05. KELUAR
"Kalau sampai istirahat selesai sakitnya nggak hilang, bilang ke Pak Guntur. Tsania ijin nggak ikut pelajaran karena sakit perut, begitu."
Haura menyibak tirai penyekat antar ranjang. Embus napas pelan keluar dari hidungnya ketika melihat Tsania berbaring dalam posisi menyamping ke arah kanan. Meringkuk dengan kaki yang ditekuk.
"Iya, tenang saja," balas Haura. Sambil mengangguk, ia mendudukkan tubuh di ranjang bagian tengah. Kemudian Haura memusatkan perhatian pada Tsania yang sedang menghadap tembok, membelakanginya. Haura meneguk ludah pelan selagi alisnya bertaut heran karena melihat tubuh Tsania terus bergeliat. Tidak bisa diam, hampir seperti cacing kepanasan.
"Memangnya sesakit itu, ya?" tanya Haura kemudian.
"Iyalah. Kamu tanya seakan nggak pernah merasakan saja." Ringis sesekali terdengar ketika Tsania berbicara. Kemudian anak perempuan itu pun terdiam. "Ah, jangan-jangan kamu memang nggak pernah merasakan yang namanya kram perut dan nyeri pinggang waktu tanggal merah?" tebaknya.
Haura tersenyum sedikit dan menggaruk pelipis kepalanya yang tidak gatal. "Nggak pernah. Makanya aku tanya."
"Enak banget. Aku, tuh, setiap hari pertama, satu badan rasanya remuk semua. Tahu nggak rasanya gimana? Kayak tertimpa pohon beringin. Ya, aku sendiri memang belum pernah tertimpa pohonnya langsung, sih. Amit-amit. Badanku yang sudah kecil ini bisa penyet. Jangan sampai, deh. Tapi, ya ... kurang lebih pegalnya sama kayak habis kerja rodi." Tsania menjeda ucapannya sebentar lalu mengembuskan napas berat. "Aih, aku juga belum pernah merasakan. Ya, pokoknya begitu. Pegal banget. Aku nggak mengada-ada, apalagi halusinasi. Memang itu yang aku rasakan, tapi setiap anak perempuan memang beda-beda, sih. Bisa sakit banget, bisa juga nggak."
Haura menautkan alis. Dia memiringkan kepala lalu menyangga tubuhnya menggunakan dua tangan di samping badan. "Suka muncul tiba-tiba juga, ya?"
"Iya. Mirip jailangkung. Astaghfirullah kelepasan. Aku nggak bermaksud buat manggil. Agak kesal, tapi gimana lagi, Ra? Takdir terlahir sebagai perempuan. Ya ... dinikmati saja." Tsania membalas tepat sebelum dirinya menggulingkan badan ke kanan. Anak perempuan bermata cokelat itu berkedip beberapa kali, dan dengan sisa tenaga yang punya, ia lanjut berkata, "Sudah, sana! Sebentar lagi istirahat. Kamu pastinya lapar. Aku mau tidur sambil nunggu obat pereda nyerinya kerja."
***
Sebungkus roti selai kacang dan segelas air mineral ukuran kecil telah berada di genggaman Haura. Setelah memberikan beberapa lembar uang sesuai jumlah yang telah ditentukan, Haura pergi dari koperasi sekolah, membelah kerumunan anak berseragam batik untuk kemudian menuju ke UKS. Lalu lalang siswa tertangkap oleh retina Haura. Dia menikmati embusan angin pagi beranjak siang sambil menyantap roti selai kacang, gigit demi gigit, sebelum menandaskan air mineral.
Haura meremas gelas plastik bersama bungkus roti dam membuangnya ke tempat sampah. Ketika mengubah arah langkah dan baru mengambil duduk di kursi depan UKS, Haura melihat seseorang.
Alika, anak perempuan bermata sipit itu, menatapnya dari jarak dua setengah meter jauhnya.
Haura menekan bibir lalu mendengkus. Sekembalinya dari latihan di minggu kedua masuk sekolah kemarin lusa, Haura sempat mengirim beberapa pesan yang memuat pertanyaan, "Kenapa nggak latihan?" dan "Kamu ada masalah?", tetapi berakhir tidak mendapat balasan apa pun dari Alika sampai sekarang. Bahkan, ketika mencoba berbicara dengan Alika secara langsung di sekolah, Haura tidak mendapat kesempatan untuk bertemu. Karena suatu alasan yang belum Haura ketahui pasti, rasanya Alika sedang mencoba membatasi diri.
Haura muak harus kembali membiarkan kepalanya diisi oleh pertanyaan yang ia tahu tidak akan menemui titik terang jika hanya disimpan sendirian. Setelah mengambil hela napas panjang, Haura menoleh. Kedua pun matanya menyipit.
"Kenapa kamu nggak balas chat dariku?" tanya Haura.
Belum ada balasan. Alika masih diam di tempatnya sambil meneguk teh dari botol yang baru dibukanya sampai habis. Setelah membuang botol kosong tersebut ke tempat sampah dan kembali duduk di samping Haura, ia berkata, "Aku keluar dari tim."
Seteguk ludah membasahi kerongkongan Haura. Jantung anak perempuan itu bertalu. Itu bukan jawaban yang ingin ia dengar dari Alika.
"Kemarin sebenarnya aku mau masuk, tapi mama marah dan kasih peringatan keras buat keluar dari tim basket Saka. Aku nggak tahu harus gimana lagi, Ra. Sebelumnya, aku memang sudah bertindak sesuka hati buat tetap gabung tim basket, meski tanpa persetujuan dari orang tua, terlebih lagi mama. Mamaku nggak suka aku ikut basket, dan minta aku buat ikut tata boga saja. Katanya, itu lebih sesuai buat anak perempuan. Pagi ini, aku mengajukan pengunduran diri ke Pak Abu dan permohonan masuk ke Bu Eli, dan diterima," jelas Alika.
Haura menghela napas dalam. Pengakuan yang baru ia dengar benar-benar mengejutkan. Sepanjang berteman baik dengan Alika, dia tidak pernah tahu jika keputusan Alika bergabung dengan tim basket Saka tidak mendapatkan persetujuan dari orang tua, terlebih lagi ibu. Haura hanya mengetahui anak perempuan itu memiliki ketertarikan pada basket, dan mencoba bersenang-senang dengan mengikuti tim olahraga yang sudah diincarnya sejak lulus SD.
"Aku tahu ini susah buat diterima karena ...." Alika menunduk. Dia menggigit bibir sebentar. Iris matanya pada akhirnya beradu dengan milik Haura. Setelah mengatur deru napasnya, Alika berkata, "Aku yang minta kamu buat datang di hari pertama latihan di tahun pertama kita di SMP dan kasih arahan ke kamu buat gabung tim basket Saka, tapi aku malah berakhir kayak begini. Ini sulit buatku. Aku sampai nggak balas pesan dari kamu selama berhari-hari karena selain karena lagi menenangkan diri dan memikirkan kembali keputusanku buat ikut basket, aku juga nggak berani menghadapi kamu. Aku masih takut. Maaf. Sekali lagi maaf."
Hening. Embusan angin menyapu dedaunan kering di halaman tengah. Haura berkedip dua kali. Dia tidak tahu apa yang harus ia katakan pada Alika. Haura memang sudah mendapat jawaban, tetapi itu sama sekali tidak membuatnya merasa senang.
Alika sedang berada dalam situasi sulit. Melepaskan sesuatu yang sangat berarti bagi dirinya pastinya menjadi keputusan yang berat, dan boleh jadi itu menjadi alasan perubahan sikap Alika selama beberapa hari terakhir. Haura sempat memendam sedikit dari rasa kesalnya karena pesan-pesan yang Alika abaikan, tetapi semuanya menghilang ketika Haura tahu kenyataan di baliknya. Penentangan dari orang tua. Karenanya, Haura tidak bisa berbuat apa-apa.
"Kalau memang begitu, nggak apa-apa." Haura buru-buru mengatupkan bibir dan memalingkan muka ke arah lain. Menatap pohon trembesi dengan dahan-dahan besarnya yang ditumbuhi dedaunan baru setelah sempat meranggas karena musim. Sebetulnya, Haura belum selesai berbicara. Ada satu kalimat lagi yang ingin ia sampaikan, tetapi karena suatu alasan, pada akhirnya dia menahan diri untuk tidak berkata lebih banyak lagi pada Alika.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro