12. AMANDA 2
Satu.
Haura melempar bola yang ia pegang tepat di depan dada-dengan kedua tangan, ke arah Luna yang berdiri dua meter di depannya. Lalu, kakinya bergeser beberapa sentimeter ke arah kanan selagi tangan kanannya tergerak ke arah yang sama, menyentuh cone.
Haura kembali ke posisinya semula. Tangannya sigap menangkap bola basket yang baru dilemparkan Luna menggunakan teknik yang sama, chest pass. Meskipun sempat membeliak dan termundur selangkah. Mungkin terkejut dengan bola yang datang secara tiba-tiba atau dirinya belum sanggup menyesuaikan kecepatan Luna.
Dua.
Haura melempar bola pada Luna lalu bergerak ke arah kiri. Tangannya memanjang sebentar guna menyentuh puncak cone sebelum akhirnya menangkap bola lagi.
Tiga.
Bola kembali terlempar ke arah Luna. Embusan napas kasar mengalir dari hidung Haura tepat sebelum dirinya menoleh ke kanan dan mengidentifikasi permukaan atas cone menggunakan indra perasa pada jemari tangannya. Gerakan tersebut terus dilakukan secara berulang hingga akhirnya pun terhenti. Bukan karena hitungannya habis di angka dua puluh lima, tetapi karena melengkingnya peluit pertanda masa telah usai.
Tubuh Haura yang mula-mulanya berada dalam posisi kuda-kuda menegak. Dia menghela napas panjang, lalu bertanya, "Berapa, Lun?"
Seraya melemparkan bola dengan memantulkan dua pertiga dari titik di mana ia berdiri, Luna membalas, "Pas, Ra. Dua puluh lima."
Haura mengangguk pelan sebagai respons, kemudian melangkah menjauh dari cone-bertukar posisi dengan Luna. Dilihatnya Luna yang kini tengah berdiri di antara dua cone.
Luna merendahkan tubuh, mengatur posisi kaki dengan membukanya selebar bahu. Bersama dengan merebaknya seruan Abraham pada belasan anak ekskul agar mereka lekas bertukar posisi-yang lantas diriuhkan oleh decit akibat gesekan alas sepatu dengan permukaan lapangan, pun desau angin yang berembus di udara.
Untuk yang ketiga kali, peluit kembali berbunyi. Haura yang telah bersiap di posisinya-tanpa menunggu lama, langsung melempar bola orange bergaris hitam itu pada Luna. Masih menggunakan teknik yang sama, chest pass, tentunya.
Sebelum memulai latihan, Abraham memang telah menginformasikan bahwa latihan hari ini akan dibagi menjadi dua sesi; chest pass serta bounce pass. Sedang over head pass sendiri akan dilakukan pada pertemuan selanjutnya. Selepas tes daya tahan tubuh dilakukan, katanya.
Memang tak biasanya Abraham menginformasikan tentang tes daya tahan tubuh, dua hari sebelum tes itu dilakukan. Situasi yang jarang terjadi sepanjang dirinya menjadi bagian dari ekstrakurikuler basket. Setidaknya, dengan begitu, ia bisa menyiapkan diri terlebih dahulu. Ini tidak berkaitan dengan fisik, tetapi lebih ke mental.
Ah, daya tahan tubuh, ya? Haura hanya melisankannya sekali dalam hati. Namun, karenanya ... dadanya berhasil dibuat sesak sebentar. Ia ingat, kali terakhir menjalani tes tersebut ia harus mengulang lima puluh kali-bolak-balik satu lapangan penuh, karena dia tak sanggup memenuhi target yang diberikan Abraham.
Delapan puluh untuk perempuan. Laki-laki beda lagi. Sembilan puluh. Anak-anak jagoan neon seperti Bata bahkan hampir mencapai angka seratus.
Mengesankan, bukan? Haura saja yang berlari sampai seratus dua puluh kali, itu pun dengan tambahan waktu, hampir tidak bisa berjalan selama satu hari penuh. Pegal sebadan-badan.
"Passing-nya agak cepetan dikit, ya, Ra," ucap Luna tanpa menghentikan gerakan tubuh.
Haura mengangguk, tepat sebelum dia mengalirkan tenaga dari inti tubuhnya menuju jari-jemari tangan yang seluruhnya menyentuh permukaan kasar bola basket.
Lalu, benda bulat itu berpindah cepat ke tangan Luna. Detik berikutnya, Haura melihat bola yang seharusnya ditangkap Winola terlempar ke arah lain. Bola tersebut menggelinding tuk kemudian berhenti di lapangan voli. Oleh karena ketiadaannya penghuni, bola tersebut tetap berada di sana. Tanpa ada satu pun yang bergerak untuk mengambil-selama beberapa detik. Bahkan ... beberapa anak yang mencuri pandang ke sana memilih diam serta melanjutkan latihan. Meski tidak dapat dipungkiri, raut penasaran tersemat dalam air muka mereka.
Agaknya, mereka kini penasaran dengan respons, pun apa yang sekiranya akan dilakukan oleh Amanda--anak yang menjadi pasangan Winola. Sebab, usai menyadari bola yang dioper tak mampu ditangkap, Amanda diam dan menatap tajam Winola. Tidak salah lagi. Sebentar lagi, anak itu pasti akan meledak, marah besar.
Masih memegang bola, Haura mengerjap. Sejenak dia mengabaikan hitungan Luna yang belum usai, kurang lima lagi. Hingga gadis itu harus memekik rendah agar Haura bisa kembali mendapatkan fokus.
"Maaf, Lun," ucap Haura.
Haura kembali memalingkan wajah ke arah Luna, lalu mulai mengoper bola. Ia sedikit menambah kecepatan lemparan agar Luna sanggup mengejar ketertinggalan. Namun, di beberapa waktu, matanya tertangkap melirik Amanda yang agaknya tak juga beranjak dari tempatnya.
Apa yang sedang dipikirkan Amanda sekarang?
Selagi tangannya terus bergerak, Haura mengernyit penuh heran. Namun, kerutan yang tercetak di dahinya-selama beberapa saat, lantas memudar begitu melihat Amanda mengepal dan merenggangkan jari-jari tangan. Seakan tengah berusaha meredakan emosi lewat pori-pori telapak tangan.
Lalu apa yang terjadi selanjutnya sungguh di luar dugaan. Tidak ada satu pun kata pedas yang biasa mengalir dari mulut Amanda. Lidahnya seakan-akan tersegel oleh sesuatu yang tak dapat dilihat oleh mata telanjang manusia. Namun, begitulah. Satu hal tentang Amanda yang jarang atau mungkin juga tidak pernah ia bayangkan justru terjadi tepat di depan matanya. Bukan hanya dirinya, sebenarnya, tapi juga anak-anak lain yang turut menyaksikan di sana.
Di kejauhan, gadis berambut hitam itu melenggang menjauh. Melewati Winola yang menampilkan mimik gentar saat mendapati Amanda melintas. Kentara jelas bahwa dirinya tengah dirundung oleh sedikit rasa takut akan tatapan nyalang yang belum lama ini dilayangkan oleh Amanda.
Siapa yang tak senam jantung dibuatnya? Mungkin hanya orang istimewa, pun tertentu yang tidak akan terpengaruh oleh ucapan Amanda. Anak mental baja yang kelewat buta mata hatinya atau mungkin masa bodoh pada omongan-omongan orang, misalnya.
Ya ... siapa pun, Haura jamin, termasuk dirinya, pasti akan sakit hati dengan perkataan Amanda yang lebih sering lepas kontrol. Meski apa yang Amanda lakukan setelahnya terbilang jauh dari ekspetasi serta dugaan masing-masing kepala yang apabila disatukan, ya ... sama saja. Berakhir dengan amarah serta adu mulut, percekcokan yang kembali mengikat gadis itu dengan Bata, Luna, ataupun Tsania.
Justru hal inilah yang membuat tanda tanya kembali menyelimuti pikiran Haura.
Kini, Haura melihat Amanda melangkah menuju lapangan voli, mengambil bola, lalu kembali sembari memantulkan bola tersebut ke tanah. Oleh karena masa yang lebih dulu habis sebelum mereka betul melanjutkan hitungan, keduanya pun terpaksa mengulur sedikit masa yang ada demi membayar tanggungan. Sedang Haura, selepas gilirannya selesai, ia terdiam sejenak.
"Apa ..., " ucap Haura menggantung. "Amanda bener-bener dengerin ucapan Luna dan Bata?"
---
April 25, 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro