Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20. PENGHAMBAT

"Terus kamu mau aku gimana? Percaya? Sama kayak apa yang diucapin Bata kemarin, gitu? Gak usah bahas masalah itu lagi. Aku udah coba buat percaya tadi, tapi nyatanya apa? Nangkep bola aja gak becus!"

"Haura .... udah dibilangin matanya pakai, tetep aja merem di lapangan. Dapet bola kaget. Radista sama Winola aja enggak sampai segitunya, tuh."

"Statusnya, sih, angkatan tertinggi. Eh, waktu main malah nol besar. Dua tahun ini belajar apa? Enggak ada peningkatan loh. Kalau kayak gitu caranya, kita bukannya menang, tetapi kalah. Otak yang encer itu dipakai juga dong di sini."

Haura menggigit bibir bawahnya erat selagi jemarinya meregang berulang kali di samping tubuh. Lalu, tangan perempuan berusia empat belas tahun itu pun meremas udara kosong dalam satu genggaman kuat yang lantas mengendur saat sang empu tangan menghela napas.

Hari ini, tepat saat jarum jam dinding menunjuk angka dua, langkah Haura terhenti di ruang depan.

Berat baginya untuk menapak. Karena itulah Haura menghentikan langkah. Meski akalnya meneriakkan hal yang sebaliknya. Bahkan, tangan Haura berakhir menggantung di udara, tidak sampai meraih sepatu olahraganya di atas rak.

Apa benar dia tak ada peningkatan selepas dua tahun menjadi bagian dalam ekstrakurikuler basket Spensaka? Jika memang benar demikian, nantinya dia hanya akan menjadi beban, bukan? Keberadaannya hanya akan menghambat langkah anak yang lain, bukan?

Arah langkah kaki Haura berubah. Dia kembali ke kamar, mengunci pintu, dan melempar asal ransel ke atas kasur. Kemudian, dia menarik kuncir rambut hingga membuat helai demi helainya jatuh mengenai punggung. Tatkala Haura berbaring dalam posisi terlentang di atas kasur, ketukan pintu terdengar dan membuatnya menoleh.

"Ra, kamu masih di dalam enggak? Botol minum kamu ketinggalan, nih!"

Itu suara mama, bukan kakak. Haura yakin. Laura memang kontra jika menyangkut masalah olahraga. Sama sekali tidak memberikan dukungan lebih, juga terus masa bodoh. Entah Haura mau melakukan apa, gadis itu tak peduli. Beda cerita jika menyangkut soal akademik; matematika, IPA, serta bahasa Inggris dan Indonesia, Laura akan menjadi sosok paling antusias dalam memberinya semangat.

Teguk demi teguk saliva mengalir membasahi rongga kerongkongan Haura yang mengering. Di dalam sana, gelisah perlahan menyeruak dan berhasil merangsang keringat dingin keluar lebih banyak dari pori-pori kulit.

Lalu ... Haura harus menjawab apa? Sedang dirinya mulai merasa rendah atas keterlibatannya dalam tim, yang sesuai ucapan Amanda, nol besar. Ada atau tidak adanya dirinya pasti bukan masalah besar bagi mereka, kan? Ia tak sepenting itu untuk dipertahankan.

"Haura?" panggil mama Haura, masih disertai ketukan pada daun pintu. Tak seperti sebelumnya, kini berhasil membuat Haura membuka suara.

"Aku tiba-tiba enggak enak badan, Ma. Hari ini aku enggak masuk aja."

Kenyataannya Haura malah bersikap bodoh dengan membuat sebuah kebohongan seperti itu. Meski telah menarik kesimpulan jika dia tidak seharusnya menjadi bagian dari mereka, tapi kepalanya mendadak pening. Penuh akan penolakan atas pergolakan emosi yang ia rasakan saat ini.

Demi menghindari tanya lebih dalam dari sang mama, Haura pun menambahkan, "Udah minum obat, kok, Ma. Sekarang aku mau tidur. Ngantuk."

Haura menggulingkan tubuh ke arah kanan, menghadap jendela kamar. Cahaya matahari masih berpendar terang di luar sana, tapi tak lebih panas dari sebelumnya.

Bersama detak jam yang terus memaksa berputar, matahari menyingsing. Hingga masa menginjak jam masuk ekskul. Haura yang mulanya telah gelisah, kini semakin gelisah lagi oleh keputusan sepihak yang dia ambil. Namun, ia tetap tidak beranjak dari tempatnya. Masih saja betah mengunci diri di dalam kamar.

Akan lebih baik jika tak pernah ada dirinya di sana. Perempuan payah sepertinya, tak pantas-atau tak akan pernah pantas, untuk berada di antara mereka.

Kelopak mata Haura memejam. Kini sosok Amanda beserta hujaman kata pedas yang anak itu ucapkan berputar cepat di kepalanya serupa lesatan kereta.

Barangkali, kata hatinya memang benar. Haura tak seharusnya bertahan-menjadi bagian dari mereka. Tiada pencapaian berarti yang tergenggam sempurna oleh telapak tangannya. Satu-satunya hal yang berhasil ia torehkan hanyalah kesalahan yang mampu membuat teman-temannya turut melangkah terpincang.

Menyedihkan.

Jika tak ada hal yang berakhir baik akibat eksistensi dirinya yang cenderung mempersulit jalan orang lain, untuk apa lagi Haura tetap berada di sana? Toh. Sejak Alika keluar, sudah tak ada lagi alasan bagi Haura 'tuk bertahan. Secepatnya, Haura harus meninggalkan tim basket Spensaka.

***

Decit sepatu berirama tidak teratur saling bersahutan dari lapangan. Meredam pembicaraan beberapa anak yang baru menuntaskan latihan dan kini tengah duduk di teras ruang olahraga.

Embusan napas gusar mengalir dari mulut Tsania selagi pandangannya tertuju ke pintu gerbang depan. Agaknya ia tengah menanti kedatangan seorang anak perempuan yang hampir dua tahun ini menjadi bagian ekskul basket Spensaka, bersama dirinya, juga kelima anak lain.

Haura. Siapa lagi kalau bukan dia? Sebab, di antara ketujuh anak kelas delapan yang hadir dalam latihan, hanya Haura-lah yang tak datang.

"Haura ke mana, sih? Enggak biasanya, loh, Zo, dia enggak datang. Biasanya juga kabar-kabar dulu ke aku."

Zora yang awalnya fokus memperhatikan delapan anak yang masih sibuk bergerak ke kanan dan ke kiri-mengikuti garis lapangan, langsung menoleh ke sumber suara dan mengernyit. Dia mengerjap, sejenak memindai satu per satu wajah yang tertangkap oleh retina matanya sebelum kembali menaruh atensi pada Tsania.

"Iya juga. Pantesan aku ngerasa kalau hari ini ada yang kurang. Ternyata aku sama sekali belum lihat Kak Haura, kecuali pagi tadi waktu sekolah."

"Iya, kan, Zo," balas Tsania segera. "Biasanya juga berangkat paling awal, tapi ... eh! Apa jangan-jangan Haura .... " Alis Tsania saling bertaut selagi kepalanya meneleng perlahan ke arah Zora. "Lupa?"

"Enggak mungkin. Masa iya lupa, sih, Kak? Setahu aku, Kak Haura bukan orang yang kayak gitu. Dia aja bela-belain pasang alarm pengingat setiap hari Rabu, Jumat, sama Minggu, biar enggak lupa masuk latihan," ucap Zora.

"Ya ... udah, sih. Kalau bukan lupa, berarti ketiduran."

Bukan Tsania yang berkata, melainkan Damar. Tubuh jangkung anak laki-laki itu bergerak mendekat selepas menyugar rambut kecokelatannnya yang basah karena keringat. Damar mendengkuskan napas berat. Lalu, dia menjatuhkan tubuhnya di sebelah kiri Tsania dan turut menyelonjorkan kaki seraya menyambar teko plastik.

Balasan belum juga diberikan oleh Tsania atapun Zora. Namun, sindiran tajam dari Amanda lebih dulu merebak ke indra pendengaran, dan memaksa setiap telinga yang mendengar untuk melekatkan pandang pada satu objek yang sama, Amanda.

"Padahal udah H-13 lomba, tapi malah gak datang latihan. Dia enggak niat, kali. Ya ... kalau enggak niat, harusnya Haura keluar dari dulu. Kenapa malah bikin masalah? Kalau kayak gini siapa yang susah? Kita juga, 'kan?" Setelah mengatakan itu, Amanda mendudukkan tubuh di bangku kayu dekat pintu ruang olahraga.

"Nggak bisa baca situasi," tambah Amanda, disertai decakan di akhir kalimat.

"Am," sela Luna segera, sedikit menekan. "Jangan ngomong gitu. Baru juga satu hari. Kalau Haura absen sampai satu bulan, kamu baru bisa permasalahin. Lagi pula kita enggak tahu Haura enggak masuk karena apa. Bisa aja sakit, tapi lupa ngabarin atau belum sempat."

"Sakit?" Amanda segera menyahut, dengan raut muka sinis yang tak dibuat-buat. "Tadi pagi waktu sekolah, dia baik-baik aja, tuh. Ketawa sama Tsania malah. Sakit dari mana coba?"

"Ya ... sakit hati, kali," ceplos Kemal seenak jidat. Ia baru tiba dari arah lapangan bersama Chan.

Serupa disengat listrik voltase sedang, Chan terbeliak dan memutar kepala empat puluh lima derajat ke arah Kemal. Sembari menyikut pinggang pemuda bertubuh gempal itu agar segera pergi meninggalkan Amanda, daripada berkelit dengan tajamnya lisan milik anak bertahi lalat itu, Chan berdecak kesal lalu berkata, "Jangan ikut-ikutan debat, Kawan. Bahaya buat kesehatan mental. Hati kita harus selalu bersih."

Namun, Kemal hanya mengedikkan bahu, tak acuh, sebelum bergerak menjauh dari teras ruang olahraga.

Luna menarik napas dalam, lalu mengembuskannya pelan. Sembari meletakkan bola yang belum lama ini diambil dari pinggir lapangan seberang ke atas tanah, Luna berkata, "Udah, jangan terlalu dipusingin. Nanti, pulang dari ekskul, aku mampir ke rumah Haura buat periksa kondisi dia."

---

June 02, 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro