BAB 5
Happy reading ❤
Bagi penganut paham ‘rebahan itu surga dunia’ seperti Feby akan terasa berat jika harus kembali ke sekolah di hari Senin, setelah sebelumnya hari Sabtu dan Minggu libur. Alarm sudah meraung-raung sejak subuh tapi dia memilih melanjutkan mimpi, karena bang Shawn Mendes sedang berkunjung. Jadilah dia terlambat bangun dan harus berangkat ke sekolah menggunakan angkot. Aarav dengan tanpa berdosa meninggalkannya walaupun sudah dibujuk Diah, ibunya.
“Bang, tungguin adeklah, kasian kalo ditinggal. Ntar dia telat kalo naik angkot.”
“Bu, biar Ebi lebih disiplin. Jangan kebiasaan bangun kesiangan.”
Begitulah lebih kurang kalimat Aarav sebelum berangkat sekolah dengan motor matic merah kebanggaannya. Jika kalimat itu sudah dikumandangkan si cuek bin datar bin kaku bin tegaan itu, Diah tak bisa menahannya lebih lama. Karena jelas juga yang salah adalah Feby, dia tidak bisa tepat waktu.
“Astaga lupa kan bawa dasi, padahal upacara.”
Feby terdiam di depan gerbang ketika sadar salah sati benda wajib dipakai saat upacara bendera masih tertinggal di meja belajarnya.
“Parah, sebelum upacara ada razia dasi ama topi lagi,” gumam Feby sambil menggaruk pelipis kepalanya.
“Masa beli dasi lagi, kan sayang duit jajan padahal dasi gue udah ada tiga. Mending duitnya gue tabung di celengan ayam.”
“Argghhh kesel deh gue.”
“Pake dasi gue aja.”
Feby menoleh heran. Ari sudah ada di sampingnya dengan senyum sejuta watt miliknya. Si pemilik kulit sawo matang itu hobi sekali tersenyum.
Ari menyodorkan dasinya namun Feby malah terpaku di tempatnya semula. Ari mengintip jam tangannya lalu manarik pergelangan tangan Feby. “Buruan yuk! Lima menit lagi gerbang tutup.”
“Ehhh iya, gue malah bengong.”
Mereka berdua berlari menuju barisan gedung kelas. Saat di tangga, barulah Feby sadar jika Ari masih menggenggam tangannya.
“Maaf tadi gue refleks aja. Takut telat.”
Feby mengangguk pelan.
“Ini dasinya, lo pake ya. Biar gak dihukum ntar.”
Feby menggelengkan kepala. Dia tidak mau Ari jadi kena hukum karena menyerahkan dasinya. “Gak usah lah. Gue bisa beli ntar di koperasi.”
Ari terkekeh kemudian mengalungkan dasinya di pundak Feby. “Gue punya dasi banyak di laci. Sayang duitnya lo beli dasi, mending masukin celengan ayam. Hehehe.”
Tanpa memperpanjang perdebatan, Ari menaiki anak yang yang akan membawanya ke barisan kelas sebelas di lantai dua. Feby hanya tersenyum sambil berjalan ke arah kelasnya. Tak lupa dia menyimpulkan dasi yang diberi Ari.
“Pagi Feby.”
Buru-buru Feby balik badan lagi kemudian mendongak ke arah barisan tangga. Senyum yang sempat terbersit di bibirnya mendadak sirna berubah menjadi dengusan kesal. Bagaimana wajah tidak muram kalau masih pagi dia harus bertemu dengan Ivan yang gayanya sok keren?
“Kok diem? Sakit gigi?” tanya Ivan lagi. “Kemaren dijemput sama Ogy ya? Padahal yang janji nyusulin lo si Ben.”
Feby mengabaikan Ivan yang sudah berada di sampingnya. Menyandarkan tubuh ke dinding sementara sebelah tangannya dimasukkan ke saku celana. Sebuah senyuman tak luput dari bibirnya meski saat ini wajah Feby kecut tak karuan.
“Maaf ya buat kemaren,” ujar Ivan tapi Feby sudah berlalu tanpa menggubrisnya sedikitpun.
***
Pelajaran pertama di hari Senin yang cerah, secerah senyum mantan yang udah move on adalah Fisika. Tentu sebagian besar penghuni kelas merasa terbebani. Bagaimana tidak, sudah pelajarannya sulit ditambah lagi gurunya super killer, Pak Waji namanya. Sekali saja muridnya menguap maka siap-siap disuruh mengerjakan soal di papan tulis. Jika tidak bisa maka relakan diri untuk berlari tiga kali keliling lapangan basket.
Hukuman untuk yang ketahuan menguap tidak terlalu berat dibanding dengan siswa yang kedapatan mengobrol di dalam kelas. Apabila ada yang tertangkap basah, bersiaplah untuk disuruh mengobrol dengan tiang bendera di tengah lapangan selama jam pelajaran Fisika. Bisa bayangkan mengobrol dengan tiang bendera selama delapan puluh menit? Bisa-bisa disangka gila lagi.
“Soal naomor tiga ada yang tahu?”
Kelas hening.
“Itu soal mudah lho. Masih seputar gerak parabola. Yang bisa saya beri nilai tambahan untuk ulangan mingguan.”
“Saya pak.”
Pandangan seisi kelas beralih pada seorang cewek dengan rambut ikal panjang yang dikucir kuda. Sudah pasti dia adalah anak emas Pak Waji di kelas X3. Siapa lagi dia kalau bukan Feby Jovanka. Kata Leo si ketua kelas, Feby itu murid Einstein. Pelajaran Fisika dan Matematika bisa dibabat habis olehnya. Mending babat rumput kemana-mana daripada babat soal Fisika. Setelah Feby ada juga yang lumayan di pelajaran itu, dia tak lain sahabat Feby. Felycia, namun lebih sering dipanggil Ica.
“Bagus Feby. Kamu kerjakan ke depan.”
“Baik pak.”
Feby memenuhi papan tulis dengan rumus dan anga-angka. Pak Waji mengamatinya dari belakang sambil mengggut-manggut. Dia sudah paham kelebihan Feby dalam mata pelajaran yang dia bawakan. Lima menit kemudian, Feby berbalik sambil tersenyum tipis. Soal yang tidak terlalu sulit untuknya siap di eksekusi.
“Sudah selesai pak.” Feby meletakkan spidol di meja Pak Waji lalu kembali ke bangkunya.
“Benar, Feb.”
Seisi kelas yang tadinya menahan nafas karena takut Feby tidak bisa mengerjakan soal Pak Waji akhirnya bisa bernafas lega. Bukannya karena mengkhawatirkan Feby, tapi jarena jika Feby gagal, maka Pak Waji akan mencari korban baru.
“Soal berikutnya ada yang bisa?”
Pak Waji mengamati murid-muridnya satu per satu dengan tatapan garang. Suasana mencekam jelas memenuhi kelas X3. Leo bersembunyi di belakang Mia yang kebetulan bertubuh gempal. Ernest si peringkat terakhir sejak lima menit lalu sudah menahan kencing karena takut namanya terpanggil.
“Tidak ada yang bisa?” ulang Pak Waji.
“Saya, Pak.”
Kali ini perhatian penduduk kelas beralih pada cewek di samping Feby. Ica dengan anggun mengangkat tangan sehingga hampir semua teman-temannya menghembuskan nafas lega. Ada satu lagi penyelamat mereka.
“Bagus Felycia.” Pak Waji menyerahkan spidol.
Dengan lihai Ica mencoret-coret papan tulis dengan deretan angka dan disertai rumus-rumus yang mendukung. Tak butuh waktu lama cewek berpostur mungil itu sudah selesai mengerjakan bagiannya.
“Selesai Pak.”
Kening Pak Waji berkerut ketika memeriksa jawaban Ica lalu tiba-tiba dia tersenyum. “Jawaban kamu juga benar.”
Saat Ica berjalan ke bangkunya, sebuah ketukan di pintu mengalihkan perhatian Pak Waji dan murid kelas X3.
“Permisi, Pak.”
“Ehhh Ivander. Silahkan masuk.”
Ivander dengan sopan masuk dan berdiri di samping meja guru. Sekilas dia melirik kearah bangku Feby namun cewek itu sengaja menunduk menatap laci. Ivan hanya menggulum senyum.
“Tadi kata Pak Hasan, bapak nyariin saya. Ada apa ya, Pak?”
“Benar, saya memang ingin membicarakan sesuatu dengan kamu.” Pak Waji membetulkan letak kacamatanya. “Kamu kan sudah kelas sebelas, Van.”
Ivander mengangguk. “Iya, Pak.”
“Jadi bapak mau kamu bimbing adik-adik kamu kelas X untuk olimpiade Fisika yang akan diadakan tiga bulan lagi.”
“Baik, Pak.”
“Kamu ada usul untuk pesertanya? Seperti tahun lalu, dua orang kelas X dan seorang kelas XI. untuk kelas XI biar kamu saja, karena Guntur sudah bapak utus untuk cerdas cermat Fisika antar sekolah.”
“Belum ada, Pak.”
Pak Waji melotot pada beberapa murid yang mulai berbisik-bisik di bangkunya. Kelas kembali hening.
“Bagus. Saran dari bapak ada Felycia dan Feby. Kita coba belajar kelompok dulu.”
Mendengar namanya disebut, Feby langsung pucat. Bukan karena takut harus mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan Fisika itu, namun yang dia takutkan harus berurusan dengan Ivan.
“Feby dan Felycia, kalian bersedia?”
Ica yang memang pernah bercerita punya niat besar untuk bergabung dengan tim olimpiade sekolah tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas untuk mengasah ilmu. Apalagi kakak pembimbingnya ada Ivan. Senior kece yang sedang naik daun karena sudah punya paras yang keren, suara merdu, ditambah otak yang encer. Selain Ivan ada Guntur, yang punya prestasi gemilang seantero sekolah.
“Saya bersedia, Pak.” Ica langsung mengangguk.
“Kamu Feby?”
Susah payah Feby menelan salivanya. Dia ingin masuk tim olimpiade tapi gengsi karena ada Ivan. Sebelum menjawab dia melirik Ivan. Cowok itu seakan paham apa yang sedang berkecamuk di hati Feby langsung mengalihkan pandangan ke arah lain, padahal Ivan sangat deg-degan menunggu jawaban Feby.
“Saya..”
Bel tanda pergantian jam pelajaran berbunyi.
“Bapak tunggu jawaban kamu besok di kantor, Feb.”
***
Mau nanya-nanya dong.
Siapa yang pernah ikut olimpiade Fisika?
Siapa yang gak suka fisika?
Lah kalian suka apa dong?
Suka doi yang udah milih jalan sama yang lain?
Wkwkwkwkw jangan kalo itu mah. Berat di hati, sakit di mata.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro