15. PANDANGAN
"Aih, sampai sekarang, aku bener-bener enggak bisa lupain soal kemarin." Zora berdecak. Dia bangun dari posisi berbaring sebelum berbalik badan dan bergerak mendekati Haura dan Luna.
"Soal kemarin apa? Latihan kuda-kuda? Sama kalau gitu." Luna menekuk dan menepuk lutut.
"Masih nyeri sampai sekarang. Kemarin parah banget. Mana nanti kita masih harus latihan itu lagi."
"Iya, tambah tiga menit enggak, sih?" sahut Haura tanpa menoleh. Ia sibuk menyantap nasi bungkus.
Luna mengangguk, membenarkan ucapan Haura. "Tujuh menit aja otot aku rasanya udah kayak kebakar, apalagi sepuluh? Tapi, enggak apa-apa! It's okay." Luna mengangguk mantap, dengan tangan kanan mengepal erat di samping dada. "Demi O2SN, kita dilarang ngeluh. Semangat! Bukan cuma aku, tapi kalian juga, ya."
"Ih, bukan soal latihan kuda-kuda, Kak Luna." Zora menimpali balasan Luna yang sebelumnya.
Fokus Haura beralih. Kini dia mengerling ke arah Zora, menanti kelanjutan ucapan anak berusia tiga belas tahun itu selagi sang empu kata mengedarkan pandangan, memindai keadaan sekitar.
Haura mengernyit, heran dengan apa yang tengah dilakukan Zora. Mencari keberadaan seseorang, atau mungkin ... memastikan ketidakadanya presensi orang lain-selain mereka bertiga, di sana. Ya, bagaimana pun, hari ini masih terlalu pagi untuk dapat digunakan latihan sesuai jadwal yang telah ditentukan. Oleh karena sengaja berangkat lebih awal, jadilah ketiganya duduk lesehan di teras ruang olahraga.
"Maksud aku Kak Amanda."
"Oh, soal omongan dia yang kemarin, ya?" Luna membalas sembari mencomot kerupuk udang milik Haura lalu mengunyahnya dalam sekali lahap.
"Iya, Kak," balas Zora. "Beberapa hari terakhir ... Kak Amanda jadi lebih kalem dari biasanya. Suasana ekskul pun adem ayem. Kalau gak salah dia jadi kayak gitu sejak hari Rabu, minggu kedua kita masuk latihan, 'kan? Sejak Kakak sama Kak Bata marah-marah soal .... " Ucapannya menggantung. Ekor mata anak itu melirik Haura.
Perempuan berambut hitam yang dikuncir setengah itu hanya menghela napas pelan, sebelum kembali melahap nasi berlaukan mi dan sambal goreng di depannya.
"Maaf, Kak. Aku enggak bermaksud buat .... "
"Udah," sela Luna. "Langsung ke intinya aja."
Zora mengerling ke arah Luna. Dia mengangguk, lalu berkata, "Ah ... itu, setelah denger ucapan Kak Amanda soal kita yang 'katanya' enggak punya niat latihan dari awal, aku jadi ngerasa sedih aja."
Zora terkekeh. Luna dan Haura-yang meskipun tampak tak acuh pada sekitar oleh karena fokus pada makanan, tetap memasang telinga, menanti kelanjutan ucapan Zora.
"Kak Amanda selama beberapa hari terakhir lebih banyak diam. Aku kira ... dia udah mau damai sama kita-kita. Dengerin ucapan Kakak sama Kak Bata, lah. Tapi, ternyata enggak. Enggak sama sekali. Dia malah ngomong ke Mas Abraham kalau kita ... enggak punya niat buat latihan."
Lalu, Zora memeluk lutut dan membagi tatapnya pada Haura dan Luna.
"Kalian enggak ngerasa sakit hati soal itu? Selama ini, ternyata pandangan Kak Amanda soal kita, ya ... itu. Enggak punya niat latihan. Padahal, apa yang dia omongin belum tentu sesuai kenyataan. Aku gak habis pikir dia bisa ngomong gitu soal kita. Pakai nada nyindir pula. Wajar aja kalau Kak Kemal ikutan marah. Aku lihat dari sisi mana pun rasanya dia kayak mojokin kita terus, tuh. Dia punya masalah apa, sih?" gerutu Zora sebal.
Luna menarik napas dalam, lalu mengembuskannya pelan. Seraya meluruskan kedua kaki, dia menegakkan punggung dan bersandar ke tembok. "Kalau bicara soal sakit hati, ya ... iya. Aku juga ngerasain, tapi mau gimana lagi, Zo? Kayak enggak tahu Amanda aja.
Tahan aja dulu. Jangan terlalu dimasukin hati, tapi juga jangan terlalu enggak dipeduliin. Dibiarin masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri, gitu aja. Amanda itu ... dari apa yang aku lihat, dia enggak bisa ungkapin perasaannya dengan cara baik-baik, lembut. Penyampaian Amanda itu kurang. Enggak bisa sampai ke hati orang. Nyakitin perasaan malahan. Meski gitu ... percaya, deh, niat Amanda baik."
"Baik?" Zora mendengkus tawa sehela. "Niat baik dari mana? Kak Amanda mojokin kita terus, loh. Mas Abraham aja jadi ikutan ke-triggered. Tanya-tanya kita soal 'emang bener ada anak yang gak punya niat buat latihan'. Sampai ngomong; keluar aja kalau emang iya. Dia nyeret kita ke dalam masalah, Kak. Padahal, belum tentu kita semua gitu kan. Kayak yang aku ucapin tadi."
Sebelum benar-benar memungkasi ucapan, Zora menatap Haura.
"Iya, kan, Kak? Kata aku bener, 'kan? Jangan diem aja, dong," tanyanya, meminta persetujuan.
Gerakan tangan Haura yang hendak menyendok nasi terhenti. Haura termenung sejenak. Ini lebih ke arah mencermati tiap katanya, bukan karena dia tak menyimak pembahasan mereka.
"Iya."
Hanya itu yang Haura ucapkan. Tiada kata tambahan, sebab dia tak tahu harus menanggapi apa. Kemudian, tatapan Zora kembali tertuju pada Luna. Dia hendak bersuara. Namun, derap kaki seseorang lebih dulu terdengar dan menginterupsi pembicaraannya.
"Wah, makanan!" Binar menghiasi manik hitam anak bergigi gingsul itu begitu tiba di hadapan Haura. Tanpa memutus pandang dari Haura, Chan mengambil duduk di bangku keramik dekat wastafel.
"Beli di mana, Ra?" tanya Chan.
"Pasar. Tadi sebelum ke sini sengaja mampir."
"Oh," Chan mengangguk paham selagi jari telunjuk kanannya bergerak menggaruk pelipis kepala. Tak lama kemudian, ia terkekeh. "Kirain toko bangunan."
Luna tergelak. "Toko bangunan, ya, jual material bangunan, lah, Chan. Chandra Widiatmadja. Mana ada yang jualan nasi bungkus? Jangan aneh-aneh, deh."
"Becanda, Kawan." Kekehan Chan mereda. Lalu, ia melempar benda pipih berbaham logam dari dalam genggamannya pada Luna.
"Titipan kawan baik aku, Bata."
***
"Kita fast break kanan-kiri dua puluh lima dengan waktu sepuluh menit, ya. Gagal langsung lanjut urutan selanjutnya. Cewek satu kali dribble, kalau cowok tanpa dribble. Komposisi pemainnya campur enggak masalah, yang penting bisa menyesuaikan dan teknik yang kalian pakai bener. Terakhir, jangan lupa larinya melengkung."
Menanggapi ucapan Abraham, seluruh anak mengangguk kompak. Ya, meski beberapa di antara mereka tampak memasang raut muka keberatan. Tak se-excited hari-hari biasanya.
Tidak! Ini bukan perkara mereka malas latihan. Apalagi tidak memiliki niat, seperti singgungan Amanda di hari sebelumnya. Mereka hanya lebih dulu merasa pesimis mengenai bisa atau tidak memenuhi target Abraham. Mengingat hari ini ada empat pemain unggul, seperti Bata, Damar, Amanda, dan Tsania yang absen latihan.
"Udahlah, pasrah aja."
Haura hampir tersedak oleh air liurnya sendiri begitu mendengar ucapan Kemal. Lihatlah, bahkan anak yang meski suka bertindak seenaknya, tapi paling over power itu, sampai pasrah pada keadaan yang ada.
"Kita tanpa Bata bagaikan kerupuk pecelnya Mbak Nur, Chan. Melempem."
"Emang iya?" balas Chan. "Kemarin aku beli enggak melempem, tuh. Ah, kayaknya kau kurang beruntung, Kawan. Makanya kalau mau apa-apa bismillah dulu biar dikasih yang terbaik sama Yang Kuasa."
Seraya bergerak mengikuti tubuh Theo untuk kemudian berbaris di belakangnya, Haura menyimak pembicaraan Chan dan Kemal. Siraman rohani agar rajin menjalankan salat kembali dilontarkan oleh anak itu. Entah betul atau tidaknya Kemal menyimak dan menyelami ucapan Chan-yang sebetulnya-Haura pikir tak ada sangkut pautnya dengan kerupuk Mbak Nur. Korelasinya apa, coba?
Haura heran. Namun, dia tidak sampai larut dalam memikirkannya. Sebab, tepat sebelum peluit Abraham melengking nyaring di udara, Luna berseru, "Semangat! Yakin dulu kalau kita bisa, jangan pesimis. Ya, anggap aja ini latihan buat main tanpa pion penting di lapangan."
---
May 12, 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro