10. KEHILANGAN
Tidak semua rencana berjalan sesuai harapan. Perintah lari jarak jauh yang sebetulnya disepakati akan dilakukan pukul setengah dua siang harus ditunda setengah jam lamanya karena drama dari anak-anak basket sendiri. Entah itu sakit perut karena terlalu banyak mencerna makanan dan minuman, sampai kaki keseleo ataupun kesemutan.
Amanda sudah mencak-mencak sendiri karena emosi. Sesaat setelah dirinya kembali ke sekolah, ia menampilkan raut muka kelewat datar. Nada bicaranya sudah tidak mengenakan untuk didengar. Beruntung kedua kapten tim ada untuk menenangkan. Jika tidak, Amanda pasti akan melaporkan mereka pada Abraham agar diberi tindakan tegas sebagai bentuk pendisiplinan.
Pukul dua siang, tim basket Saka telah berbaris di depan pos satpam, dengan mengenakan seragam olahraga sekolah. Biru untuk kelas delapan dan orange untuk kelas tujuh. Mereka berdoa bersama lalu melakukan pemanasan agar tidak mengalami cidera ketika berada di perjalanan. Bagaimana pun, siang ini, mereka akan berlari dengan menempuh jarak sekitar enam kilometer jauhnya.
Timer pada jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiri Bata dan Luna selesai diatur. Mereka berlari ke luar dari gerbang sekolah. Bata dan Amanda berada di barisan depan, diikuti oleh ketujuh anak laki-laki. Sedang Luna berada di barisan paling belakang, mengikuti ketujuh anak perempuan. Dia memang sengaja tidak menjadi yang pertama di antara teman-temannya karena ingin mengambil konsekuensi terlambat dan mendapatkan tambahan lari demi memastikan semua anak benar-benar berlari dan tidak melakukan kecurangan; potong jalan.
Menit pertama, menit kedua, menit ketiga, dan menit berikutnya, berlalu tanpa hambatan. Keenam belas anak yang tergabung dalam tim basket Saka masih berlari dalam satu barisan dan dengan kecepatan yang sama. Namun, setelah melalui menit kelima belas, perbedaan tenaga dan kesanggupan untuk terus mempertahankan langkah pada akhirnya mampu menciptakan sebuah jarak di antara mereka, terlebih lagi bagi Haura. Ia tertinggal jauh di belakang.
Tidak ada satu pun dari mereka yang mengetahui. Sepanjang Haura berlari, ia terus melihat sebuah tembok batu menjulang yang sulit sekali untuk ditembus. Membatasi pergerakannya untuk bisa terus berada di sisi mereka, dan berlari beriringan bersama mereka, sekalipun sebatas satu di antaranya. Sebetulnya, bagi Haura, ini terasa cukup melelahkan, tetapi dia tidak bisa berhenti. Luna yang belum berhenti berlari membuat Haura merasa harus memaksa kakinya yang mulai tertatih untuk terus bergerak, meski dengan napas yang tersengal. Ia tidak ingin tertinggal dari mereka.
Bagaimana pun situasinya, Haura harus terus bergerak. Luna memang tidak menuntutnya macam-macam. Jika sudah tidak kuat berlari, maka berhenti. Namun, ia tetap merasa harus mengejar ketertinggalannya dari anak-anak lain. Haura meneguk ludah, mencoba memberi kekuatan lebih besar pada kakinya untuk mencapai jangkauan lari yang lebih lebar lagi. Dia mendengkus sesekali ketika menyadari jarak yang ada bukan malah terkikis, tetapi membentang semakin jauh, sekalipun kedua tangannya telah berayun lebih kencang dari yang biasa ia lakukan. Mengejar mereka ternyata tidak semudah itu.
Pada akhirnya, sebelum berhasil menyamakan langkah, dia kehabisan napas. Kunang-kunang berdatangan dan menutupi pandangan Haura, tetapi tekadnya memang belum sekuat itu untuk bisa melampaui batas diri.
Haura memilih berhenti dan karena itulah ia menjadi yang terakhir.
Berat, sungguh. Ini bukanlah tentang skenario indah kehidupan yang kelewat jarang didapatkan sehingga manusia harus banyak-banyak melisankan syukur kepada Tuhan. Melainkan ketidakmampuan untuk menjadi setara yang dapat memutus ikatan baik antara Haura dan Amanda, dua anak yang sebelumnya jarang terlibat perselisihan. Barangkali, hanya sebatas adu argumen di kelas demi mempertahankan pendapat. Itu pun pada diskusi bahasa Indonesia dan hitungan matematika yang beda koma dan satuan.
Baru juga kembali ke sekolah setelah berlari 40 menit lamanya, Haura sudah mendapatkan tatapan tajam dari Amanda. Jalinan kata yang dipenuhi akan perbandingan kemudian diberikan tanpa menyisakan sedikit peduli pada dirinya yang sedang mencoba mengatur napas. Haura tersengal. Rongga dadanya dipenuhi sesak. Toleransi ataupun kata ampun bagi dirinya yang masih harus menambah empat kali putaran lari karena waktu tibanya di sekolah yang sedikit melebihi ketentuan, sepertinya tidak akan pernah Amanda berikan.
"Vanda aja bisa balik lagi ke sekolah tiga menit setelah jam habis. Masa kamu bisa lebih lama dari mereka? Lima menit, loh. Kamu beneran lari nggak, sih?"
Amanda mengembuskan napas kasar. Dia bersedekap dada sambil mengetuk berulang permukaan lapangan dengan ujung sepatunya.
"Setingkat kamu, 40 menit juga lebih dari cukup. Paling banter 35 menit juga udah sampai. Tsania? Zora? Mereka bisa menuhin target. Aku mau ngingetin, ya. Kalau caramu kayak begini, lomba nanti, waktu masuk quarter terakhir dan kita diharuskan buat main full court, kamu nggak bakalan bisa bertahan lama di lapangan. Satu ataupun dua kali offense dan defense, udah pasti kehabisan napas. Inget, di O2SN kita cuma berdelapan. Belum lagi risiko pemain keluar entah karena foul out atau cidera otot," ucapnya ketika Haura melintas.
Haura menarik napas. Diamnya ia bukan karena tidak peduli pada perkataan Amanda, tetapi karena sedang menahan diri agar tidak menjatuhkan bulir air yang mengisi pelupuk matanya. Dengan menjadi yang terakhir, Haura tahu jika bukan hanya menahan malu pada adik kelasnya, dia juga akan mendapatkan peringatan keras dari Amanda. Namun, Haura tidak menyangka akan separah itu. Amanda membentak dari pinggir lapangan seakan mencoba menegaskan kepada semua orang tentang ketidakmampuannya.
Panas menggolak di setiap embus napas Haura. Pergelangan kakinya seakan dilingkari gelang rantai yang membuat langkahnya memberat seiring matahari menyingsing ke arah barat. Dalam perjalanan panjangnya hari ini, Haura merasa sudah cukup memaksa diri. Pandangannya mulai mengabur, tetapi kepalanya terus dipaksa untuk menerima perkataan-perkataan Amanda yang seperti itu. Haura pastinya merasa sesak dan tidak memiliki pilihan selain membiarkan Amanda terus membicarakan apa yang tidak dapat dan seharusnya bisa ia capai.
Di lain sisi, barangkali karena tidak ingin membiarkan ketegangan itu berlanjut sampai ke tahap perselisihan antaranggota, Luna buru-buru mengambil alih pembicaraan mereka dengan berkata, "Udahlah, ini minggu pertama kita lari jarak jauh, Amanda. Telat empat menit, bagiku, itu nggak buruk-buruk banget, kok. Minggu depan pasti ada peningkatan lagi. Kita baru mulai. Jadi, wajar kalau hasilnya nggak memuaskan."
Amanda menaikkan dagu seakan ingin menantang Luna. "Kamu bilang apa tadi? Nggak buruk-buruk banget? Masih sama, ya? Pemakluman lagi." Kemudian ia mendengkuskan tawa sehela. "Niatku cuma mau ngingetin. Mumpung masih awal, Haura harus sadar sama kekurangannya biar tahu apa yang perlu dia lakuin buat ke depannya. Latihan ini serius, loh."
"Yang bilang becanda juga siapa, sih?" Luna menahan intonasi bicaranya agar tidak meninggi. Dia tidak ingin memancing perhatian anak-anak lain yang kini sedang beristirahat di ruang olahraga, tidak jauh dari tempat mereka berada. "Cuma mau ngingetin, katamu? Bisa lihat situasi nggak? Haura baru datang, capek! Biarin dia istirahat dulu baru bicara bisa? Nggak semua anak bisa nerima perkataanmu yang barusan, loh. Kalau dia tersinggung gimana?"
Luna mendengkus. Keributan yang disebabkan oleh Amanda membuat dirinya sedikit cemas. Setelah menghabiskan beberapa jam pelajaran untuk menemui beberapa anggota yang sudah ditandai "keluar" pada daftar kehadiran latihan, diketahuinya jika setengah dari mereka menjadikan Amanda sebagai alasan. Katanya, mereka tidak tahan dengan sikap Amanda yang terlalu mengatur, dan ketika diminta kembali, mereka setuju hanya jika Amanda bersedia keluar dari tim.
Di antara sepuluh anak yang mengundurkan diri di tahun kedua mereka di sekolah, Haura masih memutuskan bertahan di tim yang dua tahun terakhir mengalami penurunan jumlah dan kualitas pemain merupakan suatu hal yang baik. Dengan alasan yang sama, ia tidak ingin kehilangan anggota lagi.
Keduanya bertatapan lama, tetapi tidak ada satu pun yang berbicara. Akhir dari pembicaraan mereka adalah tarikan pada pergelangan tangan yang kemudian membawa Amanda menjauh dari lapangan.
Sebetulnya, masih ada yang ingin dikatakan Luna, banyak malahan, tetapi dia lebih memilih untuk tidak berbicara lebih banyak karena tahu tindakan tersebut hanya akan membawanya pada kemungkinan terburuk; keributan yang lebih parah lagi. Sebab, dua tahun mengenal Amanda, Luna tahu betul bagaimana perangai anak perempuan itu. Amanda sulit diajak bicara, dan tidak ingin mengalah pada apa pun yang dianggapnya benar.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro