30
Menjelang sore, saat matahari mulai terbenam dan sinar jingga mewarnai pasir putih tempat tim Meisei berlatih. Pelatih meniup peluit sebagai tanda bahwa acara latihan mereka selesai dan gadis-gadis itu langsung luruh ke tanah seperti tanaman terlindas roda.
Keira sendiri baru merasakan capeknya sekarang, dia duduk sambil meluruskan kaki dan mengelus-elus permukaan kulitnya yang tidak mulus karena ditempeli pasar. Di depannya ada Hara yang menekan-nekan betis sama paha sambil meringis kecapekan, Aki merebahkan badan layaknya bintang laut di samping Hara, sementara Fuse tengkurap. Kondisi tak jauh berbeda juga dirasakan oleh para senior mereka, hanya Pelatih Akimoto dan dua manajer mereka yang masih berdiri.
“Jangan terlalu lama istirahat, nanti kalian keterusan dan malas kembali ke penginapan. Kita masih belum selesai, jadi jangan membayangkan makanan atau kasur dulu. Mulai besok kalian akan melawan sekolah lain, malam ini cukup saling mengevalusi perkembangan masing-masing dengan main bersama. Mengerti?”
Semua menjawab dengan nada tak semangat. “Baikkk.”
“Aku lapar.” Aki memegangi perutnya yang berbunyi. “Mau tidur, ngantuk.” Gadis itu melanjutkan sambil terpejam dan menguap lebar.
Keira berdiri dari duduknya, dia membersihkan sisa pasir dari bokong dan sejenak bertanya-tanya apa yang dilakukan tim sekolah lain untuk mengimprovisasi diri. Berlatih di lapangan itu hal lumrah, dulu waktu SMP dia sering melakukannya baik seorang diri maupun bersama tim. Namun, melihat kondisi pantai yang lenggang dengan hanya sedikit sekali pengunjung, gadis itu yakin bahwa sekolah lain tengah melakukan metode pelatihan berbeda.
Tentu saja, semua tim pasti punya kelemahan dan kelebihan mereka masing-masing dan yang paling utama untuk kami saat ini adalah stamina. Gadis itu berjongkok di depan kaki Aki dan memegangi pergelangannya, Aki yang merasa heran mengangkat setengah badan untuk melihat kelakuan Keira. Namun, Keira tidak menjawab saat Aki bertanya. Alih-alih, gadis itu malah berdiri sehingga kedua kaki Aki terangkat sementara dirinya masih rebahan.
“Kau mau apa?” Hara bertanya, keningnya berkerut samar.
“Kapten Kame sudah menyuruh kita siap-siap buat pulang, jangan terlalu lama tiduran. Nanti kau jadi malas bangun,” balas Keira.
Aki mengerang. “Aku sudah tidak sanggup jalan lagi," balasnya dramatis, lengan dinaikkan sampai menutup mata. "Coba bayangkan, balik dari sini kita masih harus lewatin tanjakan sama turunan. Turunan, sih, oke. Cuma, wow, tanjakan? Mendingan di sini."
Berikutnya yang Aki rasakan adalah tubuhnya ditarik maju mulai dari kaki. Awalnya pelan, tetapi tiba-tiba Keira berlari dan Aki bersumpah itu adalah pengalaman terburuknya di pantai seumur hidup. Dia sudah akan menangis kalau bukan karena ditenangkan oleh Fuse dan Hara. Keira sendiri jadi diomeli oleh Kame.
---
Pulang dari latihan di pantai, tim Meisei melanjutkan latihan mereka di lapangan indoor. Ada tiga lapangan di gimnasium besar milik Akademi Nishimachi ini. Setiap satu lapangan diisi oleh masing-masing sekolah. Tim Meisei melakukan sedikit peregangan, sebelum mulai latihan sesi kedua. Manajer Kento membagi mereka ke dalam tim yang terdiri atas masing-masing lima orang dan diminta bertanding lima menit lagi.
Di sisi lain, Pelatih Akimoto menerima pesan bahwa Nami dan Jun akan tiba paling lambat besok siang karena masih ada perbaikan satu mata pelajaran lagi. Dua orang itu menerima ceramah panjang dari Pelatih Akimoto melalui telepon.
“Akhirnya kita bisa bergerak sungguhan!” Naoka berseru, sibuk lari-lari bolak-balik dan melalukan lari zig-zag. “Kakiku terasa lebih ringan, senang bisa kembali main di lapangan.” Pemain inti Meisei itu lantas sibuk men-dribble bola.
Nana menyentuh pipinya, dia menatap Nori dengan tatapan memelas. “Kulitku terbakar, pulang-pulang dari sini pasti gosong. Aku tidak mau lihat bagian tubuhku yang lain, pasti jadi mirip zebra.”
Nori mendengkus geli. “Kita masih di sini sepanjang musim panas. Siap-siap saja.” Gadis itu berkecak pinggang, kulitnya pun juga sudah memerah seperti Nana.
“Tidakkk.” Nana meringis histeris sambil pura-pura menangis.
Aki meloncat-loncat, senang bisa kembali mengenakan sepatu karena sepanjang di pantai mereka harus bertelanjang kaki. “Aku merasa seperti bisa berlari ratusan kilometer sekarang.”
“Halah,” balas Hara dan Keira kompak.
Fuse melalukan three point shot, bolanya langsung masuk dan wajah gadis berambut pirang itu berubah cerah. “Aku merasa sedikit lebih ringan.”
Bola yang digunakan Fuse barusan memantul ke arah Keira, gadis itu menangkapnya dan berlari menuju ring satunya di sisi lain lapangan. Dia bisa merasakan perubahan di ujung jari-jari tangan dan kekuatan yang terkumpul pada kakinya. Latihan lari dari sini ke pantai kemudian usaha memainkan permainan bola ini tanpa bisa memantulkannya ke bawah, jelas membawa perubahan bagi semua orang. Inti dari latihan itu memang untuk menguatkan otot-otot para pemain.
Ketika menginjak pasir, hal yang pertama memijak tanah adalah kaki dan tenaga yang digunakan untuk berlari di atas pasir pantai dengan lapangan indoor jelas jauh berbeda dari segi berat, usaha, dan kekuatan yang dikerahkan. Latihan ini tidak hanya untuk mengimprovisasi stamina para pemain, tetapi juga kekuatan otot-otot mereka.
Kalau semuanya bisa berlatih seperti ini setiap hari. Kami semua akan berkembang lebih cepat. Keira melompat dan melakukan dunk keras. Pelatih lantas membunyikan peluit pertanda bahwa latih tanding internal mereka akan segera dimulai.
---
Begitu latihan selesai, makan malam sudah disiapkan. Mereka makan di kantin akademi yang tutup. Bukan hanya tim putra, tim putra juga ada dan semuanya makan bersama. Makanan-makanan ini dimasak oleh para manajer dari setiap sekolah. Semua orang makan dengan lahap seolah-olah mereka sudah menahan lapar selama berhari-hari.
Begitu acara makan selesai, mereka merapikan piring-piring bekas makan dan saling bantu untuk mencuci juga mengeringkan piring. Sebagian besar pemain mulai masuk ke kamar---ruang kelas---masing-masing untuk mengambil peralatan membersihkan diri dan menuju kamar mandi sambil bertukar cerita.
Pelatih Akimoto sudah meminta Kame untuk tidak langsung mandi. Ada hal yang ingin wanita itu bicarakan, jadi dia menunggu Kapten Kame di lantai satu sambil duduk pada anak tangga yang mengarah langsung ke lobi utama akademi. Begitu Kame datang, wanita tersebut langsung memintanya duduk dan mereka bertukar pikiran mengenai semua anggota tim dan perkembangan mereka hari ini. Hal ini adalah sebuah agenda rutin yang selalu dilakukan Pelatih Akimoto bersama Kapten Kame.
“Bagaimana pendapatmu soal training camp ini?” tanya Pelatih. Tangannya membuka sekaleng soda.
Selagi wanita berusia hampir kepala tiga itu menenggak minuman dinginnya, Kame menjawab, “Pendapatku? Yah, ini adalah acara latihan yang bagus. Aku tidak punya pendapat khusus, apa Pelatih mengkhawatirkan sesuatu?”
“Aku hanya ingin tahu tanggapanmu.” Pelatih Akimoto melirik Kame sebentar, lalu pandangannya kembali ke langit berbintang.
Berusaha untuk memberi jawaban yang tidak mengecewakan, Kame bergumam panjang sesaat. “Tidak ada yang salah dengan ini. Menu latihan yang Pelatih siapkan sudah sangat bagus. Dengan pelatihan macam ini, kemampuan paling mendasar setiap pemain akan lebih terasah. Lebih-lebih, kita akan menghadapi sekolah lain besok.”
Pelatih Akimoto tidak menjawab, dia yakin bahwa masih ada hal yang ingin Kame katakan.
“Kalau ada hal yang salah dari latihan ini. Maka itu bukan salah Anda, itu salah kami. Apa yang kami butuhkan sekarang adalah perkembangan skill masing-masing. Meskipun kita punya teknik baru atau teknik tertentu yang bisa digunakan dalam pertandingan, semua itu bersifat sementara. Pemain adalah satu-satunya orang yang paling mengerti diri mereka sendiri.”
Kame mencengangkan kedua tangannya erat-erat. “Sebagai Kapten, aku juga menyadari bahwa permainanku jauh dari kata sempurna. Masalah teknik permainan kami bukanlah sesuatu yang bisa dicari jawabannya oleh Pelatih. Anda hanya memberikan kami wadah latihan dan menu, bagaimana cara kami mengimprovisasi diri adalah tanggung jawab masing-masing. Tidak ada yang tahu sampai mana batas kemampuan kita, hingga kita yang mencobanya sendiri.”
Pelatih Kame tersenyum kecil dan mengangguk. “Kurasa kita bisa mendapatkan kemenangan yang lebih baik tahun ini. Aku bisa merasakannya.”
“Aku harap juga begitu.”
Tadi sebelum datang kemari menemui Pelatih Akimoto. Kame tidak sengaja melihat Keira dan Shima sama-sama masih di luar, berlatih mandiri di lapangan umum dengan bola masing-masing---bukan milik sekolah---keduanya berjalan ke lokasi yang berbeda, sehingga Kame tahu bahwa mereka tidak latihan bersama.
“Omong-omong, belakangan ini aku merasa ada yang ... sedikit aneh.”
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro