Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

09. KAPTEN

Bising mereda seiring merenggangnya jarak antar masing-masing tubuh yang sejak pagi telah memadati sekolah. Anak-anak SMP Saka berjalan tanpa arah yang sama setelah dering bel sekolah tidak lagi terdengar di telinga mereka. Meninggalkan jejak-jejak tidak berbekas yang menghantarkan mereka menuju rumah. Sekalipun tidak menutup kemungkinan jika beberapa di antara mereka memilih untuk tinggal karena masih mempunyai kepentingan. Misalnya, tim basket Saka. Pada minggu kedua latihan, mereka membuat rencana bertemu untuk menjalani lari enam kilometer jauhnya, sesuai permintaan Abraham.

Pukul satu siang. Waktu telah berlalu setengah jam setelah penjaga sekolah menutup pintu-pintu kelas dengan gembok besi. Matahari tentunya sedang gencar-gencarnya membakar kulit. Enggan berbaik hati, bahkan semakin kuat menebar sesak di dalam rongga dada masing-masing anak yang tubuhnya masih terbungkus oleh seragam biru putih. Mereka belum mengganti pakaian, sekalipun waktu hampir mendekati jam permulaan lari yang telah disepakati.

"Ini dua kapten tim ilang ke mana, sih? Mereka pulang? Enak banget. Mentang-mentang rumahnya deket. Kalau begitu aku juga mau," gerutu Kemal sambil berjalan menuju ke ruang olahraga. Sesampainya di sana, ia terdiam sebentar. "Vanda and friends juga ke mana? Masih piyik, punya bibit-bibit nge-ghosting. Tolonglah, ini tim basket sekolah bukan kepolisian yang terima kasus orang hilang. Ujung-ujungnya juga jadi bahan pencarian lagi. Kalau setengah jam lagi nggak datang ke sekolah, wah! Minta disambel mereka."

Dentum terdengar ketika tas merah yang menggantung di pundak kiri Kemal terbanting ke atas lantai. Gerakannya yang sedikit tidak santai membuat Zora yang tidur di dekat pintu masuk, membeliak dan mendudukkan tubuh.

Haura yang duduk melingkari dua piring nasi berlauk tempe dan tahu goreng, dengan sambal tomat yang juga diberi mentimun dan kubis sebagai lalapan, menoleh. Niatnya untuk melahap sesendok nasi harus tertunda. Lain dengan Tsania yang berada di samping kirinya, anak perempuan itu belum berhenti memuaskan perut. Mungkin ia terlampau lapar sampai mengabaikan sekitar.

"Astaga dragonfly!" Zora memegang dada tempat jantungnya berada. "Kakak nggak bisa santai sedikit? Baru juga datang. Eh, udah marah-marah. Ngagetin. Untung aku belum punya penyakit jantung. Bisa bahaya," omelnya.

"Halah, berisik kamu!" bentak membentak setelah merotasikan mata.

Kemal tidak memberi tanggapan lebih. Ia bergerak memungut ransel. Baru akan berjalan menuju bagian paling belakang dari ruang olahraga yang hanya dibatasi oleh lemari besi, Chan berkata, "Tarik napas dulu coba ...."

Bersamaan dengan dirinya yang selesai berbicara, Chan menarik napas dalam. Ia mencoba mengikuti instruksi dari dirinya sendiri sambil memejamkan mata. Anak laki-laki itu masih memegang ponsel yang terhubung pada stop kontak melalui kabel charger hitam. Ketika napas berembus pelan dari hidungnya, Chan membuka mata. Anak pemilik gigi gingsul kanan itu menoleh kemudian mengarahkan ujung jari telunjuk kirinya pada Kemal.

Chan memicing. Anak yang ditatapnya mengernyit. Barangkali Kemal sendiri bingung dengan apa yang ingin Chan coba lakukan sekarang.

"Biar kutebak," lanjut Chan. "Pasti kamu belum salat dzuhur! Ini, nih! Setan itu paling suka sama manusia-manusia yang kayak begini. Ibadahnya setengah-setengah. Dibilangin baik-baik nggak mau dengerin. Tanda-tanda akhir zaman udah mulai kelihatan, loh, Mal. Dengerin kata Chan. Bertaubatlah! Tahun demi tahun telah terlewati. Bumi kita sudah semakin tua. Jangan nunggu ulangan, kenaikan kelas, ataupun kelulusan sekolah dulu buat datang ke Sang Pencipta. Ingat baik-baik, tiga bulan lagi kita bakalan ikut turnamen. Perbanyak ibadah dan berdoa biar dimudahin di segala urusan."

Chan menjelajahkan pandangan. Dia belum selesai bicara. "Mumpung masih diberi kesehatan ... taubat! Salat sebelum disalatkan. Itu yang aku denger dari guru ngaji aku. Jadi, buat kalian yang merasa belum salat, salat dulu! Sekalian nunggu yang lain datang."

Kemal mendengkuskan tawa sehela kemudian melanjutkan langkahnya yang tertunda. "Udah! Aku ikut jadwal mingguan salat dhuhur di sekolah, ya. Jangan sembarangan! Tanya Malik sama Galih kalau kamu nggak percaya, Chan. Tadi aku salat jejeran sama kelas mereka. Dan, ya! Kamu nggak lihat wajahku yang semakin ganteng ini setelah kena air wudhu? Mereka, nih, yang belum!" tegas Kemal sambil menendang pasang kaki milik tiga anak laki-laki yang berjejeran di lantai dan menutupi jalan. Pemiliknya mengaduh karena terganggu.

"Iya! Ini juga mau berangkat." Damar pun berdiri. Ia mengedikkan dagu ke arah pintu keluar, meminta dua anak lain mengikutinya. Setelah menuntaskan tiga menit terakhir dalam pertandingan game MOBA yang mereka mainkan pada ponsel masing-masing, Damar, Rafael, dan Theo berjalan meninggalkan ruang olahraga untuk kemudian pergi menuju ke musala sekolah.

Setelahnya, tidak ada keributan yang terjadi. Haura menelan suapan terakhir nasinya lalu pergi ke kantin untuk mengembalikan piring makan. Saat kembali, kedua kapten kapten tim sudah berdiri di teras ruang olahraga. Luna meminta semua anak untuk bergegas mengganti seragam mereka dengan pakaian olahraga, sedang Bata mengisi daftar kehadiran anggota. Beberapa nama yang keberadaannya tidak ditemukan di titik pertemuan dan sebetulnya telah meminta izin untuk keluar dari lingkungan sekolah pada mereka, Bata lingkari untuk kemudian ia dihubungi melalui panggilan suara.

"Halo, Van? Kalian di mana? Anak-anak udah kumpul, nih. Jangan lama-lama cari makannya. Balik sebelum Amanda datang, ya?" tukas Bata.

Sambil melakukan peregangan kecil pada tubuhnya agar nasi yang ditelannya tercerna sempurna, Haura mendengar hela napas panjang dari Bata. Ketika menoleh, Haura mendapati Bata pergi dengan membawa daftar kehadiran di tangan kirinya.

"Ra?" panggil Tsania tanpa menoleh. Ia menatap punggung Bata dari kejauhan. "Apa yang kamu pikirkan saat dengar tentang 'kapten tim'?"

Haura menoleh lalu menautkan alis. "Entahlah. Mungkin pemain terbaik yang punya tanggung jawab lebih dari sebuah tim?" balasnya.

Petikan jari terdengar. Tsania mengubah posisi tubuhnya menjadi bersila. "Ya! Seratus buat Haura Anastasia. Lihat dua kapten kita! Mereka mendadak jadi manusia paling sibuk se-dunia. Luna nyiapin galon air buat kita minum. Bata mendadak main peran jadi tim SAR, wara-wiri nyariin anak-anak ilang. Jabatan kapten tim itu nggak sebatas sesuatu yang terdengar keren di telinga aja, dan nggak bisa diberikan ke sembarang orang. Pemain yang mempunyai performa permainan bagus kayak Amanda aja nggak bisa jadi kapten tim. Oh, sebentar! Dia belum datang ke sini, kan?"

Tsania memajukan tubuh kemudian mendelik ke kanan dan ke kiri. Karena dirinya tidak mendapati keberadaan anak perempuan yang dimaksud, Tsania mengelus dada dan lanjut berkata, "Aku jadi terharu sama perjuangan mereka. Sebelum ditunjuk jadi kapten tim pun udah se-effort ini demi tim basket Saka. Denger-denger minggu kemarin Luna sama Bata sambang ke kelas anak-anak kelas tujuh ataupun delapan yang katanya keluar dari tim buat bujuk mereka, tapi malah berujung sia-sia. Semua anak tetep milih mundur. Mungkin karena mereka nggak kuat sama latihannya? Atau karena Amanda? Hm, aku sendiri agak nggak suka sama dia, sebenarnya. Terlalu nuntut ini dan itu."

Haura menghela napas panjang. Ia tidak memberi komentar apa pun. Ingatan mengenai Alika sempat mengisi kepalanya, tetapi itu tidak berlangsung lama, sebab Bata bersama beberapa anak laki-laki lain telah mendekat dan mengisi keheningan yang ada dengan bising dari suara mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro