01. LATIHAN
Cerita ini direvisi secara bertahap dan baru sampai chapter 10. Jika kalian menemukan adanya ketidaksesuaian pada tahun dan nama tim, berarti memang belum diperbaiki.
***
Enam belas anak yang tergabung dalam tim basket Saka, baik laki-laki atau perempuan, berdiri merapat di garis tengah lapangan. Mereka menundukkan kepala, menyilangkan kedua tangan, dan saling berpegangan.
Setelah Bata memberikan instruksi "selesai" untuk mengakhiri doa bersama, mereka merenggangkan jarak. Semua anak berjalan mundur, tetapi masih membentuk formasi lingkaran, dan hanya meninggalkan Luna dan Bata di titik tengah. Kedua kapten dari masing-masing tim berdiri saling membelakangi, bergantian memimpin gerakan.
Pemanasan dilakukan secara berurutan, dari kepala sampai kaki. Hingga tiba di mana mereka harus melakukan latihan kelenturan. Karena lapangan basket yang dipakai oleh tim basket Saka berada di luar ruangan dan tidak terdapat tempat berteduh yang cukup ketika matahari sedang gencar menyengat kulit, Bata pun berkata, "Cari tempat yang rindang. Pencar nggak apa, tapi jangan ngasal. Harus benar-benar dilakukan. Saling membantu kalau kesulitan. Ini perintah dari Mas Abraham. Hari ini, beliau nggak bisa datang. Pak Abu ke sini setengah jam lagi."
Lalu semua anak berpencar membentuk kelompoknya masing-masing. Di sisi kanan lapangan, setelah dibuat bahagia sebentar karena pelatih yang absen latihan, Kemal menahan mulutnya untuk tidak mengumpat. Dia yang memiliki postur tubuh paling besar di antara anak-anak yang lain memang mengalami kesulitan dalam hal kelenturan.
"Astaga, Bata! Pinggangku, hei!"
Kemal menegang, menahan jeritannya sendiri. Dia mendengkus karena Bata tiba-tiba mendorong punggungnya ke depan hingga hidungnya menghantam tanah. Rasa ngilu seketika menjalar di bagian belakang lututnya yang sedikit tertekuk saat seharusnya diluruskan.
"Kamu harus terbiasa, Mal." Bata menahan tubuh Kemal yang memberontak. "Kenapa tubuhmu bisa sekaku ini? Di luar latihan, kamu jarang olahraga, ya?"
"Siapa peduli? Lepaskan! Ini namanya penyiksaan, Ta!" omel Kemal. Suaranya sampai ke telinga anak-anak lain yang juga mengambil tempat tidak jauh dari titik mereka berada.
Bata menyahut. Dia tidak ingin kalah. "Latihan kelenturan itu dipakai di semua cabang olahraga. Ini penting buat menghindari cidera. Jadi, tahan sebentar, ya? Nggak lama, kok. Dua kali delapan hitungan. Demi kebaikanmu juga."
"Sudah tahu begitu kenapa nggak urus tubuhmu sendiri? Kamu kesulitan juga, 'kan? Kamu itu nggak lebih lentur dariku," balas Kemal. Dia merotasikan mata. Baru akan berkata lagi, seseorang telah menyela pembicaraan mereka.
"Bisa diam nggak? Lakukan saja. Banyak protes. Keluar kalau kamu keberatan. Mumpung masih awal. Dari dulu cuma kamu yang bermasalah dengan latihan. Curang, nggak serius. Kalau masuk tim basket cuma karena mau menumpang nama atau terlihat keren di mata anak-anak lain, semester ini lebih baik kamu angkat kaki saja. Saka itu nggak butuh orang yang nggak niat kayak kamu."
Bukan Bata, melainkan Amanda, anak perempuan yang tidak memiliki jabatan apa pun, tetapi kekuasaannya telah diakui kedua kapten tim. Keberadaannya bahkan lebih mengancam dari mereka sendiri. Salah sedikit, maka seperti ini jadinya. Peringatan keras yang lebih mirip perintah untuk keluar dari tim akan terang-terangan diberikan pada siapa pun yang dianggap tidak sesuai standar.
Beberapa pasang telinga mendengar, tetapi tidak ada satu pun yang berbicara. Bahkan, Luna yang sempat menoleh, tidak memberikan reaksi apa pun selain hela napas pelan.
Hening mengisi lapangan. Tidak ada pembicaraan berarti yang terjalin. Semua anak sibuk dengan hitungannya masing-masing, termasuk Kemal, sekalipun ia harus merasakan sakit pada lututnya lebih lama lagi. Sekuat itulah pengaruh Amanda. Tidak lama setelah anak perempuan itu berbicara, suasana latihan menjadi tegang. Haura yang mendengar keributan itu, hanya terus melakukan apa yang seharusnya ia lakukan agar tidak membuat kesalahan yang sama.
Sebetulnya, sepanjang yang ia rasakan sejak kali pertama masuk latihan di siang hari ini, lapangan basket menjadi lebih sepi dari bulan sebelumnya. Selain 15 anak yang kini duduk di halaman depan kelas untuk bisa melakukan latihan kelenturan, sudah tidak ada lagi wajah-wajah baru ataupun lama yang Haura temukan di tahun kemarin. Barangkali, mereka sengaja mengundurkan diri sebelum menjalani latihan yang lebih berat lagi. Atau memang sengaja bolos dan memilih untuk masuk di hari berikutnya karena satu dan lain hal. Namun, jika dihubungkan dengan merahnya kolom presensi Alika pada daftar kehadiran yang selalu dibawa Luna, keduanya sama-sama tidak masuk akal.
Sehari sebelumnya, Haura memang sempat menghubungi Alika, tetapi belum mendapat balasan. Pertanyaan "besok kamu masuk latihan?" bahkan belum dibaca. Padahal, biasanya anak perempuan itu akan menjadi anggota yang datang pertama kali. Lalu mengapa kali ini tidak ada kabar yang Alika berikan? Bahkan, ketika Haura bertanya kepada kedua kapten tim, yang semestinya mendapatkan pemberitahuan masuk atau tidaknya seorang anggota, entah dari pembina ataupun dari anak yang bersangkutan, mereka sama-sama mengangkat bahu, balik bertanya karena tahu Haura lebih dekat dengan Alika.
Embusan napas mengalir dari hidung Haura. Ia akan bertanya pada Alika nanti. Sekarang, dirinya harus menuntaskan latihan terlebih dulu. Haura tidak ingin mendapat teguran dari Amanda hanya karena dirinya tidak menjalani latihan dengan benar, seperti Kemal barusan.
Hitungan dilanjutkan. Haura menekuk satu kaki, membungkukkan tubuh lalu mencium lututnya lagi. Posisi tersebut ia pertahankan selama beberapa detik. Lalu ketika suasana latihan menjadi lebih terkendali karena Amanda yang sudah tidak lagi menaruh perhatian pada mereka, seseorang yang duduk di samping Haura tiba-tiba berkata, "Eh, tahu nggak? Aku kira ikan berkaki yang dimaksud Jarjit itu beneran ada, ternyata berudu. Ada manfaatnya juga suka nonton kartun. Bisa dapet ilmu."
Haura menoleh. Dia mengintip sang pemilik suara dari balik rambutnya yang menjuntai ke bawah. Itu Tsania.
"Kalau kamu? Suka nonton apa? Drama Korea? Duh ... kalau iya, kamu bukan golonganku. Aku lebih suka nonton kartun. Bodo amat, deh. Aku nggak peduli pada orang-orang yang suka ngatain nggak sesuai umur. Bagiku, kartun itu kelihatan menarik dan lucu." Tsania menarik senyum dan menunjuk wajahnya sendiri menggunakan ujung jari telunjuk tangan kiri. "Kayak aku," tambahnya.
Setelah mengakhiri hitungan, Haura memutar tubuh menghadap Tsania, tetapi tidak sampai memberikan balasan.
"Dih." Zora menanggapi terlebih dulu. Anak perempuan berkulit kuning langsat itu melirik sinis. "Belum tahu nikmatnya nonton drama Korea. Cobain nonton satu episode, gih! Nagih."
"Nagihnya sampai buat lupa waktu, ya?" tanya Luna sambil menepuk bagian belakang celana putihnya yang terkena serbuk pasir. Kemudian ia mengambil bola basket dan memantulkannya ke atas tanah. "Lihat! Kantung matamu makin hitam saja. Liburan kemarin sudah tamat berapa judul?"
"Nggak banyak. Di atas satu, di bawah tiga."
"Kenapa nggak langsung bilang dua?" cibir Tsania. "Duh, saranmu nggak akan mempan. Dulu aku sudah pernah coba, tapi gagal. Episode satu belum selesai, aku sudah bosan. Ngantuk."
"Lagi apes kali. Kedapatan yang nggak bagus. Saranku, kalau nonton drama Korea, lihat rating dan ulasannya dulu di internet. Kalau tinggi, katakanlah bintang lima, sudah pasti bagus." Zora meluruskan kaki. Dia menumpu badan menggunakan kedua tangan di samping tubuh. "Atau kalau nggak ya minta rekomendasi dariku saja. Aku punya list drama Korea yang dijamin seru!"
Tsania buru-buru menyilangkan kedua tangan di depan dada. Dia menggeleng cepat. "Nggak dulu," tolaknya.
Masih memainkan bola basket di kedua tangan, Luna menahan tawa.
"SST, tahu nggak kalian? Suka-suka Tsania," timpal Luna. Bersamaan dengan tubuhnya yang menjauh untuk kemudian bergabung dengan Bata yang telah berdiri di lapangan, Amanda, anak perempuan pemilik tahi lalat di bawah mata kanan itu menoleh dan memasang raut muka datar yang mampu membuat mereka membeku selama beberapa detik.
"Sekarang jamnya latihan. Kalian bisa berhenti bahas itu nggak? Kayak nggak ada yang lebih penting saja."
Dingin. Amanda mendengkus lalu pergi meninggalkan mereka.
"Lebih penting? Maksudnya kita harus bahas pelajaran sekolah? Pemanasan global? Proses pembuatan kertas dan terbentuknya awan? Atau manfaat dari reboisasi buat kelangsungan hutan? Dia serius banget. Iya, aku tahu sekarang jamnya latihan, tapi bisa nggak sih bicaranya biasa saja? Ayolah! Baru hari pertama latihan, tapi dia sudah cari masalah ke banyak orang? Dih, sensian! Semuanya dipermasalahkan. Pelatih saja nggak pernah sesewot ini." Zora menggerutu lalu bangkit dari duduknya. Ia berani berkata demikian hanya ketika berada di belakang Amanda, tentunya. Sejauh ini tidak ada yang berani menghadapi Amanda, selain kedua kapten tim basket Saka.
Haura diam. Ia tidak ingin ikut menanggapi. Sekalipun dua tahun menempati kelas yang sama, ia sama sekali tidak mengetahui apa yang menjadi masalah bagi Amanda. Mengapa anak perempuan itu bisa bersikap sekeras ini kepada orang lain? Semua orang kelewat sering membicarakan Amanda, tetapi jarang ada yang sampai memberikan teguran. Barangkali tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki keberanian lebih.
Tsania mengangguk. Ia membenarkan perkataan Zora. Matanya masih melirik ke arah Amanda yang terus berjalan menjauh tanpa meninggalkan kata maaf untuk mereka. "Sudahlah. Sekarang lebih baik kita ke lapangan saja," ajaknya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro