Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4

“Foto lagi! Foto lagi! Foto lagi!” Aki berseru-seru. Dia menangkap lengan Keira yang hendak kabur diam-diam, lantas memaksa gadis bertopi hitam itu untuk kembali berswafoto.

Keira mendesah panjang. “Aku sudah kehabisan gaya,” keluhnya, melepaskan genggaman Aki pada lengan seraya menjauh. Siswi kelas satu itu tidak habis pikir kenapa Aki begitu tergila-gila untuk mengabadikan momen seperti ini, rasa-rasanya mereka sudah mengambil foto di setiap sisi bus.

Aki mengabaikannya, terlalu sibuk memilah-milah mana foto yang layak untuk bertengger di beranda sosial media. “Aku sudah menandaimu di postingan terbaru, nanti jangan lupa repost, ya. Like sama komentar juga di kirimannya.” Dia tersenyum lebar sambil menekan tombol kirim, tampak puas begitu melihat ponsel di tangan kiri Keira bergetar.

“Nah, sudah masuk!”

“Kenapa kau begitu menyukai hal-hal ini.” Keira bergumam, jempolnya menekan dua kali slide foto terbaru Aki. Memberi love. Dia menggesernya beberapa kali dan menatap sejumlah foto Aki bersama siswa-siswi lain. “Belum juga berangkat.”

“Nah, karena belum berangkat itu!” Aki bersikeras. “Kalau sudah di mobil, aku mau tidur saja. Soalnya, mual. Lalu nanti begitu sampai, ponsel pasti akan disita.” Gadis dengan model rambut bob itu mendekati Keira, berjinjit dan berbisik di telinganya. “Aku sedang berusaha mencari cara untuk menyelundupkan ponselku saat acara kemah nanti.” Aki menjauh, telunjuk menempel di bibir sambil mendesis-desis dengan raut jahil.

Seseorang memanggil namanya dari belakang, gadis itu berbalik dan membalas sambil berkata, “Itu ketua kelasku. Aku balik dulu, ya, Keira. Sayang sekali, kita beda bus. Sampai nanti.” Aki melambaikan tangan dan berlari menjauh.

Keira balas melambai pelan, dia menatap ponselnya yang masih menampilkan foto terbaru Aki dengannya di halaman terakhir. Gadis itu menekan fitur share, kemudian mematikan ponsel dan memasukkannya ke saku jaket.

“Nozomi-kun, kau duduk dengan siapa?” Keira menekan-nekan bahu kanan Kento, menunggu laki-laki yang tengah sibuk mengecek daftar hadir teman-teman sekelasnya itu berbalik.

Begitu menoleh, Keira sedikit terkejut dengan wajah muram Kento yang tidak biasanya. Meskipun begitu, ketua kelas 1-4 itu tetap berusaha tersenyum. “Tentu saja, aku duduk di sebelah sensei.” Meskipun berusaha terdengar baik-baik saja, Kento jelas tidak bahagia. Raut wajahnya yang sudah muram dan dipaksa tersenyum, makin membuat Keira merasa kasihan.

Yah, duduk di bangku terdepan bersama guru pembimbing berarti tidak bisa macam-macam. Mentok-mentok, ya, makan permen hisap kalau dikasih. Kento juga pasti dapat kursi di sebelah jalan, jadi tidak bisa bersandar di dinding atau melihat pemandangan melalui kaca. Sementara, murid-murid lain bisa menonton anime atau gitaran di belakang, dia harus jaga imej saat mengantuk dan bersikeras untuk tidak ketiduran dengan mimik wajah konyol.

Beruntung kalau sensei mengajaknya bicara dan punya topik yang tidak alot. Kalau pembicaraannya basi, yang ada bukannya terhibur malah mabuk perjalanan.

Keira menepuk kedua bahu Kento. “Semangat. Fighting!”

Kento tersenyum paksa. “Terima kasih,” bisiknya. “Kau baris dulu bersama yang lain. Aku mau menghitung kalian, sudah hampir jam berangkat. Barang-barangmu sudah masuk bagasi? Yang penting-penting dipegang saja dulu.”

“Aman, Ketua,” balas Keira. Dia melambaikan tangan seraya berjalan menuju barisan teman-teman sekelasnya selagi Kento mendekati Mujioka-sensei, guru olahraga sekaligus wali kelas mereka. Ketika Keira sedang berpikir dengan siapa dia akan duduk, seseorang tiba-tiba saja merangkulnya dari belakang.

“Tuan Putri, tentu Anda akan duduk denganku, kan?” Fuse tersenyum lebar.

---

Fuse benar-benar tidak bercanda ketika dia bilang dia kenal dengan semua angkatan. Meskipun yang hanya ikutan study camp ini murid-murid kelas satu, dia jelas mengenali semua orang di dalam bus bahkan yang dari kelas berbeda. Bersama Fuse di sebelahnya, Keira mendapatkan banyak kemudahan.

Dia bebas pilih ingin duduk di mana, semua teman-teman Fuse bersedia bertukar bangku dengannya. Sesudah itu juga, selama perjalanan, Fuse selalu ditawari makanan yang kemudian dioper Fuse ke Keira. Anak-anak mengajaknya bernyanyi, memainkan permainan kelompok, menertawakan lelucon, dan membicarakan hal-hal yang tidak Keira ketahui. Fuse mengajaknya untuk bergabung, tetapi gadis itu menolak dengan alasan mengantuk dan memang benar demikian.

Sampai saat ini, Keira masih bertanya-tanya mengapa gadis pirang ini berlaku baik sekali padanya. Keira menyandarkan kepala ke jendela, telinga disumbat earphone selagi ponselnya memutar lagu. Dia terpejam, mengecilkan volume suara untuk diam-diam menyimak obrolan Fuse dengan kawan-kawan sekelas yang duduk di sekitar bangku mereka berdua. Dalam hati, gadis itu berharap bisa punya kemampuan sosial sebaik Fuse. Meskipun anak itu aneh tingkahnya, dia banyak digemari orang-orang dan mudah bersosialisasi.

Keira sangka anak-anak yang menemaninya hanya akan menjadikan Fuse sebagai badut dalam kelompok mereka, ditertawai untuk dijauhi setelahnya. Kalau memang begitu, Keira sudah siap pasang badan demi teman seklubnya tersebut. Namun, melihat tawa tulus dari belasan siswa di samping kursinya ini membuat Keira membuang jauh-jauh dugaan buruknya. Toh, dua puluh hari lebih sudah berlalu sejak mereka berteman. Sejak saya itu, Keira selalu memperhatikan Fuse dan Aki yang menempelinya tiap ada kesempatan.

Dia senang kalau teman-teman senang, dan dia juga senang karena sering kecipratan untung. Misalnya saja seperti sekarang atau karena bersama Aki, dia jadi lebih update terhadap hal-hal terkini tanpa perlu repot-repot mengecek ponsel tiap kali luang. Aki juga yang mengurus akun media sosialnya.

Walau progres jumlah teman mengobrol Keira masih tidak jauh-jauh dari lingkungan anggota klub dan Kento, setidaknya dia punya beberapa 'kenalan' alias teman, temannya dia.

Beberapa kali tepukan lembut mendarat di pipi kanan Keira, dia mengerjap merasakan cahaya matahari memasuki mata. Gadis itu menyipit, menjauhkan kepala dari jendela dan meringis pelan karena nyeri.

“Kita sudah sampai.” Fuse tersenyum kecil, terlihat puas melihat teman sekelasnya akhirnya membuka mata. “Anda tidur lelap sekali, Putri. Aku sampai tidak tega membangunkan, maafkan aku, ya. Setelahnya, Anda bisa tidur lebih nyenyak lagi.” Gadis berkaos jingga itu menekan dada, lagi-lagi dramatis.

Keira masih mengumpulkan nyawa, dia berdiri dan merasakan nyeri di punggung dan bokong. “Kau tidak tidur, ya?” Gadis itu mencabut earphone, telinganya panas dan ponselnya benar-benar mati sekarang. Ketika menoleh ke jendela di sebelah kiri, Keira melihat Kento sudah mulai membariskan teman-teman sekelas mereka.

“Aku senang, Anda mengkhawatirkan pengawal rendahan ini,” ujar Fuse penuh haru. “Tapi, aku baik-baik saja. Tidak lelah sama sekali dan siap menemani Anda sampai acara kita selesai, Putri.”

Keira tidak mengatakan apa pun, dia sudah habis akal untuk menghentikan panggilan dan perilaku unik temannya itu dan mulai memaklumi kesukaannya pada dunia khayal. “Baiklah, ayo kita turun.”

Tampaknya Aki tidak berhasil menyembunyikan ponselnya. Gadis itu kelihatan merana saat menghampiri Keira begitu barisan mereka dibubarkan setelah absen. Dengan tangan kurus yang direntangkan, Aki memeluk Keira dan pura-pura menangis di dadanya.

“Aku tidak bisa mengambil foto lagi. Aku tidak bisa siaran langsung, aku juga tidak sempat mengabari pengikutku. Ne, Keira. Bagaimana ini?”

“Sabarlah. Kita hanya tiga hari, dua malam di sini.” Keira berusaha menenangkan dengan memberi tepukan ringan di puncak kepala Aki. Mengelus rambut hitam pendeknya. “Lagian, ini bukan acara perkemahan biasa. Tentu saja, guru-guru berharap kau fokus dengan pelajarannya daripada jalan-jalan.”

Aki berdecak kecewa sambil menggeleng-geleng, melepas pelukan mereka. “Kau benar-benar mirip, Hara-san. Kaku dan disiplin.”

“Aku dengar itu, Hasegawa. Daripada kalian bertiga membicarakan orang lain, lebih baik bantu menurunkan barang, membangun tenda, dan dapur umum. Sudah sore, lakukan dengan cepat sebelum gelap. Kita juga masih harus memasak makan malam,” tegur Hara Fukui dari belakang Aki.

Gadis malang itu memekik terkejut, tetapi tidak mengelak dan menyeret Fuse bersamanya sambil mengeluh. Fuse juga ikut-ikutan mengeluh karena dia mau bersama Keira. Sementara Keira menawarkan gadis bertubuh tinggi yang menegur tadi jasa mengangkat meja.

Hara tampak puas mendengar tawaran itu, dia mengangguk setuju dan keduanya berjalan menuju bagasi bus. “Aku yakin bisa mengangkat barang lebih banyak darimu, Hanazawa,” ucapnya sambil menunjukkan otot lengan di balik kaos.

Kalau lengannya tidak dibentuk L seperti ini, ototnya tidak terlihat sama sekali. Keira bertanya-tanya, bagaimana bisa Fuse menyembunyikan hal tersebut. Pikiran itu membuatnya tertawa geli.

“Iya. Kita lihat saja. Jangan curangi hitunganmu, ya.” Gadis berambut cokelat gelap itu mengerling, menantang.

Dibandingkan dua orang siswi kelas satu lainnya, Hara memang memiliki kepribadian yang agak mirip dengan Keira. Selain itu, Hara yang sangat kompetitif dan Keira yang tidak mau mengalah justru menimbulkan persaingan alami sebagai jembatan pertemanan mereka.

Sebenarnya bukan hanya Keira yang ditantang begini oleh Hara, senior mereka juga sama. Tidak hanya dalam olahraga, Hara juga suka bersaing dalam hal-hal sepele seperti: 'siapa yang berhasil mendapatkan menu spesial hari Kamis di kantin'

Hari pertama study camp, tidak ada materi yang disampaikan oleh para guru maupun pemateri khusus yang telah dipersiapkan di lokasi kemah. Namun, semua siswa menerima sejumlah pembekalan dan jadwal kegiatan untuk dua hari ke depan. Mereka juga digabungkan ke dalam kelompok-kelompok belajar kecil, dengan anggota yang sudah dipilih secara acak. Kegiatan ini jadi semacam malam keakraban murid-murid kelas satu.

Setelah malam pertama yang melelahkan tersebut, Keira dan yang lainnya menjalankan aktivitas seperti rencana. Pagi hari senam, kemudian sarapan bersama. Sesudah itu bergabung bersama kelompok yang sudah dipilihkan, lantas menerima materi dan tugas dari pemateri juga guru pembimbing. Usai itu, ada kegiatan istirahat ketika jam makan siang. Para siswa-siswi bertanggung jawab sendiri untuk menyiapkan makanan mereka. Guru-guru sudah menyusun jadwal siapa yang bertugas mengurus dapur untuk hari itu, juga siapa yang akan membereskannya nanti.

Kegiatan usai pukul lima sore, setelah beristirahat sebentar lanjut menyiapkan makan malam. Tim yang menyiapkan makan malam adalah tim bersih-bersih sesudah makan siang tadi dan sebaliknya. Walau terkesan monoton---menurut Aki---Keira menikmati perjalanan itu, karena dia jadi lebih dekat dengan anggota seklubnya. Sayang sekali, gadis tersebut baru ada kesempatan mengobrol panjang bersama Kento ketika mereka satu tim sewaktu jurit malam di hari terakhir.

Daripada sibuk ketakutan, Keira justru terpaksa mendengar keluhan-keluhan Kento tentang betapa beratnya tugas ketua kelas dari sebelum acara kemah dimulai sampai selesai. Kelakuan tertekan laki-laki itu malah membuat hantu-hantu palsunya khawatir, apalagi dia pura-pura berteriak untuk melampiaskan kesal karena tak dapat menikmati perjalanan ini sama sekali.

Beruntung di saat pulang, Kento berhasil bebas dari posisi bangku di sebelah guru dan berkumpul bersama geng cowok-cowok di barisan belakang bus.

---

Bisa-bisanya habis study camp langsung masuk sekolah lagi. Keira mengeluh dalam hati, merasa berat meninggalkan kejadian kemarin.

Baru saja dia sampai di kelas setelah menjalani latihan pagi, suasana ruangan tersebut tampak sangat ramai dan berisik. Murid-murid mengerubungi papan tulis putih yang kini ditempeli potret wajah siswa-siswi sewaktu acara study camp kemarin. Keira mengernyit heran, pasalnya ponsel dan segala bentuk benda elektronik disita oleh pihak guru.

“Perhatian semuanya.” Seorang remaja laki-laki berkacamata berbicara dari atas kursi depan kelas. Dia menggunakan gulungan kertas selayaknya toa. “Berkat kemampuan hebatku, aku berhasil menyembunyikan ponsel dan mengambil gambar-gambar berharga ini. Tentunya, tentunya, tentunya, tentunya ... selain harus berterima kasih karena aku sudah mengabaikan sejumlah momen yang gagal kalian capai sendiri, foto-foto ini tidak gratis alias satu foto seharga seribu yen. Bayar dulu, baru ambil fotonya.”

Laki-laki tadi meloncat dari atas kursi, tiga teman laki-lakinya yang bertubuh besar dan gempal langsung menghalangi bagian papan tulis, membuat siswa-siswi yang tadinya sibuk mengamati foto mereka terpaksa ambil langkah mundur.

“Yah, yang mau fotonya. Bayar dulu di sebelah sini.” Laki-laki berkacamata itu, Monota Kiruuhito. Terkenal suka menjual apa saja di kelas. Terbukti sekarang barang dagangannya akan lebih laris dari biasanya. Dia duduk di belakang meja baris pertama paling pinggir, menerima uang layaknya kasir.

Keira tidak yakin fotonya akan ada, jadi gadis itu melenggang menuju kursi. Namun, tatapannya berhenti pada satu foto yang menampilkan wajah tertawanya sambil mengucek mata dengan lengan baju.

Keira ingat kejadian itu, dia berlomba memotong cabai melawan Hara dan tidak sengaja menyentuh mata. Keira tertawa karena Hara panik sekali, padahal itu bukan salahnya.

Foto yang memalukan!

Gadis berkucir ekor kuda itu sudah berbalik, ikut berbaris di depan meja belajar Kiruu sambil menghapal letak fotonya sendiri. Baris ketiga dari bawah, foto kelima belas di sebelah kanan. Baris ketiga dari bawah, foto kelima belas di sebelah kanan.

Tinggal satu orang lagi di depan Keira.

“Aku mau foto kelima di barisan teratas, kemudian foto ketujuh di barisan tengah, dan foto kelima belas di barisan ketiga bawah.”

Mendengar letak fotonya disebut, Keira dengan spontan mencolek bahu di depannya. “Oh, maaf. Foto terakhir tadi fotoku, aku mau me---”

Ternyata orang itu Kento. Dia tersenyum kikuk, ketahuan mau membeli foto aib orang lain untuk dijadikan bahan blackmail.

Wajah Keira berubah masam, menyesal dia sempat meminta maaf dan tidak langsung menyadari sosok di depannya karena fokus menghapal tempat foto.

“Aku akan membayar foto itu seharga seribu yen.” Keira berkata pada Kiruu.

Kento buru-buru menambahkan. “Aku bayar dua ribu.”

“Empat ribu yen.”

Tujuh ribu yen.”

“Delapan ribu yen?” Kento mulai khawatir, sementara Keira masih tidak mau kalah.

Kiruu tampak puas, dia memegang bolpoin yang digunakan untuk mencatat pesanan foto selayaknya palu lelang. “Kau berani bertaruh lebih tinggi, Hanazawa-san?”

“Sepuluh ribu yen.”

“Aku akan memberikanmu 25.000 yen untuk foto itu, Lord Fletcher Knox Langston.”

“Oke! Terjual!” Kiruu mengetuk-ngetuk bolpoinnya senang. Lantas memberi tanda agar seorang dari tiga temannya, mengambilkan foto Keira untuk Fuse yang tiba-tiba muncul dari belakang kursi Kiruu. “Senang berbisnis dengan Anda.” Fotonya diserahkan pada Fuse, gadis bermata biru itu kelihatan senang sekali.

Keira merutuk sebal, keluar barisan untuk menghampiri Fuse dan mengajaknya negosiasi. Dia menyempatkan diri untuk meninju punggung Kento.

Baru saja Keira hendak meninggalkan tempat berdirinya, samar-samar dia mendengar seseorang berkata, “Si Sombong itu bikin keributan saja, ya.”

“Aku tidak menyukainya.”

[]

Lupa bilang ini, tapi kalau di narasi aku tulis nama tokoh dengan format (nama depan) + (nama belakang). Namun, saat mereka berkanalan, formatnya jadi : (nama belakang) + (nama depan)

Aku sempat salah di bab ketiga, saat perkenalan Fuse. Mohon maaf, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro