
16. TANDING
"Dua minggu lagi kita sparing sama anak-anak Cancers. Jadi, mulai minggu depan-hari Rabu, kita bakal latihan pola, ya," ucap Abraham pada kedua belas anak. Lalu, ia bersidekap dada. "Karena fast break, under ring, dan lay up udah selesai, satu jam sebelum pulang ... kita nyantai aja, ya."
Yes, mengalir dari mulut seseorang. Entah siapa, yang pasti sang empu suara berada di ujung barisan sebelah kanan. Haura menoleh, mendapati Kemal yang bersorak dalam diam. Bukan hanya Kemal, tetapi juga Galih yang berdiri tak jauh dari sana. Meski tak seheboh Kemal.
"Nyantainya bukan berarti leyeh-leyeh atau enggak lakuin apa pun. Kita tetep latihan, tapi santai. Tenang, enggak terlalu berat, kok."
Seraya mengedarkan pandangan, Abraham lanjut berkata, "Passing lima puluh kali, tanpa jatuh. Bagi empat." Tangan Abraham terangkat, lalu menunjuk empat titik sudut dalam setengah lapangan.
"Passing-nya pakai bola pasir yang ada di ruang olahraga. Tenang, gak ada target waktu. Jadi, sesuai ucapan saya tadi, nyantai aja. Step by step-nya kalian masih inget, kan? Kalau iya, bagus. Makin cepet kalian selesai, makin cepet kalian pulang," jelas Abraham.
Dengkus kecewa pun terdengar dari masing-masing hidung. Rupa-rupanya, ekspektasi mereka mengenai kalimat; kita nyantai aja dan enggak terlalu berat, kok, yang diucapkan Abraham itu terlalu tinggi. Hingga saat Abraham benar-benar memungkasi ucapannya, mereka bak dihempas dari langit ke Bumi.
Latihan kali ini memang santai, tidak terlalu berat. Ya, meskipun, tak dapat dipungkiri akan menguras tenaga yang tidak bisa dibilang sedikit. Apalagi jika pengulangannya dilakukan secara berkali-kali.
Cekatan, kemampuan berpikir cepat, dan menempatkan diri sangat dibutuhkan di sini. Tidak fokus sedikit, sudah pasti akan menimbulkan kesalahan. Dampaknya tidak hanya bagi diri sendiri, tapi juga orang lain.
Banyak anak yang dibuat emosi oleh karena mereka harus mengulang hitungan hanya karena satu pihak yang membuat kesalahan. Entah terlambat bergerak maju, tak sanggup menangkap bola yang di-passing, ataupun salah mengambil posisi.
Satu hal yang menguntungkan di hari ini, Amanda tak datang. Bisa-bisa anak itu makin kesetanan lagi karena tidak bisa membendung amarah.
"Nyantai dari mana? Kalau enggak selesai-selesai, kita yang jadi roti panggang." Kemal melontarkan protesan selagi tubuhnya bergerak mengikuti Chan dan Galih.
Seraya mengangguk, Galih menimpali ucapan Kemal, "Iya. Mendingan juga diwaktuin. Jelas selesainya kapan."
Haura, oleh karena dirinya berjalan ke arah yang sebaliknya-menjauh-maka suara Kemal dan Galih hanya sebatas desau lembut yang merebak ke telinga. Lalu, dia menarik napas dalam dan mengembuskannya pelan. Detik yang sama, peluit Abraham pun melengking nyaring di udara.
Latihan dimulai. Kini, masing-masing dari mereka mencoba fokus pada apa yang dikerjakan.
Dimulai dari Vanda yang berlari dua langkah ke depan sembari memantulkan bola ke lapangan lalu mengoper benda bulat tersebut pada Chan. Vanda mengubah arah gerak kaki, menempati titik sentral guna menerima bola dan mengoperkannya pada Radista. Begitu seterusnya hingga masing-masing anak mendapat giliran delapan kali passing dalam satu kali putaran.
"Ayo, semangat! Emang kalian enggak pengen pulang cepet?" seru Abraham.
Selepas mengoper bola pada Theo, Haura mengisi kekosongan di barisan Luna. Ia memandang jauh ke pinggir lapangan. Di sana, Abraham terlihat berkacak pinggang seraya menatap lekat jam tangan.
"Iya juga. Hari ini, umi masak ayam balado. Jangan sampai waktu aku pulang, pahanya udah ilang," gerutu Chan. Intonasinya yang keras mengundang atensi setiap anak untuk tertuju padanya, meski hanya sebentar.
"Makanya kau fokus. Biar cepet selesai," ucap Luna. Dia memperhatikan pergerakan anak kelas tujuh, lebih-lebih Winola dan Radista. Mereka kepayahan dalam menerima passing bola. Tangkapannya pun hampir meleset hingga mengundang ngeri di diri beberapa orang yang melihat.
"Oke!" Chan mengucapkannya lantang sebagai respons atas perkataan Luna. Kemudian, dia menepuk punggung Kemal pelan. "Ayo, Mal!"
"Ke mana? Makan ayam balado? Ayo aja."
Tawa beberapa anak-termasuk Haura, seketika meledak. Agaknya celetukan Kemal mampu mencairkan suasana yang ada.
Sosok yang menjadi lawan bicaranya merotasikan bola mata lalu menjawab, "Ya ... bukan itu maksudnya." Chan berdecak. "Aih, ratain, Mal. Biar cepet selesai."
Dan, begitulah. Haura tahu pasti, serta dapat menduga, sebab itu bukanlah hal yang terjadi baru-baru ini. Tepat setelah Chan menuntaskan perkataannya, latihan lebih cepat selesai dari biasanya.
***
"Anak-anak Cancers itu bukan anak SMA, 'kan?"
Haura mendudukkan tubuh, lalu meraih teko plastik yang baru ditinggal oleh Theo. Sejenak dia membiarkan pertanyaan Zora menggantung tanpa balasan yang pasti di udara, selagi dirinya menenggak beberapa teguk air.
Setelah melepas dahaga, barulah ia berkata, "Sayangnya iya, anak-anak SMA. Beberapa udah lulus malah."
"Wow."
Hanya itu balasan Zora, tak ada lagi tambahan kata darinya. Detik berikutnya, Zora justru menyibukkan diri memandang ke sekitar. Tampak burung-burung beterbangan di udara, melawan terik matahari yang menyengat.
Mendapati hening yang menyelimuti keduanya, Haura menoleh lalu bertanya, "Kenapa emang?"
"Enggak kenapa-kenapa. Aku cuma penasaran. Kenapa Mas Abraham suka nyari lawan sparing-yang jelas-jelas dilihat dari skill dan power, jauh lebih baik dari kita?"
Lalu, dengkus tawa sehela mengalir dari mulut Zora saat ia menundukkan kepala. "Anak SMP lawan SMA? Bukannya itu enggak seimbang? Kita jelas kalah, Kak."
"Kalau bicara soal kalah ... emang udah pasti iya, Zo. Persentase aja kukira cuma tiga puluh persen." Bukan Haura yang menjawab, melainkan Luna. Dentum bola terdengar bersama dengan hadirnya sosok itu di teras ruang olahraga.
"Tapi, meski berakhir kalah, itu oke, sih. Bukan ide buruk." Luna melanjutkan ucapannya. "Skill kita gak bakal stuck di itu-itu aja. Sebatas tingkatan anak SMP. Kita bisa sekalian belajar, Zo. Kalau kita terbiasa main lawan anak setingkat SMA yang pasti dari segi apa pun jelas lebih unggul dari kita, se-tingkat SMP pun rasanya bukan jadi masalah. Toh ... namanya juga latih tanding. Harusnya, sih, menang atau kalah bukan masalah. Mas Abraham pun bakal lebih nuntut kita buat main yang bener daripada menang."
Zora mengangguk, tepat setelah Luna menuntaskan ucapannya dan melenggang masuk ke ruang olahraga. Anak itu meletakkan bola basket serta beberapa cone ke tempatnya semula, sebelum keluar, mengunci pintu, dan berkata, "Kalian enggak buru-buru buat pulang, 'kan?"
"Hm, kalau aku, sih, enggak, Lun. Nyantai," balas Haura. "Ada apa?"
Garis senyum tercetak di wajah Luna. "Beli mi ayam dulu, yuk! Aku traktir, deh. Soalnya, hari ini aku ul-"
"-lang tahun?" potong Zora segera. Air mukanya seketika berubah. Kini jauh lebih berseri daripada sebelumnya.
Zora bangkit, kemudian ia melangkah mendekati Luna. "Hari ini Kakak ulang tahun?" Dia bertanya lagi.
Luna mengatupkan bibir. Matanya bergerak ke arah lain, mencoba menghindari tatapan ambigu Zora yang seolah mengatakan bahwa dia akan berbuat 'macam-macam'.
Membaui adanya kesialan yang akan menghampirinya beberapa saat lagi, Luna pun meringis.
"Kak Haura, ambilin selang! Semuanya, bantu aku kejar Kak Luna! Hari ini dia ulang tahun."
Begitu pekik itu mengudara, Luna langsung tancap gas. Ia mengambil langkah seribu, berlari meninggalkan Zora bagaikan rusa yang dikejar predator buas di sabana.
Haura terkekeh. Ia mendapati Theo, Rafael, Galih, serta Malik mulai berlari menyusul Zora. Kelimanya membawa segayung air di masing-masing tangan sembari berlarian mengitari lapangan. Sesekali meloloskan titah berhenti yang pastinya sama sekali tidak dihiraukan oleh Luna.
---
Important for you to know:
Fast break (istilah penyerangan dalam basket): situasi ketika terjadi serangan cepat dan peralihan dari bertahan ke menyerang. Serangan balik ini cukup dengan satu sampai tiga umpan saat mendapatkan bola.
Under ring: tembakan dari posisi bawah ring setelah melakukan dribble atau mendapatkan operan.
---
May 16, 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro