari titik di mana ia berdiri. Decit sepatu hitam yang dikenakan anak berusia empat belas tahun itu bergesekan dengan paving jalan yang menghubungkan halaman belakang sekolah dengan gedung sebelah barat.
Lalu, saat sosoknya mulai hilang di balik pintu salah satu kelas, Haura baru menoleh dan mengusap sudut matanya yang berair. Bersama dengan menggemanya bel sekolah di setiap penjuru, tanda jam pelajaran akan segera dimulai.
***
"Tekanan hidrostatis merupakan tekanan yang diakibatkan oleh gaya pada zat cair terhadap luas suatu bidang tekan pada kedalaman tertentu.
Biar kalian makin paham sama konsep tekanan hidrostasis, sekarang ... bayangin kalau kalian lagi berenang bareng teman satu bangku kalian di kolam renang sedalam sembilan meter-dengan posisi tubuh kalian yang berada di dasar kolam sedang teman kalian di permukaan. Nah, kalian yang berada di bagian paling bawah, kepalanya pasti akan terasa lebih sakit daripada teman kalian yang ada di permukaan. Karena apa? Ya ... karena kalian mendapatkan tekanan dari zat cair, dalam contoh tersebut merupakan air dalam kolam.
Contoh lain, ketika kalian berlari di kolam renang, pasti akan terasa lebih berat dibandingkan berlari di lapangan, 'kan? Itu karena tubuh kalian mendapat tekanan dari air di kolam renang tersebut.
Baiklah, sekarang ... kita coba buktikan konsep ini dengan contoh yang lain, ya. Coba kamu perhatikan baik-baik gambar yang saya buat. Kira-kira ... manakah keran air yang saat dibuka akan mengucur paling jauh?"
Firdha, guru berkerudung hitam itu mulai mengetuk papan menggunakan spidol hitam. Meminta perhatian dari beberapa anak yang lengah dalam memerhatikan-tak terkecuali Haura. Anak berusia empat belas tahun itu tersentak dari lamunannya, kemudian kembali menaruh atensi pada gambar tangki air yang telah dibuat oleh Bu Firdha di papan tulis.
"Kamu kenapa, Ra?"
Pertanyaan tersebut berhasil membuat Haura mengalihkan pandang sejenak dari papan tulis dan menoleh ke sumber suara--Tsania.
"Kamu masih enggak enak badan, ya? Mau aku antar ke UKS?" Tsania bertanya, untuk yang kedua kali. Dari nada bicaranya yang merendah, ia terdengar khawatir.
"Bilang aja kalau kamu mau sekalian bolos," sahut seorang siswi yang duduk di belakang Tsania. Lalu, dia mengatupkan bibir dan menyunggingkan senyum saat melihat Tsania menoleh ke belakang.
"Bercanda, Tsan."
"Iya, tahu, kok." Tsania meloloskan cengiran sebelum kembali menatap Haura.
"Gimana, Ra? Kalau emang sakit, ayo ke UKS. Aku antar," katanya lagi.
Haura menggeleng. "Enggak usah. Aku enggak apa-apa, kok."
"Enggak apa, apanya? Dari tadi ngelamun terus, tuh. Enggak, kamu lagi enggak baik-baik aja, pasti!" Tanpa sadar, Tsania meninggikan suaranya hingga memecah senyap yang ada di ruang kelas.
"Tsania, fokus ke pelajaran!" Bu Firdha langsung menyeru dari depan kelas. Sesaat setelah menyadari kesalahannya, buru-buru sang pemilik nama menutup mulut dengan kedua tangan dan mengutarakan maaf.
Namun, bukan Tsania namanya jika tidak bisa diam. Tsania terus mendesak Haura tuk pergi ke UKS. Hingga sosok yang dia ajak bicara pun menghela napas pasrah, memilih mengalah daripada memperpanjang masalah.
Garis kurva melengkung ke arah atas tercetak di wajah Tsania begitu mengangkat tangan. Bertepatan dengan Bu Firdha yang selesai memberi perintah mengerjakan soal yang ia tulis di papan tulis. Tidak kalah semringah, beliau berkata, "Iya, Tsania? Mau coba kerjain soal ini? Nanti dapat tambahan nilai dari saya."
"Enggak, Bu," balas Tsania. "Saya mau ke UKS."
"Kamu sakit?"
Hening mengisi pendengaran. Tsania mengatupkan bibir dengan gerakan mata tak terarah. Bukannya ia kepayahan membalas. Hanya saja, otak cerdik Tsania kini mulai menyelami beberapa hal di luar nalar. Haura yang mampu membauinya secara gamblang pun hanya merotasikan mata dan mengembuskan napas kasar.
Atas apa pun yang akan atau tengah dilakukan oleh Tsania, drama atau apa pun itu, Haura pasrah saja. Toh, sekembalinya dia dari halaman belakang sekolah, fokus yang ia miliki tak sedang berada di tempatnya. Lagipula, selain karena pikirannya yang mulai melanglang buana, ada satu pasang mata beriris hitam yang menyorotnya tak biasa dari bangku depan sejak kali pertama dirinya menginjakkan kaki ke dalam kelas.
Amanda, siapa lagi kalau bukan dia?
Ringis tiba-tiba terdengar. Menginterupsi pikiran Haura hingga membuat dirinya kembali menaruh atensi pada Tsania.
"I-iya, Bu. Kepala saya pusing. Duh, kenapa, ya? Apa jangan-jangan karena kebanyakan minum es sama nyemil es batu?"
Tsania memulai drama. Dia mengusap keningnya yang jelas-jelas bebas dari keringat menggunakan punggung telapak tangan. Wanita yang berdiri di depan sana pun memudarkan senyuman, tetapi tetap mempersilakan Tsania untuk pergi meninggalkan kelas.
"Ayo, Ra!"
Kini, dua anak perempuan itu telah berada di luar ruangan. Mereka menyusuri koridor yang membawa keduanya di sebuah ruangan yang ada di gedung timur-menghadap langsung ke pohon trembesi raksasa yang menaungi halaman depan sekolah.
Tsania melepas cengkeraman tangannya pada pergelangan tangan Haura. Buru-buru dia membawa Haura masuk ke ruang UKS setelah melepas sepatu dan menyimpannya di rak depan. Seraya mendorong tubuh Haura agar sang empu bergerak menuju ranjang, Tsania bertanya, "Mau aku beliin teh hangat? Dari pengamatan yang aku lakuin setiap kali anak PMR kerja, apapun jenis penyakitnya, teh hangat solusinya."
Belum juga Haura membalas, Tsania sudah berkata, "Oh, satu lagi. Makan? Mau makan enggak? Nasi goreng? Nasi kuning? Nasi pecel? Nasi banting? Nasi kremes? Nasi sambel gledek? Mau enggak kamu? Atau mi? Mi goreng? Bakpau? Bakso? Sosis? Bilang aja mau apa. Aku beliin. Kamu kan butuh karbohidrat sama protein biar tetep sehat."
"Enggak usah," tolak Haura, tanpa jeda tanda dia mempertimbangkan kemurahan hati Tsania. "Aku enggak apa. Tadi pagi udah sarapan." Lalu, Haura mendudukkan tubuhnya di ranjang UKS.
"Enggak apa-apa dari mananya, deh? Aku lihat sejak masuk sekolah tadi, kamu enggak fokus. Enggak kayak biasanya. Belum sarapan kan kamu? Belum sepenuhnya pulih juga. Udah! Jangan ngerasa gak enak hati ataupun sungkan sama aku. Aku kayak gini ... karena enggak mau lihat kamu terus-terusan kayak gitu, Ra, sakit. Bentar lagi lomba. Kamu harus sehat biar bisa ikut tanding. Soalnya, kalau nggak ada kamu, tim rasanya nggak lengkap."
Senyum Tsania mengembang. Bersama dengan menjejaknya kaki milik anak itu ke luar ruangan. Ya, Tsania pergi. Merealisasikan segala ingin yang ada di pikirannya, tanpa bisa dicegah Haura.
Haura diam. Melihat kesungguhan dalam diri Tsania membuat gerigi dalam kepalanya bekerja lebih cepat dari sebelumnya. Di detik yang sama, saat pandangan Haura belum terputus dari ambang pintu UKS, kalimat yang ia dengar dari Luna-pagi tadi, kembali menyapa telinga.
"Gimana kalau mereka tahu anak yang selama ini berjuang bareng mereka malah keluar? Ya. Ninggalin sedikit dari tanggung jawab yang seharusnya ia pikul ke pundak anak-anak lain yang tersisa? Mereka pasti kecewa. Jangan hanya karena Amanda, kamu jadi ninggalin itu semua, Ra. Jangan."
Haura menggigit bibir bawah, erat-erat. Kepalanya mulai tertunduk perlahan selagi jari-jemari tangannya tergerak meremas seprai putih yang membungkus ranjang.
Barangkali ... ia hanya melebih-lebihkan, didesak oleh emosi akibat ucapan Amanda selepas sparing minggu kemarin. Pelaksanaan O2SN sendiri sudah menghitung hari. Bagaimana bisa Haura seenaknya keluar tim tanpa memikirkan perasaan anak-anak lain?
Tsania, Haura tidak sanggup membayangkan sebetapa marah, kesal, atau kecewanya anak itu saat mengetahui ketidakfokusannya hari ini bukan disebabkan oleh sakit, melainkan karena gelisah yang mendadak hilang timbul setelah menyuarakan keputusan 'keluar' pada Luna.
Setelah susah payah mempertahankan ego, meyakinkan diri sendiri bahwa keputusan yang ia ambil adalah benar, tembok yang dibangun Haura akhirnya runtuh juga.
Haura menggeleng pelan. Ini tak benar, menurutnya. Dia yang memulai, ia juga yang harus mengakhirinya, bukan? Jika Haura berhenti di tengah jalan, anak-anak lain-terutama Amanda, akan semakin kesal dan lantas menghakiminya sebagai pengecut. Tidak memiliki nyali. Bukan lagi sebagai angkatan tertinggi tak berguna yang selalunya menempati bangku cadangan. Bersembunyi di balik punggung para pemain muda yang memiliki kemampuan jauh lebih baik daripada dirinya.
Untuk saat ini, keluar bukanlah pilihan yang terbaik. Mungkin, Haura harus menangguhkan keputusannya untuk sementara waktu. Sampai O2SN berakhir, seperti apa yang telah dikatakan Luna sebelumnya.
---
June 09, 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro