Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14. KONSISTEN

Tiga setengah menit telah berlalu sejak tiupan pertama peluit Abraham terdengar. Menggemakan kata 'mulai' di gendang telinga setiap anak yang berdiri di delapan titik cone yang berbeda.

Kini, mereka sibuk dengan diri masing-masing. Memacu kaki untuk terus melangkah agar bisa memangkas jarak antara satu sama lain sekaligus mengejar ketertinggalan angka atas waktu yang diberatkan. Meski kenyataannya, waktu berotasi sedemikian lambat. Demi mencapai satu menitnya saja bagaikan melintasi gundukan bebatuan raksasa di padang tandus. Berat, serta membutuhkan tekad berlebih. Tak hanya sekadar perasaan 'harus melakukan'-nya saja.

Lantas bagaimana dengan delapan anak lain yang belum mendapatkan kesempatan lari? Tidak! Jangan berharap lebih dengan membayangkan mereka duduk santai di pinggir lapangan. Apalagi sembari menenggak minuman dingin 'tuk melepas dahaga di tengah teriknya sinar mentari. Sebab, alih-alih santai-lega karena giliran mereka masih tujuh menit lagi, seluruhnya justru tampak tegang. Tak ada yang berhasrat mengawali pembicaraan.

Mereka-termasuk Haura, berdiri di titik nol dengan napas tersengal serta jantung bertalu tanpa sadar saat rungunya menangkap dengkus berat mengalir-secara bergantian-dari mulut beberapa anak yang mendekat.

Hal tersebut terjadi tak sebentar tentunya. Sedari masa bergulir ke menit empat hingga menuju ke penghujung waktu, embusan napas yang Haura dengar makin berat saja di telinga. Bahkan bisa membuat dadanya sesak.

"Kan! Lama enggak lari, badan kalian jadi kaku dan lemas semua." Abraham berseru lantang dari pinggir lapangan, dengan dua tangan terlipat di depan dada.

Manik hitam pria itu awas melihat tubuh delapan manusia. Beberapa di antara mereka kini tampaknya mulai dibuncah panik oleh karena target yang belum terpenuhi. Sisanya pasrah dengan apa pun hasil yang akan mereka dapat, pun santai dan tak merasa cemas, meski target belum tuntas.

Lalu, pandangan Abraham beralih pada delapan anak yang masih mendiami daratan tempat mereka berdiri. Di titik nol, tepat di belakang cone. Seluruhnya menoleh serempak, membalas tatapan Abraham yang rasa-rasanya lebih tajam dari sebelumnya.

Sebentar, apa yang terjadi dengan Abraham? Apakah dia ... marah?

"Dua minggu kemarin kalian bener-bener lari, kan?" tanya Abraham memastikan. "Bentar lagi udah mau masuk minggu ketiga, loh. Kenapa udah K.O duluan? Dari yang saya lihat, kalian ... larinya kurang mantep. Lemes. Terutama anak perempuan. Sebagian besar kayak gitu soalnya. Anak laki-laki, sih, masih aman."

Alis Abraham menukik perlahan selagi iris matanya bergerak memindai wajah satu per satu anak. Tatapan curiga lamat ia berikan dan hal itu mampu terbaca oleh indra penglihatan Haura. Anak itu meneguk saliva sekali, sejenak melupakan hitungan lari milik Bata. Biarlah, toh, perolehan lari Bata sudah lebih dari sembilan puluh lima. Ya, dengan kata lain, Bata telah melebihi target Abraham.

Amanda, anak yang sebelumnya memang telah diberi kepercayaan serta tanggung jawab berlebih dalam hal pengawasan, langsung mengambil alih pembicaraan. "Iya, bener-bener lari, kok, Mas," jawabnya.

"Enggak ada yang motong jalan dan tetap berpegang teguh sama waktu. Ya ... meski ada beberapa anak yang masih telat, enggak berubah jadi lebih baik. Tetep sama kayak minggu sebelumnya, bahkan lebih molor dari itu.

"Saya nggak tahu kenapa bisa nggak ada peningkatan, Mas. Normalnya, orang kalau ngerasa usahanya belum cukup baik, masih kurang, ke depannya bakal berusaha buat lebih baik lagi. Ya, kecuali kalau mereka nggak punya niat latihan dari awal. Iya, 'kan?" tanya Amanda, diakhiri anggukan.

Haura meringis sebentar sebelum berdecak sebal dan mengerling ke arah Amanda. Jujur, di satu sisi ia merasa tertohok dengan ucapan yang baru dia dengar. Bagaimana tidak? Hal itu menyangkut masalah dirinya yang belum mampu memenuhi target. Bahkan, sesuai ucapan Amanda, lebih molor dari sebelumya.

Namun, tidak dengan anggapan: tak niat latihan yang Amanda sebutkan di akhir kalimat. Haura tidak merasa demikian. Sungguh, ia merasa tersinggung. Sebetulnya, apa yang tengah dipikirkan Amanda sekarang?

"Ck." Gesekan antara sepatu dengan permukaan kasar lapangan terdengar begitu sosok bertubuh gempal yang berdiri di sebelah kiri Haura menggerakkan tubuh.

Haura menoleh, lalu mendapati raut murka dalam wajah Kemal.

Sebentar! Kenapa jadi seperti ini? Anak itu, Amanda, agaknya dia benar-benar memantik sumbu emosi dan Kemal berhasil dibuat tersulut karenanya. Meski dirinya bukan termasuk anak yang dibicarakan Abraham.

Demi mencegah terjadinya hal kurang mengenakan, Haura buru-buru mendekat dan menarik Kemal yang hendak beranjak dari tempatnya ... ke belakang. Haura mendongak, lalu menoleh ke arah kiri ketika menyadari segenggam tangan lain turut menyentuh bahu Kemal.

"Tenang, Kawan."

Chan--si pemilik tangan, bergerak cepat dari arah belakang, ke depan Kemal. Menghalau pandangan pemuda itu dari sang sumber masalah. Dua telapak tangannya terbuka dan secara bersamaan menepuk pelan bahu Kemal.

"Tenang." Chan mengulang perkataannya. Lalu, ia menambahkan, "Tarik napas .... "

Kemal menghela napas pelan. Dia memalingkannya wajah lalu merotasikan mata. Bukan karena dirinya tak ingin memperpanjang masalah, tetapi lebih ke ... malas menanggapi Chan.

Suasana yang telah tegang oleh karena singgungan Amanda yang terlampau tajam-memojokkan semua orang, kini makin pengap lagi saat Abraham bertanya,

"Emang bener ada yang enggak punya niat buat latihan?"

Lagi, Haura meneguk saliva. Setelahnya, dia memundurkan langkah, kembali ke tempatnya semula.

Mendapati ketidakadanya balasan, Abraham mengembuskan napas kasar.

"Kalau beneran ada, ya ... udah. Keluar aja. Buat apa tetep ada di sini kalau enggak niat latihan? Jadi, buat lomba selanjutnya, karena kita kekurangan anggota ... kita main seadanya aja. Enggak ada lagi yang namanya seleksi pemain. Siapa pun anak yang bersedia main dan konsisten latihan bakal maju ke lapangan.

Denger, saya gak maksa kalian buat ngelakuin ini itu. Toh, latihan ini ... bukan saya yang butuh, tetapi kalian. Kalau menang, anggap aja berhasil jadi juara pertama ... kalian yang untung karena bisa dapetin piagam. Piagam itu nantinya bakal mudahin kalian buat daftar ke SMA.

Kalau saya, saya ada karena dibutuhkan sekolah. Saya dibayar. Menang atau kalahnya kalian, rasanya sama saja bagi saya. Meski begitu, saya akan berusaha semaksimal mungkin dalam memberikan pelatihan ke kalian."

Sebelum benar-benar mengakhiri pembicaraan, Abraham mengangkat dagu. Dia mengubah posisi tangannya yang semula bersidekap dada menjadi terlipat ke belakang badan.

"Hanya jika kalian bersedia saja, ya. Jika tidak juga tidak mengapa. Apa pun keputusan kalian, bertahan atau keluar, jika tidak niat latihan, saya memberikan kebebasan pada kalian untuk menentukan."

Haura menunduk, kemudian meringis dalam diam. Mengapa pembahasan Abraham menjadi serumit ini? Berawal dari pertanyaan: dua minggu kemarin kalian bener-bener lari, kan? Hingga bahasan mengenai niat atau tidaknya mereka dalam latihan. Rancu, memang.

Serupa siklus yang terus berputar, pembicaraan pun berlanjut, dengan Amanda yang terus bertukar kata dengan Abraham, mengutarakan semua kesah yang telah ia pendam selama beberapa hari terakhir tanpa sedikit pun peduli bahwa kata-katanya mungkin saja telah melukai hati, pun kembali menyulut emosi.

Begitulah, kini dunia seakan diperuntukkan hanya untuk mendengar dan memahami segala pemikiran Amanda yang cenderung menitikberatkan segala hal pada kemampuan individu sebagai patokan. Agaknya, selama ini ... diamnya dia bukan karena sadar ataupun tercerahkan, melainkan menahan diri dan menunggu momentum yang pas untuk dapat meledakkannya.

---

May 9, 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro