5
Kelas 1:
1. Keira Hanazawa | Point Guard (PG)
2. Hara Fukui | Shooting Guard (SG)
3. Aki Hasegawa | Point Guard (PG)
4. Fuse Aoyama | Small Forward (SF)
Kelas 2:
1. Naoka Hideki | SF
2. Nami Humiya | SG
3. Oka Chiba | C
4. Jun Isamu | PF
5. Uyeda Shima | PG
Kelas 3:
1. Nana Shuichi |PF
2. Kame Natsuyo | SG
3. Nori Yasahiro | C
Coach : Akimoto Yasushi.
Guru Pembimbing : Shiro Hotaka.
Manajer 1 : Amarisa Mitsuru.
Manajer 2 : -
Note : Penulisan nama di narasi menggunakan format (nama belakang) + (nama depan)
***
Sejujurnya Keira masih kepikiran dengan bisik-bisik yang dia dengar beberapa hari lalu. Mungkin saja gadis-gadis waktu itu tidak membicarakannya, Keira berusaha meyakinkan diri demikian. Namun, ketepatan waktu saat gadis itu bergerak keluar dari barisan dan omongan mereka terlalu tepat, sampai-sampai sulit dielak.
Sepatu berdecit menekan lantai lapangan cokelat, bunyi pantulan bola terdengar sampai ke sudut-sudut ruangan. Aroma keringat bercampur dengan udara, memenuhi seluruh gimansium yang pintunya dibiarkan terbuka. Di tengah-tengah lapangan, sepuluh orang tengah bertanding.
Tim pertama dengan rompi berwarna hitam beranggotakan: Shuichi Nana (PF); Natsuyo Kame (SG);
Yasahiro Nori (C); Aoyama Fuse (SF); dan Uyeda Shima (PG), sementara lawannya berompi biru gelap: Hideki Naoka (SF); Humiya Nami (SG); Oka Chiba (C); Isamu Jun (PF); dan Hasegawa Aki (PG).
Terakhir, Keira dan Hara kebagian jatah membalik papan skor sekaligus wasit dan pengawas pertandingan, karena mereka sudah bertanding lebih dulu tadi. Sekilas pertandingan ini tampak seperti anak kelas tiga melawan anak kelas dua.
Keira membalik skor Tim Hitam. Sejauh ini, Tim Hitam memimpin dengan 78-64. Di sebelahnya, Hara sibuk memperhatikan stopwatch dengan tangan memegang peluit. Sesekali gadis itu menatap ke arah pertandingan.
Begitu peluit terakhir dibunyikan, bola milik Tim Biru melambung di udara, mengenai pinggir ring sebelum akhirnya masuk.
Keira membalik skor terakhir, 86-74.
"Dengan total skor 86-74 maka Tim Hitam dinyatakan menang. Berbaris!" Hara mengumumkan. Kedua tim berkumpul di tengah, kemudian saling membungkuk.
Murid kelas dua dan kelas tiga saling mengoper botol yang diberikan manajer tim. Seluruh tim juga membagikan handuk seraya melakukan beberapa gerakan peregangan.
"Keira, Hara. Tolong pel lantainya, ya. Kita istirahat sebentar sebelum main lagi." Kame memerintahkan sambil menenggak air mineral, kedua siswi kelas satu itu mengangguk dan berlari kecil menuju gudang alat.
Begitu mereka kembali dari gudang, keduanya berpapasan dengan Pelatih Akimoto dan seorang pria.
“Ah, selamat datang.” Hara berucap, hampir bersamaan dengan Keira.
Akimoto mengangguk. Wanita bertopi itu melihat ke arah regunya yang baru selesai bertanding. “Aku punya pengumuman, bersih-bersihnya nanti saja,” kata wanita tersebut, lantas berjalan ke sisi lain lapangan.
Keira dan Hara mengangguk, mereka meletakkan kedua pel yang tengah dipegang lantas mengekori di belakang dua orang dewasa tersebut.
Melihat pelatihnya datang, Kame selaku kapten memberi arahan agar anggota timnya berbaris. Lebih-lebih, gadis berambut ungu gelap tersebut telah sedikit mengetahui perihal pengumuman yang akan disampaikan pelatih.
Keira berbaris di samping Hara, setelahnya ada Aki dan Fuse.
“Sebelumnya, aku akan menyampaikan bahwa turnamen antar sekolah yakni penyisihan Interhigh akan diadakan bulan Mei nanti. Pemberitahuan terakhir yang kutahu adalah tanggal 18 Mei, itu artinya bulan depan.” Akimoto membuka. “Kita bisa kesampingkan detail mengenai turnamen itu, apa yang sebenarnya ingin kusampaikan adalah aku dan Hotaka-sensei, telah berhasil membuat janji latih tanding melawan SMA Namori tiga hari lagi. Untuk itu, kalian bersiap-siaplah. Terutama murid-murid kelas satu.”
Pandangan Akimoto jatuh ke barisan empat orang siswi baru. “Ini akan jadi latih tanding pertama kalian sebagai murid SMA Meisei, aku akan mengusahakan kalian semua turun nanti. Meskipun hanya latih tanding, berusaha dengan keras seolah-olah itu pertandingan terakhir kalian,” ujarnya tegas.
“Siap!”
Akimoto mengangguk, kembali menghadap murid-muridnya secara menyeluruh. “Latihan hari ini kita cukupkan saja dulu. Aku ingin kalian datang ke pertandingan tim basket putra Meisei yang sedang diadakan di gimnasium mereka. Datang, dan lihatlah apa yang bisa kalian pelajari dari tim besar sesungguhnya. Kita juga harus tetap memberi dukungan pada mereka, dukungan suportif sesama pemain basket.” Pelatih berambut hitam sebahu itu mengangguk, lantas mempersilakan Kame untuk membubarkan barisan.
Setelah berganti pakaian, tim basket putri Meisei beranjak menuju gimnasium lain tempat latih tanding basket putra diadakan.
---
“Wah, hebat. Kita bisa cuci mata setelah sebelumnya latihan.” Aki berujar senang, sementara satu per satu senior mulai memasuki gimnasium lebih dulu. Beruntungnya, latih tanding itu belum dimulai. “Ne, tahu tidak? Salah satu pemain basket putra itu bekerja sebagai model, lho. Aku belum pernah melihatnya langsung, tapi aku mengikutinya di sosial media. Astaga, aku tidak sabar untuk melihatnya!”
Keira mengedarkan pandangan ke sekeliling, gimnasium itu lebih ramai daripada yang dia duga. Kebanyakan isinya perempuan daripada laki-laki, mungkin penggemar dari model yang dikatakan oleh Aki tadi.
“Kita nonton dari atas saja, ya.” Shuichi Nana, senior kelas tiga berkata sambil menunjuk tangga menuju lantai dua gimnasium.
Murid-murid kelas satu yang membuntutinya di belakang mengangguk patuh.
“Perasaanku saja atau tempat ini memang lebih besar dari punya kita?” Hara berkata, melihat-lihat seisi ruangan tersebut dengan saksama.
Keira yang berada di depannya mengangguk, sembari mengambil langkah pertama di anak tangga. “Nozomi-kun bilang, gimnasium ini baru dibangun dua tahun lalu. Sementara punya kita sudah ada sejak lama.”
“Meh, barang tua, toh. Kepala Sekolah benar-benar meremehkan kita, ya."
“Yah, dia punya alasan untuk melakukan itu.”
“Tuan Putri Lopez Von de Laurent Koscielny Blanc dan Lady Rovnile Querrey der Virtus. Sebaiknya kalian tidak terdengar pesimis begitu, kita datang kemari untuk menyebarkan dukungan positif sebagai sesama pemain basket bukan sebaliknya.”
Terkadang Keira merasa aneh kalau sudah mendengar Fuse jadi bijaksana begini. “Aku tidak pesimis sama sekali,” balasnya. “Malahan, aku sangat menantikan saat-saat Kepala Sekolah akan memberikan kita selamat nanti.”
Hara mendengkus di belakangnya, menahan tawa. “Aku suka itu,” ujarnya.
Keempat siswi sampai di lantai atas, mereka berdiri dekat tangga sembari berpegangan pada pagar pembatas. Senior kelas dua dan tiga berada di paling kanan, sudah mengamankan posisi menontonnya lebih dulu sembari berbincang-bincang.
“WAAA! Itu dia Takeuchi-kun, tampan sekali, ya Tuhan. TAKEUCHI-KUNNN!” Aki melompat-lompat kegirangan, malang telinga kiri Fuse yang harus menjadi korban teriakannya.
“Hoi, Aki! Kenapa suaramu kencang begitu?” tegur Kame kesal, wajahnya merona karena malu melihat tingkah adik kelasnya. Namun, teriakan sebal sang kapten teredam susulan seruan-seruan siswi lain yang tak kalah mengerikannya dari gelombang ombak menghantam pantai.
Tim basket putra berjalan masuk dari ruang ganti, tubuh mereka kentara lebih tinggi dan berotot daripada tim putri. Di antara kelima pemain yang masuk, memang ada seorang berpenampilan paling atraktif dan menonjol di antara yang lain.
Kedua tim mulai memasuki tengah lapangan, mereka memberi hormat dan saling mengisi posisi masing-masing.
“Itu dia, ya, si model itu.” Keira menunjuk si laki-laki tampan. “Small forward tim mereka.”
“Benar!” Aki menjawab antusias.
Gadis berambut cokelat tersebut kaget karena tiba-tiba yang di sebelahnya bukan lagi Hara, melainkan Aki. Ketika dia mencari-cari keberadaan Hara dan Fuse, dua teman pengkhianat itu sudah berpindah posisi jadi ke sebelah senior-senior kelas satu di paling kanan.
Tanpa diminta, Aki langsung membeberkan semua informasi yang dia tahu---seperti biasa. “Namanya Takeuchi Hideo-kun. Tinggi 189 sentimeter, berat 76 kilogram. Dia small forward tim Meisei. Sekelas dengan senpai kita, Uyeda-san dan Jun-san. Kelas 2-5.”
“Itu kapten mereka, yang wajahnya tidak ramah dan paling pendek di tim. Tingginya sama sepertimu, 178 sentimeter---mungkin lebih dikit. Dia juga main di posisi yang sama dengan kita. Point guard. Sekelas dengan semua senior kelas tiga, 3-1.”
Keira menanti Aki untuk kembali bicara, tetapi gadis itu diam saja sampai peluit dibunyikan tanda pertandingan dimulai. “Kenapa hanya dua orang?”
“Soalnya cuma mereka yang ganteng.”
“Itu enggak sopan sekali ....”
Skor pertama dicetak oleh tim Meisei melalui dunk yang dilakukan Hideo. Namun, tak sampai semenit tim lawan juga melakukan dunk untuk menyamakan skor. Selama tiga menit berselang, tempo permainan kedua tim begitu cepat dan mendebarkan sampai-sampai gimnasium terasa sesak. Tidak ada yang mau mengalah, keduanya saling serang dan menjadikan tiap-tiap serangan sebagai pertahanan mereka.
Selama Keira perhatikan, tampaknya Hideo yang paling sering memegang bola. Laki-laki itu melakukan fade away, tetapi diblok oleh pihak musuh dan bolanya dilempar ke pemain lain sebelum sempat dicegat oleh pemain Meisei. Pemain yang menerima bola tersebut memasuki posisi menembak sambil melompat ke belakang, teknik yang sama dengan Hideo tadi. Namun, kali ini dia berhasil memasukkannya ke dalam ring.
“Kurasa Meisei harus meminta timeout,” gumam Keira dan benar saja, pelatih tim putra menghampiri meja wasit dan bel dibunyikan.
“Wah, cepat sekali. Baru juga lima menit.” Aki berkomentar, wajahnya kelihatan serius. “Kurasa mereka kesulitan. Permainan lawannya lebih stabil dan mereka bisa mengembalikan serangan yang sama persis, tanpa membuat kesalahan.”
Keira mengangguk setuju, pandangannya fokus ke arah tim Meisei yang tengah mengatur ulang strategi di bangku cadangan.
“Takeuchi-kun itu ... dia agaknya terlalu panas dan terburu-buru. Makanya, serangannya beberapa kali meleset.”
Masa timeout selesai dan kedua tim memasuki lapangan kembali, Keira lihat laki-laki bernama Hideo itu terpejam dan menarik napas. Ketika dia membuka mata, pandangannya jadi lebih fokus dan jernih.
Pertandingan dilanjutkan dan tim lawan memakai strategi box-and-one defense yang memperkuat sisi tengah. Ini kombinasi yang umum dilakukan untuk membuat pemain bintang dari kedua tim saling berhadapan satu lawan satu. Dalam hal ini, pemain utama tim Meisei adalah Hideo Takeuchi.
Kapten Meisei yang memegang bola melakukan three pointer, mengejutkan lawan karena mengira poin pertama akan dilakukan Hideo.
Pertandingan kembali dilanjutkan, tim Meisei mulai mampu mengatasi serangan-serangan lawan dan pemain terbaik mereka. Karena selain dua orang yang Aki sebutkan di awal, tiga pemain lainnya juga sama kuat. Tentu saja, ada alasan kenapa tim basket putra SMA ini menjadi salah satu yang paling diperhitungkan selama bertahun-tahun. Sedikit demi sedikit, jarak antara skor kedua tim mulai melebar.
Namun, keunggulan sesaat di tengah-tengah pertandingan masih belum bisa disebut sebagai kemenangan. Tidak ada pemenang, selagi peluit terakhir belum dibunyikan. Kuarter pertama usai dengan keunggulan tim Meisei.
Skor saat ini : 36-26
Hideo dan pemain lawan yang bernomor punggung sembilan kembali berhadapan. Ketika Hideo hendak memotong drive-nya, pemain itu mengoper bola ke belakang dari balik punggungnya dan pemain bernomor tujuh melakukan pass. Pemain sembilan melewati Hideo, mengambil bola yang tadi dioper dan melakukan dunk.
Setelahnya pemain tujuh melakukan pass, diberikan kepada kapten mereka yang langsung melakukan tembakan three point yang masuk. Mempersempit perbedaan skor.
“Oh, sepertinya pemain nomor sembilan dan nomor tujuh itu semacam kombo yang mirip di tim kita,” komentar Keira. “Permainan pass dan tangkapnya mirip dengan Humiya-san dan Oka-san.”
“Nomor sembilan itu namanya Naoki, yang nomor tujuh namanya Saburo. Aku baru saja mencaritahu informasi tentang mereka di internet.”
Keira mengangguk, memberi tanda bahwa dia menyimak ucapan Aki.
Saburo mengadang Hideo, tetapi kemampuannya tidak cukup. Begitu Hideo melewatinya, dia kembali diadang Naoki dan Saburo memukul bola di tangan Hideo dari belakang. Bolanya memantul, ditangkap rekan lawan dan dimasukkan ke ring.
Berikutnya Kapten Meisei menangkap bola, dia memasuki posisi menembak dan melakukan shoot. Tembakannya ditahan, bolanya diambil lawan dan mereka melakukan serangan balasan yang cepat.
Kombinasi permainan lawan membaik di kuarter kedua, mereka bisa menguasai lapangan dan mendominasi. Baik teknik seperti pass, screen, shoot dan lainnya dilakukan tanpa kesalahan. Terutama shooting guard mereka yang merupakan kapten, tembakannya tiga poinnya belum ada yang meleset sejak kuarter pertama tadi.
Peluit dibunyikan, kuarter kedua selesai dengan skor : 68-74 yang diungguli oleh tim lawan.
“Yuudai Tadao! Jangan sampai kalah! Awas saja, kalau kau bikin malu kelas kita!”
Keira terkejut karena tiba-tiba Kame berteriak di tengah-tengah gimnasium yang sepi. Namun, sepertinya gadis kelas tiga itu sudah punya backup agar tidak malu-malu sendiri, sebab kini gadis-gadis kelas tiga lainnya ikut-ikutan berteriak memberi semangat.
“Kalahkan mereka!”
“Tim Putri mendukung kalian!”
“Berjuanglah sampai mati!”
Wajah kapten tim putra---Yuudai Tadao---berubah pucat karena diteriaki Kame, dia menggeleng dan membentuk huruf X besar dengan kedua lengan, sementara kapten tim putri malah makin semangat sebab melihat tanda itu.
Senior kelas dua mulai ikut-ikutan.
“Jangan cuma punya modal wajah aja, mana kemampuan yang kau banggakan itu?”
“Kalau kau kalah, janji harus mentraktir kami, ya.”
“Semangat terus!”
“Sikat mereka di kuarter berikutnya! Kalian pasti bisa!”
“Aku berhenti langganan majalahmu, kalau kau kalah, Hideooo!”
Keira menoleh kepada Aki, hendak bertanya apakah mereka juga harus ikut-ikutan menyemangati walau tidak begitu dekat dengan anggota tim putra.
Namun, ternyata yang tidak dekat itu hanya Keira saja.
“Minoru, Michio, Ryuichi, Satose, Kazueee! Jangan cuma diam saja di bangku cadangan, mana suara kalian? Berikan semangat untuk senior tim kalian, dong!” Aki berteriak sampai terbatuk-batuk dan Keira menepuk punggungnya beberapa kali.
Sesudah itu gimnasium mulai ramai dengan dukungan-dukungan yang datang silih berganti, tak lama para pendukung mulai jadi satu suara untuk menyemangati tim Meisei.
“Hoi, Keira! Kau tidak mendukung sama sekali, semangatmu sebagai pemain basket?” Kame protes, menunjuk Keira dari tempatnya berdiri. Adik kelasnya itu langsung menelan ludah, merasa tersudut.
“Sudah, jangan malu-malu. Paling-paling suaramu tidak terdengar kalau berseru sekarang.” Naoka Hideki meyakinkan, murid kelas dua yang mengurus pendaftaran Keira waktu itu.
Keira mengangguk paham, dia menarik napas dan akhirnya berteriak, “SEMANGATLAH!” Rupanya suaranya terlalu keras, sampai-sampai kini seluruh gimnasium berubah sunyi dan para pemain menatapnya. Para senior menahan tawa, teman-teman seangkatan keheranan.
Keira merasa hatinya mencelus, dia ingin kabur saja.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro