18. TANJAKAN
Entah sudah berapa hari telah berlalu sejak kali pertama Abraham menginformasikan masalah sparing. Yang jelas selama itu pula, rasanya ia seakan meniti tanjakan aspal tanpa alas kaki. Demi mencapai puncak, kian berat saja rasanya. Namun, sesampainya dia di sana, bukan lega yang dirasa, melainkan sesak.
Kini, di bawah naungan pohon pinus peneduh taman, keenam belas anak basket Spensaka duduk melingkar. Hening yang menyelimuti bukan pertanda baik. Sebab, di hati masing-masing anak-lebih-lebih Haura-tengah bergumul rasa panas yang tak bisa diungkapkan dengan kata. Begitulah, lagi-lagi ... Amanda yang jadi pemicunya. Kali ini bukan karena singgungan pedas, tapi karena cara mainnya yang sangat buruk. Cenderung individualis, dan yang paling membuat kesal ialah ... Amanda kekeh pada hal tersebut.
Raut wajah Bata kelewat masam sejak pertandingan tim basket putri berakhir. Ya, meski sebetulnya, mereka bukan termasuk tanggung jawabnya-di luar kuasanya. Namun, anak itu agaknya tak bisa tinggal diam. Kemelut yang tercipta benar-benar mengganggu pikiran. Bahkan sejuknya embusan angin serta dingin udara oleh karena tingginya kadar oksigen yang dihasilkan tanaman hijau di area belakang stadiun kota tidak berpengaruh dalam mendinginkan suasana.
Bata membuka pembicaraan dengan helaan napas berat. Setelah sepenggal kata panggilan pada Amanda diucapkan, Bata mengerling ke arah sang pemilik nama dan berkata, "Hari ini, main kamu jelek banget, Am."
Belasan anak yang sebelumnya lebih memilih diam-enggan angkat suara jika itu hanya akan memperkeruh suasana, seketika melekatkan pandang pada Bata. Anak itu tampak duduk di atas bangku kayu pinggir lapangan dengan selembar kaus hitam tersampir di bahu kiri. Kini dia bersama tujuh anak laki-laki lain tengah menunggu giliran untuk bertanding dengan anak-anak Cancers.
"Ayolah," ucap Bata lagi. "Kalian berlima, loh. Kenapa passing cuma ke Luna dan Tsania? Zora, Haura, kosong. Masa ke Luna dan Tsania terus, sih? Jelas banget mereka dijaga ketat. Satu lagi, kalau enggak kuat drive ... jangan maksa, Am. Peluang kalian banyak, tapi kebuang sia-sia. Mas Abraham kalau sampai tahu soal masalah ini, bakal marah banget.
"Inget, O2SN udah deket. Akhir bulan Maret udah technical meeting. Kalau cara mainmu masih kayak gini, lomba nanti gimana, coba? Kita full team, bukan three on three. Latih diri sendiri buat percaya sama temen. Kasih mereka kesempatan buat pegang bola. Biar nggak muter di depan aja."
Amanda--sosok yang diajak bicara, sedikit pun tak menunjukkan sikap antusiasnya pada pembahasan. Setidaknya, seacuh tak acuh apa pun dirinya, ia tetap harus memberikan balasan singkat-atau paling tidak sekadar mengangguk agar sang lawan bicara tahu dia benar mendengarkan, bukan? Alih-alih demikian, anak itu justru menandaskan segelas air mineral, mengambil hoodie pink dan ransel dari bangku kayu yang diduduki Bata dengan asal, sebelum melangkah menjauhi kelima belas anak.
"Duluan, ya. Aku ada urusan," pamit Amanda tanpa menoleh. Ia hanya terus berjalan hingga tubuhnya menghilang dari pandangan semua orang.
***
"Ck!"
Dentum terdengar begitu buku jari Kemal jatuh menghantam permukaan meja besi. Gerakan Haura yang hendak menggulung mi dalam cup pun terhenti. Bersama belasan anak lain, ia menoleh dan melekatkan atensi pada Kemal.
"Kenapa, sih, Kawan? Hari ini, bawaannya emosi terus." Seraya memasang raut muka jenaka-seolah tak terpengaruh oleh kemelut yang makin menyelimuti anak basket Spensaka selepas Amanda angkat kaki dari lapangan basket stadiun kota, Chan terkekeh pelan dan mencomot pisang goreng di atas meja. "Enak, loh, Mal. Yakin kamu enggak mau? Aku habisin kalau kamu-"
"Aku tau Kakak mau cairin suasana." Bukan Kemal yang memotong, tetapi Rafael. "Tapi, orang-orang, kayaknya lagi enggak ada mood buat becanda."
Tepat saat pandangan Chan mengedar, Haura memalingkan wajah. Anak itu menunduk dan kembali menggulung mi goreng cup. Meski fokusnya tidak tertuju pada mereka, tapi telinganya tetap awas dalam menanti kelanjutan ucapan mereka.
"Ya, udah, iya. Oke," balas Chan, pasrah. "Terus ... aku harus gimana, dong?"
"Diam aja udah paling bener, Kak." Zora menyahut usai menandaskan sebotol minuman teh. Lalu, ia mengusap sudut bibirnya yang basah dengan lengan kanan. "Tapi, kalau diem terus juga nggak betah. Pengen sambat dan balik marah-marah aja rasanya. Kita kan juga punya hak buat ungkapin keluh kesah. Bukan Kak Amanda aja. Tapi, kalau iya, belum tentu dia mau dengerin kita."
"Curhat?" tanya Tsania. Namun, tak mendapat balasan dari Zora, sebab perhatian anak itu lebih dulu teralihkan pada Kemal.
"Iya, kan, Zo! Amanda didiemin malah nglunjak. Yang bikin aku kesel, dia tadi langsung pergi gitu aja." Kemal menggerutu sebal. Dia menghela napas, lalu berkata-menirukan nada bicara Amanda, "Duluan, ya."
Jeda sejenak, sebelum Kemal mendecak penuh kesal dan kembali bersuara, "Itu lebih penting dari sparing, emang? Mana gak pamit ke pelatih. Ya. Aku tahu kalau Mas Abraham datangnya telat dan kemungkinan besar gak bisa dampingin anak perempuan, tetapi buat yang tadi keterlaluan banget sih. Setidaknya bisa nunggulah sampai Mas Abraham datang. Masa nunggu lima menit aja keberatan?"
"Sabar, Kawan." Chan menepuk pelan pundak Kemal. Meminta agar anak bertubuh gempal itu menenangkan diri.
"Enggak bisa, Chan. Sabar banget luasnya. Perlu berapa kilometer persegi lagi biar cukup, ha?" Kemal membalas dengan nada sedikit membentak, setelah menepis kasar tangan Chan.
Sendok dan gelas berdenting begitu Luna menyudahi minumnya. Kini, seluruh anak mengalihkan pandang padanya. "Udah, deh, Mal. Amanda itu urusan anak perempuan. Kenapa kamu ikutan marah-marah?"
"Enggak boleh emang?" Mimik muka Kemal berubah lebih sinis dari sebelumnya. "Bata juga marah-marah kan tadi. Lagi pula ini bukan masalah urusan laki-laki ataupun perempuan, tapi sopan-santun, Lun."
Tsania tergelak. Dia meredakan tawa begitu Kemal menyorotnya tajam dari bangku pojok depan.
"Ngetawain aku, Tsan?"
"Sorry. Niatnya enggak, sih, Mal. Aku cuma agak kaget aja kamu bicara soal sopan santun. Padahal sendirinya juga suka seenaknya aja," balas Tsania.
"Nah, iya, bener!"
Masih dengan mulut penuh kunyahan pisang goreng, Chan mengangguk mantap. "Datang bukannya salam ataupun ketuk pintu, tapi malah marah-marah, teriak, ngedumel. Siapa yang enggak kaget, coba?"
Buru-buru Kemal memalingkan wajah, menghindari tatapan jenaka yang diberikan oleh Tsania dan Chan.
"Itu dulu. Sekarang aku udah coba buat introspeksi, tahu. Sedikit demi sedikit. Oke ... balik lagi ke Amanda. Emang kalau sudah jadi anak kepercayaan bebas buat pulang pergi tanpa pamit? Mana dia nggak ngehargain Bata. Niat Bata baik, tapi respons Amanda malah kayak gitu. Bikin sakit hati. Ah ... iya, deh. Si paling spesial mah beda. Anak emas secara. Aku mah apa? Pungut?" sungut Kemal.
"Udahlah!" Suara tegas Bata merebak di udara, membuat Tsania yang hendak bersuara langsung mengatupkan bibir lagi. "Kenapa malah kalian yang ribut, sih? Sekarang, mending diem. Makan mi. Keburu dingin. Gak enak. Soal Amanda, masih bisa kita bicarain besok. Masih ada satu kali sparing sama Cancers, bukan? Semoga aja Amanda udah bisa diajak ngomong, dan dia mau dengerin kita."
Mendengar titah tidak terbantahkan dari kapten tim basket putra, belasan anak-yang entah sedari tadi ikut meluapkan kesah atau sekadar menyimak pembahasan, satu per satu mulai memalingkan wajah. Masih di tempat yang sama, Haura menunduk dalam diam. Dia menghela napas kemudian menyendok mi yang setengah dingin ke mulutnya. Hari ini, baik perasaannya ataupun Spensaka, rasanya kacau sekali.
---
May 23, 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro