Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

03. PROSES

Haura mempertahankan titik fokusnya pada benda kerucut yang tertata rapi membentuk barisan lurus di depan. Sambil mengangkat lengan kirinya yang terbebas dari bola, Haura berlari menuju ke tengah lapangan, dan setiap kali dirinya akan melewati cones, Haura memindahkan bola ke tangan lain dengan satu pantulan.

Bola lepas dari penguasaan. Haura mengejar dan berlari lagi sampai semua cones yang ada di jalur kanan berhasil dilewati. Bola diberikan kepada Tsania. Haura pergi ke barisan belakang dan kembali menunggu giliran di sana. Deru napas tidak teratur berembus berulang dari hidung dan mulut Haura. Haura memejamkan mata sebentar lalu membungkuk dan menumpu tubuhnya pada kedua lutut.

"Ayo! Semangat! Kurang enam kali pengulangan. Setelah itu kita free throw. Dua kali masuk terus istirahat. Anak yang paling terakhir poin harus melakukan push up, back up, sit up, terus trap, masing-masing 50 kali. Jadi, totalnya 200 kali," ucap Bata.

Haura menegakkan tubuh setelah berhasil mengatur napas. Dari kejauhan, dia melihat Bata bertepuk tangan cepat. Barangkali ia bermaksud memberikan semangat kepada anak-anak lain yang sudah tidak cekatan seperti saat kali pertama mereka menjalani latihan. Entah karena lelah atau mulai merasa bosan karena melakukan hal yang sama; crossover. Masalahnya, ini sudah lebih dari sembilan kali mereka berlari, bolak-balik dari ring basket utara menuju ke selatan. Melewati cones sebagai rintangan, tetapi Bata tidak juga mengakhiri latihan, dan malah menambah pengulangan mereka menjadi 15.

"Ijin protes, Kapten! Kenapa dari tadi kita cuma melakukan crossover? Gantilah. Lima belas kali pengulangan itu bisa dibagi lima. Kita coba teknik yang lain, gimana? Between the lag atau behind the back. Biar rata."

Haura menatap Kemal. Anak laki-laki yang belum lama ini memberikan protes pada kapten tim laki-laki itu terlihat menahan kesal.

Sambil mengamati ketepatan dari penggunaan teknik dribble beberapa anak yang melintas, Bata mendekati Kemal. "Biar terbiasa dan semakin mantap, Mal. Sekarang saja masih ada beberapa anak yang tekniknya salah," kata Bata. Lalu ia berhenti di barisan belakang.

Kemal berkedip beberapa kali. Bibirnya yang mengatup kini kembali terbuka. Dia ngin memprotes lagi, tetapi belum sampai suaranya terdengar, seseorang lebih dulu mendaratkan telapak tangan di pundak Kemal dan membuatnya menoleh.

"Sudahlah, Mal." Chan, si pemilik tangan, berkata dengan nada rendah. "Turuti saja apa kata kawan kita. Maharaja Batu Bata yang nggak bisa ditentang. Biar nggak ada yang namanya durhaka kepada kapten tim. Kamu pasti nggak mau punya nasib sial setiap kali bertanding di lapangan? Nurut saja makanya." Lalu pemilik gigi gingsul itu mendekatkan bibirnya ke telinga Kemal. Dia berusaha menghalau pandangan beberapa anak yang menatap mereka dengan telapak tangan yang terbuka. "Daripada kamu kena semprot Amanda gara-gara nggak nurut. Tahu sendiri dia sekarang kayak gimana. Makin seram. Hantu saja kalah," bisiknya.

"Tahulah, tapi itu nggak ada hubungannya," kelit Chan. "Bosan yang ada."

"Bosan? Kalau butuh hiburan, tahan dulu sampai pulang latihan. Ada dangdut."

"Di mana?"

"YouTube."

"Nggak lucu, Chan."

Chan mendengkuskan tawa sehela. "Eh, sori. Nggak maksud begitu, sumpah!"

Daripada terus mencuri dengar pembicaraan keduanya, Haura memalingkan muka. Tatapannya kemudian tertuju kepada anak perempuan yang sempat disinggung Chan. Amanda, anak perempuan pemilik tahi lalat di bawah mata kanan itu bersedekap dada dan mulai membentak seseorang. Tidak, itu bukan ditujukan pada Chan karena telah membicarakannya di belakang, melainkan karena ingin mengoreksi sesuatu yang dianggapnya salah pada diri orang lain.

"Pandangannya ke depan, Win. Bisa nggak? Kamu jangan lihat bola terus!"

"Van, dribble kamu kalau diberi kekuatan sedikit bisa nggak, sih? Kalau lemas kayak begitu, peluang musuh buat rebut bolamu itu besar. Oh ... ayolah! Mas Abraham sudah bilang kalau kamu nantinya bakal jadi yang bawa bola."

"Radista! Bolanya jangan dipukul! Ini bola basket, bukan voli. Kamu nggak bisa membedakan, ya?"

"Dribble kamu ketinggian, agak rendah. Posisi tubuh juga ketinggian. Condong ke depan sedikit. Sudah diberi tahu soal itu, kan? Dua minggu nggak masuk latihan, masa kamu sudah lupa?"

"Hei, jangan lihat bola! Lihat ke depan!"

Celaka. Baru masuk latihan, tiga adik kelas Haura sudah membuat kesalahan kecil yang tidak dapat ditoleransi Amanda. Sumbu emosi anak perempuan itu memanglah pendek. Tendensi untuk tidak peduli sepertinya hanya berlaku 15 menit pertama. Setelahnya, dia lebih mirip dengan Abraham yang kebakaran jenggot saat mereka bertanding di babak final kejuaraan kota.

"Sudahlah, nggak apa-apa. Namanya juga belajar."

Haura menoleh ke sumber suara. Luna terlihat berjalan menghampiri Amanda.

"Melakukan kesalahan itu wajar. Toh, ini hari pertama masuk latihan. Mungkin karena lama nggak pegang bola, tangan mereka jadi nggak terbiasa. Aku juga sempat kaku tadi," tambah Luna sambil menggenggam dan meregangkan jari-jemari tangan.

Amanda berdecak. Melalui lirikan mata, ia menatap tajam Luna. "Nggak apa-apa gimana? Justru karena itu teknik dasar. Kalau lupa, ya, kelewatan. Aku diam karena mau lihat ada perubahan atau nggak, ternyata sama saja."

"Ya, sabar. Berubah juga butuh proses." Tsania menimpali dari kejauhan. Dia bersedekap dada lalu bergerak mendekati Amanda. "Bagi mereka, ini masih semester kedua. Aku yakin mereka nanti bisa berkembang. Tahap demi tahap. Santailah sedikit. Jangan buru-buru. Dikejar apa, sih, kamu?"

Pemilik rambut cokelat bergelombang itu menatap tidak kalah sengit dari Amanda. Dia terlihat berbeda. Kejenakaannya menghilang. Ini memang bukan kali pertama dirinya melihat versi lain dari diri Tsania, tetapi Haura tetap saja kagum. Tsania bisa membaca situasi; kapan harus bercanda dan kapan harus serius. Hal itulah yang membuat Haura berpikir jika Tsania itu keren, melebihi dirinya.

Tsania menarik napas. Dia belum selesai berbicara.

"Terakhir. Jangan terlalu keras. Ini nggak cuma menyangkut masalah latihan, tapi juga hal-hal lain di luar itu. Nggak perlu disebut kamu pasti sudah tahu. Sudah jadi yang paling tua di sini, masa nggak ngerti?" Ia ganti menyindir.

Haura mengangguk. Dia memahami maksud dari perkataan Tsania. Amanda sepertinya sama. Sebab, setelahnya, tidak ada balasan yang anak perempuan itu berikan. Dia hanya menghela napas setelah sempat membagi tatapannya pada Luna dan Tsania lalu membuang pandangan ke arah lain.

"Sudah, semua bubar! Lanjut latihan!" sela Bata. Pasang mata yang sempat menjadikan keributan itu sebagai pusat perhatian, segera berpaling. Mereka menatap apa pun, selain Luna, Tsania, Amanda atau ketiga anak yang boleh jadi masih terkejut dengan bentakan yang belum lama ini mereka dapat. Bagaimana pun, sebagai kakak kalas, perlakuan Amanda itu tergolong keras.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro