13. MENANG?
Matahari perlahan tenggelam di garis cakrawala, meninggalkan semburat kemerahan yang menyaru dengan biru gelap langit. Awan putih bertabur bagai permen kapas, berhias siluet burung-burung kutilang yang mengepakkan sayap menuju peraduan. Menyapa kepulangan Haura di bangunan kecil bercat biru muda yang pekarangannya dipenuhi oleh tanaman hijau.
Decit rem terdengar begitu kendaraan roda dua itu berhenti. Segera sang pemilik sepeda mengatur posisi dengan menepikannya ke sisi kanan, merapat ke tembok. Memberi jalan penghuni rumah ataupun tamu yang baru datang agar mereka mudah keluar-masuk rumah.
Lalu, Haura melepas sepatu hitam yang membungkus kedua kakinya dan meletakkannya di rak sepatu dekat pintu. Bersama dengan memudarnya kumandang azan maghrib di kejauhan.
Tak ada yang namanya pulang tepat jam lima sore sepanjang berdirinya ekstrakurikuler bola basket di Spensaka-dalam lima tahun ini-apalagi jika latihan tersebut dipersiapkan 'tuk mengikuti lomba kejuaraan. Baik Kejurkab atau O2SN. Pasti lebih dari itu, menginjak petang bahkan sampai matahari terbenam. Ya, meski tak selamanya demikian. Hari ini, Haura hanya kelewat lama saja dalam menyantap hidangan penutup berupa paket lengkap dari Abraham.
Push up, sit up, back up, dan terakhir ... trap. Lima puluh kali pengulangan dalam setiap gerakannya, Haura yakin bisa selesai dalam waktu tidak lebih dari sepuluh menit. Itu jika bersungguh-sungguh. Tidak! Haura tak berkata kalau ia malas melakukannya, ia hanya berada dalam posisi yang kurang menguntungkan.
Berada di dekat anak perempuan paling hiperaktif seangkatan. Siapa lagi jika bukan Tsania? Membuat Haura yang sudah lambat dalam menuntaskan satu gerakan menjadi makin lambat lagi karena fokusnya pada hitungan dibuyarkan oleh bahasan mengenai pertempuran antara Boboiboy dan Kapten Kaizo. Alih-alih protes dan membungkam Tsania dengan titahan diam, Haura justru mengelus dada pelan dan sabar mendengarkan.
Kini, selepas membersihkan diri dan melaksanakan salat maghrib, Haura duduk di kursi belajar seraya mengaduk pelan soto mi. Membuat minyak serta bumbu bubuknya larut dalam kuah, pun turut meresap dalam serat kubis dan telur orak arik. Asap putih menguar menandakan makanan keriting itu betul-betul baru selesai dimasak.
"Makan mi terus! Micinnya banyak, loh, Ra. Enggak baik buat kesehatan, apalagi otak. Bisa rusak." Kakak Haura--Laura, melenggang masuk selepas mengetuk pintu beberapa kali. Di tangannya ada nampan berisi susu rasa vanilla yang lantas berpindah cepat ke meja belajar milik Haura.
Haura menoleh, lalu mengedarkan pandangan mengikuti arah gerak kakaknya yang menuju ranjang. Perempuan delapan belas tahun itu mendudukan tubuh di sana, kemudian meletakkan nampan di atas nakas.
"Janji, Kak, ini yang terakhir."
Balasan Haura berhasil membuat Laura merotasikan bola mata malas. "Apa? Lusa kemarin juga bilang kayak gitu, tuh, tapi nyatanya enggak, 'kan?" omelnya, dengan mimik sinis yang lamat terbit di wajahnya.
Mata Haura menyipit serupa bulan sabit begitu kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Menuju ke titik maksimal hingga menampilkan barisan gigi putihnya yang rapi.
Haura menggaruk pelipis kepala, lalu terkekeh, "Maaf, Kak."
Namun, tiada balasan dari sang lawan bicara. Laura menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya pelan, bersamaan dengan kaki kanannya yang bergerak menimpa paha kiri.
Tanpa sedikit pun menggeser posisi duduk dan hanya menoleh ke kiri, Haura melihat Laura mulai memindai dinding cream yang ada di sebelah kanan pintu masuk. Dinding berornamen bulan bintang yang kanan kirinya dihiasi rak berwarna serupa-putih, dengan buku-buku cerita lama yang memuat fabel dan dongeng putri, foto masa kecil, serta tanaman hias-di atasnya, itu tampak dipenuhi bingkai foto berisi piagam penghargaan yang hampir separuhnya menorehkan kata 'matematika'.
Di lain titik, tempat yang berseberangan, bahkan ada belasan piala yang berjajar rapi di dalam etalase, juga satu genggam medali yang menggantung di dekat sana. Benda-benda berharga tersebut berkilau karena tersorot lampu kamar Haura yang memang sengaja dibuat redup dan menyorotkan sinar kekuningan.
"Kamu ... enggak ada ituan lagi, Ra?"
Haura mengernyit, sejenak tumpul penciuman dalam membaui aroma kuah soto mi yang sebetulnya kelewat nikmat di penciuman.
"Ituan? Maksudnya? Aku enggak ngerti."
Helaan napas berat mengalir dari mulut Laura, tepat sebelum dirinya berkata, "Lomba. Kamu enggak ada lomba lagi, emang? Selain gambar. Oh, matematika? IPA? Atau ... mata pelajaran yang belum pernah kamu coba kayak ... bahasa Indonesia atau ... bahasa Inggris. Sebentar lagi kamu kelas sembilan, loh. Kalau misalnya ada kesempatan, ya, ambil. Piagamnya bisa buat bantu kamu daftar SMA."
"Ah, lomba, ya .... " Anggukan pelan diberikan Haura sebagai respons atas ucapan Laura. Lalu, ia menambahkan, "Kalau akademik gak ada, Kak." Dia memalingkan wajah ke depan, menunduk, dan mulai mengaduk soto mi lagi.
Seraya memutar sendok garpu di tangan kiri hingga mi menggulung, ia lanjut berkata, "Non akademik baru ada. Sekitar awal April nanti ada O2SN bola basket, Kak."
"Oh .... "
Singkat. Tidak ada imbuhan kata dari sang empu suara. Namun, dari nada terakhir yang tertangkap oleh telinganya, Haura bisa merasakan hawa yang tak mengenakkan dari sang kakak. Tanpa meminta penjelasan dengan memberikan tanya lebih dalam, Haura sudah tahu apa yang sebetulnya terjadi pada perempuan itu.
Laura turun dari tempat tidur. Dia melangkah menuju pintu keluar. Tepat sebelum dia hilang dari pandangan, tepukan ia berikan di pundak kanan Haura. Bersamaan dengan terlontarnya satu kalimat yang membuat Haura yang hendak melahap mi kontan menghentikan gerakan.
"Kalau gitu ... good luck, ya, Ra."
***
Jika kalian bertanya, mengapa Haura memilih basket sebagai satu-satunya ekskul yang mengikat namanya-yang sebetulnya sudah cukup dikenal bahkan sejak hari pertama MPLS dilaksanakan-sebagai salah satu anggota, alih-alih eksktrakurikuler lain yang pastinya lebih sesuai dengan prestasi yang ia capai saat duduk di bangku Sekolah Dasar. Jawabannya tentu saja Alika, teman seperjuangannya saat duduk di bangku TK.
Awalnya, Haura tidak memiliki hasrat kuat untuk berada di sana. Tak terbersit sedikitpun niat di pikirannya untuk menjadi bagian dari ekskul basket. Dan ... begitulah, diri serta pikirannya yang kelewat kaku berhasil dilunakkan oleh kuatnya tekad di dalam diri Alika. Membuat dirinya perlahan mulai memantapkan diri dan menjejakkan kaki ke dunia yang belum pernah ia pijak. Olahraga.
Demikian Haura sadar akan satu hal. Eksistensinya tidak hanya sekadar mengisi kehadiran dengan presensi wajah di mata pelatih, tetapi lebih dari itu.
Ada hangat yang tidak pernah ia dapat, sebab selama ini ia hanya berjuang seorang diri. Sedangkan mereka? Mereka sama-sama menaruh harap, dan menyalurkan semangat lewat hangatnya genggaman tangan. Itulah makna yang Haura dapat setelah satu tahun berada di sana dan mampu membuatnya terus bertahan, meski Alika-alasan pertama dia bergabung dengan ekskul, telah keluar. Lagi pula Haura takut menyesal apabila melakukan hal serupa. Walau ia sendiri merasa ragu akan keterlibatannya di tim Spensaka.
Haura menghela napas pelan. Layar yang semula menampilkan rekaman semi final Kejurkab tahun lalu-yang telah di-uploud di channel Youtube, menggelap. Riuh yang merebak dari speaker pun turut menghilang, digantikan oleh sunyi yang mengisi ruang pendengaran.
Detik berikutnya, Haura menyandarkan punggung ke kursi belajar-dengan pandangan masih mengarah ke layar ponsel. Dia memejam begitu ingatannya dibawa kembali ke masa lalu. Masa di mana dia belum berarti apa-apa, yang mana artinya ... Haura masih berada di bangku kelas tujuh, sekolah menengah pertama.
Haura melihat belasan teman-temannya-termasuk kakak kelas, berlatih begitu keras. Digempur lari enam kilometer, latihan daya tahan, sepuluh items, defends mengitari lapangan, kuda-kuda sepuluh menit, shoot dengan bermacam teknik, pun target yang tidak bisa dibilang sedikit, push up, sit up, back up, trap, segala macam hukuman, serta posisi dan latihan kombinasi. Tiada keluh yang terdengar, hanya hela napas lega tiap kali mereka tuntas menjalankan latihan.
Lalu, bayangan di ingatan Haura berganti ke masa di mana ia duduk di bangku cadangan saat Kejurkab 2018. Suara lantang Abraham yang ditujukan pada Lia--kakak kelasnya, merebak di udara. Membuat jantungnya turut bertalu dan sesak di rongga pernapasan. Bekas air mata yang menghias sudut mata anak perempuan itu hampir tidak dapat dibedakan dengan keringat yang lebih dulu mengalir di pelipis kepala.
Lagi, bayangan tersebut berganti. Riuh yang tadinya ia dengar lewat speaker ponsel pun menggema, terasa begitu nyata di telinga. Tubuh beberapa anak di tengah lapangan lantas bersimpuh, menghadap ke arah barat. Satu di antara mereka, wajah Luna yang paling terlihat jelas. Tawa bahagia terlihat merekah di wajah anak itu, bersamaan dengan luruhnya air mata di kedua pipi.
Masa-masa itu, Haura ingat betul, adalah saat di mana mereka-tim basket Spensaka, berhasil memenangkan babak semi final. Kenangan indah, pun mengharukan, yang tak akan pernah ia lupakan.
Kelopak mata Haura kembali terbuka, menampilkan iris cokelat gelap yang sedikit berkilau dari sebelumnya. Kemudian, ia menunduk, membuka dan menggenggam telapak tangan. Ada getar yang lamat merambat di sana. Entahlah, Haura sendiri tidak yakin. Untuk April nanti, di tangannya akan ada kemenangan atau justru kekalahan.
---
April 28, 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro