Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. ANCAMAN

Jadi, begini rasanya berada di posisi paling lemah. Namun, tidak dapat menyalahkan siapa pun atas sakit yang diterima? Mau dipikir berapa kali, masalahnya ada pada dirinya.

Waktu berotasi sedemikian cepat. Kini, seminggu telah berlalu sejak dua kapten tim basket Spensaka bersitegang dengan Amanda--anak yang menempati posisi pertama sebagai anggota kepercayaan Abraham. Menyuarakan keluhan para kaum yang acap kali merasa tertindas oleh eksistensinya. Ya, meskipun tak ada bukti kuat yang dapat dijadikan pegangan bahwa gadis itu benar mendengarkan dan sepenuhnya tercerahkan. Setidaknya, latihan menjadi lebih kondusif, pun menyenangkan dari hari-hari sebelumnya.

Angin berembus bersama dengan menurunnya intensitas sengatan sang mentari di singgasana langit oleh karena posisinya yang sedikit menggelincir. Desau mengalun membelai telinga, menyaru dengan gemerisik dedaunan pohon yang bergesekan, pun suara tegas milik Abraham yang menyeru semua anak untuk berkumpul di lapangan.

Lalu berbondong-bondonglah mereka ke sana dengan tenaga yang belum sepenuhnya pulih. Terkuras karena untuk yang kesekian kali harus kembali memacu fisik dengan melakukan sepuluh items. Mungkin hanya delapan puluh lima persen dari kapasitas.

"Haura, tolong ambilin cone di dalam!" Perintah tersebut merebak di udara sebelum sang empu kata mengerutkan kening, seakan-akan tengah memikirkan-atau mungkin mempertimbangkan sesuatu, selagi netranya memindai lapangan.

"Dua belas, ya," tambah Abraham.

Haura yang baru tiba dari ruang olahraga, hendak bergabung dengan keempat belas anak yang lebih dulu berkumpul di bawah ring basket, seketika menghentikan langkah. Dia menoleh ke arah Abraham, memandangnya sebentar sebelum memutar tubuh, melangkahkan kedua tungkainya kembali ke ruang olahraga.

Sekembalinya, suara Abraham pun kembali terdengar, "Kamu sama Luna, cone-nya tolong disusun dua, dua, ya. Tiga di kanan dan tiga di kiri. Jarak masing-masing cone tiga langkah. Karena kemarin kita udah selesai latihan dribble, jadi ... hari ini kita latihan passing."

Haura mengangguk sebagai respons. Lalu, dia memberikan enam tumpukan cone pada Luna. Dua anggota tertua tim putri itu kemudian berjalan ke arah yang berlawanan. Haura ke kanan, sedang Luna ke kiri. Tiga menit berkutat dengan kegiatan menghitung jarak dan menata dua cone dalam satu garis lurus, dua anak itu akhirnya kembali ke bawah ring.

"Sudah, Mas." Haura dan Luna melapor secara serempak.

Detik berikutnya, lelaki yang menjadi lawan bicara mereka bergerak menuju depan dan berbalik badan, berdiri menghadap semua anak.

"Baiklah, sekarang ... kalian cari pasangan. Dua anak, dua anak. Kalau bisa dibagi sama rata, ya. Dalam satu pasangan ada kelas delapannya. Biar yang kelas tujuh bisa belajar. Oh, iya ... Chan sama Bata, kalian pegang dua anak bisa, kan? Anak laki-laki kelas delapan ganjil soalnya, cuma tiga," tutur Abraham.

Pandangan Haura yang semula tertuju pada Abraham, beralih pada dua anak yang namanya baru disebutkan. Mereka mengangguk. Tanda menyanggupi permintaan Abraham. Namun, begitu ia akan memutus pandangan, sudut matanya menangkap sosok Kemal yang menarik sikunya ke belakang sembari menyorakkan 'yes' dalam diam, hanya berupa gerakan mulut. Mungkin, ia tengah berselebrasi karena tidak payah bekerja dua kali. Tanpa sedikit pun peduli pada alasan yang membuat Abraham tidak lagi membiarkannya turut andil mengurus latihan.

Ya, ini erat kaitannya dengan kasus curang Kemal-potong jalan, alasan Abraham menaruh kepercayaan lebih pada Amanda, daripada anak-anak lain.

Bising akibat suara yang tercipta akibat percakapan beberapa anak-yang saling berbenturan, lamat kian terdengar memenuhi indra pendengaran. Bertepatan dengan membaurnya tubuh semua orang dalam satu barisan abstrak yang tak jelas komposisinya. Di antara belasan anak yang sibuk mencari pasangan-atau juga memperebutkan, Luna bergerak perlahan dari pojok kiri belakang menuju depan.

Setibanya gadis itu di depan Abraham, ia langsung bertanya, "Mas, anak-anak perempuan gimana? Zora sama Radista enggak masuk. Jadi, kelas tujuhnya cuma ada dua. Vanda sama Winola. Sedangkan kelas delapan ada empat."

Masih di daratan tempat ia berpijak, Haura menoleh ketika merasakan tubuh seseorang yang semula berdiri di belakangnya mendekat.

Itu Tsania. Demi membiarkan gadis berkulit sawo matang itu melintas, Haura menggeser tubuhnya-tiga puluh senti-ke arah kanan. Tak lama setelahnya, ia turut mengekor di belakang Tsania.

"Gimana kalau aku sama Vanda aja? Haura sama Amanda, kamu sama Winola." Tsania mengusulkan tanpa menunggu balasan dari Abraham. Pelatih muda itu mengubah posisi tubuhnya menjadi bersidekap, tapi tetap mempertahankan lidahnya agar tidak melisankan kalimat. Ia bergeming, membiarkan lawan bicara Tsania mengambil haknya 'tuk bersuara, kalau saja pertanyaan Tsania-yang lagi-lagi-tanpa menunggu balasan dari orang yang tengah ditanya, terlontar.

"Gimana? Mas Abraham setuju kan sama saya?"

"Terserah kalian saja. Asalkan jangan kamu sama Luna atau Winola sama Vanda. Kayak usulan kamu juga enggak apa-apa. Intinya ... rata," balas Abraham, beberapa detik sebelum ia melangkah mundur, berdiri di antara cone yang ada di barisan kedua.

Haura sama Amanda, Haura menggumamkan kalimat yang belum lama ini diucapkan Tsania dalam pikirannya. Dia tak sampai menggigil karena ngeri, pun kelewat syok sampai-sampai harus mempertahankan belalakan mata hingga kornea matanya mengering. Hanya saja, ia masih dibayangi oleh kejadian minggu lalu. Ya ... meski Amanda lebih kalem dan pasif bersuara dari sebelumnya, ia tetap saja merasa tak siap harus berhadapan dengannya, lagi. Sebab, Haura sendiri masih merasa sangat buruk atas dirinya sendiri.

"Oke, perhatian! Kalau udah dapet pasangan, kita mulai. Laki-laki duluan baru perempuan. Satu anak tiga kali pengulangan, ya. Targetnya dua puluh lima dengan batas waktu tiga puluh detik. Tangan harus bener-bener nyentuh cone. Kalau enggak, ya, enggak diitung. Hitungnya satu kali sentuhan dan orang yang ngehitung ... anak yang bantu passing, ya, bukan yang di-passing. Sampai sini ngerti, 'kan?" Abraham bertanya-lebih ke memastikan, seraya mengedarkan pandangan.

"Iya, Mas. Ngerti," balas seluruh anak, dengan serempak, kecuali Luna dan Haura.

Dua gadis itu diam. Menyerana di saat seluruh anak kembali meributkan masalah pasangan dan membicarakan hal-hal lain. Entah itu basket atau beragam topik di luar itu. Detik yang sama, Haura menoleh, memandang Luna. Bersamaan dengan lolosnya untaian kalimat dari mulut gadis itu.

"Aku enggak setuju sama usulan kamu, Tsan. Aku aja yang sama Haura." Luna merendahkan suaranya, sedikit berbisik, mungkin untuk menghindari seseorang.

"Kenapa?" Lalu, Tsania menambahkan, "Lebih bagus kalau gitu, bukan? Anak-anak kelas tujuh jangan sampe pasangan sama Amanda, Lun. Bahaya. Kalau dia sampe meledak gimana? Kayak latihan pertama dulu?"

"Iya, sih, bener, tapi-ah, Tsan, kamu mungkin enggak tahu soal ini karena waktu itu kamu udah balik duluan. Minggu lalu Amanda marah-marah ke Haura. Ngedumel terus dia, bahkan lebih parah dari apa yang dia lakuin ke adik kelas. Bata aja sampe ikut turun tangan, loh," tukas Luna membuat Tsania terbeliak karena kaget.

"Pantesan. Dari kemarin aku ngerasa ada hawa yang enggak mengenakkan karena Amanda yang makin irit ngomong. Kenapa enggak bilang ke aku, sih?"

"Harus banget?" Luna membalas segera. "Enggak ada anak yang mau ungkit soal itu lagi, Tsan. Dibiarin gitu aja karena Amandanya sendiri udah lebih kalem dari sebelumnya. Tapi, hal itu gak menutup kemungkinan kalau dia bakal marah-marah lagi ke Haura, 'kan? Aku tahu entah itu Haura ataupun adik kelas kemungkinan Amanda buat marah itu sama-sama besar, tetapi untuk sekarang ... kupikir ini solusi yang terbaik buat mereka.

Aku ataupun kamu, Tsan, tahu sendiri enggak bisa berpasangan sama Amanda."

Haura tertegun. Mulutnya mengatup rapat, sedang gerigi dalam pikirannya mulai berputar makin cepat. Memproses segala hal yang ia dengar dalam sekali cerna.

Apakah dirinya seburuk dan semenyusahkan itu sampai-sampai Luna harus memikirkan solusi agar dia bisa bebas dari Amanda?

---

April 21, 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro