BAB 4
Happy reading ❤
Empat orang cowok sedang mengamati Feby yang sedang duduk sambil menikmati telur dadar buatannya tanpa rasa bersalah sedikitpun. Dua di antara pengamat itu baru saja mendengar pelaku di dalik insiden terbangnya wajan sehingga Ivan tersungkur ke lantai saat hendak mengelak. Cerita sebenarnya juga diceritakan oleh Ogy yang tak lain adalah saksi mata di tempat kejadian.
Ogy dan Ben bukannya kasihan pada Ivan tapi malah sibuk cekikikan karena bibir temannya itu hampir saingan dengan bibir milik Angelina Jolie. Luka tapi tak berdarah. Itulah yang dirasakan Ivan setelah kejadian. Bibir bertambah mancung ditambah olokan dari sahabat. Memang itulah arti sahabat yang selalu ada dalam susah maupun senang. Siap mengejek dan mencacat-mentalkan teman sendiri.
“Udah dong ngehina gue. Seneng banget ngeliat gue susah,” cibir Ivan pada Ben dan Ogy.
Ogy menggulum senyum kemudian merogoh sakunya demi mencari keberadaan HP yang kemudian diarahkan ke wajah Ivan.
“Lo mau apa? Jangan nodai gue.” Ivan menutup wajahnya dengan kain serbet.
“Gue mau buat insta story, biar fans lo ngeliat gimana idolanya kalo dower.”
“Jangan dong. Jangan nistakan gue di depan mata penggemar gue.”
“Sok punya fans lo, Van,” sindir Ben.
“Simpen HP lo, Gy.” Ivan masih enggan menjauhkan kain serbet dari wajahnya.
Aarav berdeham. Ruangan mendadak hening dan segala perhatian beralih padanya.
“Dek?”
Feby mendongakkkan kepala, menatap abangnya yang duduk tepat di sebelah Ivan. Perasaannya mulai tak enak ketika pandangannya tak sengaja bertemu dengan Ivan.
“Kenapa bang?”
“Minta maaf sama Ivan.”
Apakah Feby sedang bermimpi? Minta maaf pada cowok menyebalkan yang sudah merusak hari liburnya. Feby menggeleng tak percaya. Apakah Ivan sudah menjampi-jampi Aarav? Kenapa selalu saja Aarav membela Ivan. Yang jadi korban di sini sebenarnya adalah Feby. Sepertinya yang tak sependapat bukan hanya gadis itu. Ogy dan Ben serentak meletakkan sendok kemudian melotot pada Aarav.
“Rav, are you serious. Oh no, you don,t have to do it. Ebi gak perlu minta maaf lah.” Ben yang memang kebetulan keturunan campuran dari ayah Jawa dan ibu Australia punya kebiasaan mencapur bahasa ketika berbicara. Apalagi saat terkejut atau marah.
“Ehh Rav, jangan gitu dong, Ebi gak salah kok. Emang dasar Ivan aja yang ngeselin,” timpal Ogy.
Ben melirik Feby. Gadis itu tidak lagi melanjutkan makan, dia hanya memainkan sendok sambil menunduk. Ben memang tidak punya adik perempuan, namun dia sudah kenal Feby. Saat ini dia sedang merajuk namun tidak berani membantah Aarav.
“Rav, udahlah. The incident was just a joke. Lagian Ivan juga dower dikit doang, masih hidup kali. Gak perlu lebay.”
“Ebi?” panggil Aarav sehingga dengan berat hati Feby harus mengangkat kepala. “Abang suruh Ebi minta maaf sama Ivan.”
Ogy dan Ben hanya bisa mendengkus kesal. Memang begitulah Aarav. Selalu saja tegas pada Feby. Jika dia sudah bertitah maka Feby akan mengalah meski dia suka atau tidak. Feby masih diam di tempat. Dari sudut matanya dia sempat melirik Ivan. Cowok itu seperti sedang merasa serba salah.
“Gue yang salah, Rav. Gue yang udah ganggu Feby.”
Ivan ternyata lebih dulu memecah keheningan. Sayangnya meski berinisiatif menengahi perdebatan Feby dan Aarav, tidak merubah pendirian Aarav. Dari tatapannya dia masih mendesak Feby untuk meminta maaf.
“Biarin aja, Van. Adek gue udah gak sopan sama yang lebih tua. Biar gak kebiasaan kedepannya.”
“Tapi, Rav..”
“Gue minta maaf.”
Feby akhirnya menurut. Tiga kata yang harusnya tak dia ucapkan meluncur dari bibirnya karena sebagai adik yang baik dia tidak berniat membantah. Tanpa menunggu balasan dari Ivan, Feby berdiri kemudian berlari ke luar rumah.
“Feb,” panggil Ivan. Feby sama sekali tidak menoleh.
Ogy mendesah.”Kita gak usah rekaman hari ini. Gue lagi males.”
“Mau kemana lo?” tanya Ivan ketika Ogy beranjak dari tempat duduknya. Bukannya mendapat jawaban, Ivan malah dipoloti oleh Ogy.
“Lo diem. Jangan buat gue makin emosi.”
Ivan menatap Ogy tak percaya. Biasanya dia memang sudah terbiasa dengan mulut pedas Ogy, tapi kali ini dia agak terkejut, karena di sini harusnya yang marah hanya Feby.
“Gy, lo kenapa nyolot?” tanya Ivan.
“Gak usah banyak tanya, gue mau balik.”
Ogy benar-benar bertindak sesuai dengan apa yang baru saja dia katakan. Tidak sampai tiga menit, dia keluar dari kamar Aarav sambil menenteng tas beisikan kamera andalannya. Di meja makan hanya tinggal Aarav, Ben, dan Ivan.
“Gue mau nyusul Feby,” ujar Ben.
“Biar aja. Gak usah disusul, biar dia sadar kalo dia udah gak sopan.” Aarav memperingatkan Ben dengan tegas. Wajah kaku andalannya semakin ketat saja bak sempak baru kelaur dari toko.
“Terserah gue. Don,t stop me.”
“Biar gue aja, Ben,” usul Ivan. Sayangnya Ben mengacuhkannya. Si penyiar radio sekolah itu sudah keluar rumah.
***
Feby mengayuh sepedanya tanpa tahu arah dan tujuannya. Matahari sedang terik-teriknya tetapi Feby tidak peduli. Suasana di rumah bahkan lebih panas. Abang satu-satunya yang dia punya lebih membela temannya yang paling menyebalkan di muka bumi. Dia membiarkan adiknya belari tanpa berniat menyusul. Feby marah. Feby kecewa tapi dia bisa apa. Aarav adaah abangnya dan dia paling tidak bisa melawan abang.
“Gue pengen banget nyambel bibirnya Ivan,” gumam Feby.
Dia mengayuh lebih keras sampai tubuhnya mulai bercucuran keringat. Hari libur yang sudah diprogram untuk berselonjoran di kasur tiba-tiba berubah menjadi acara olahraga. Parahnya lagi, Feby paling benci olahraga apalagi siang bolong.
“Aduh cepek juga ternyata lari dari kenyataan,” keluh Feby.
Akhirnya setelah pertimbangan panjang, Feby berhenti di sebuah taman. Tak terasa dia sudah hampir sampai di kawasan sekolah. Tenyata dia kuat juga mengayuh sepeda. Mungkin itulah makna dari kalimat saat emosi kekuatan seseorang bisa bertambah.
Sebuah pohon yang cukup rindang menjadi pilihan Feby untuk berteduh. Dia duduk di tanah kemudian mengamati sekelilingnya. Banyak orang yang besantai- santai sambilmenikmati es krim. Feby hanya bisa menahan selera terhadap kesukaannya itu. Karena terlalu marah, dia lupa membawa dompet. Kabur tak bermodal.
“Apes bener hari rebahan gue.”
Feby mengipas-ngipas wajahnya dengan sebuah koran yang dia temukan di bawah pohon itu. Masih ada saja orang yang membuang sampah sembarangan. Padahal mereka bisa membuang kenangan bersama mantan pada tempatnya.
“Buat lo.”
Sebuah es krim kesukaan Feby bergoyang-goyang di depan wajahnya. Mata Feby langsung berbibar namun saat dia mendongak, dia tiba-tiba murung.
“Gak suka es krim ya?”
Feby menggeleng. “Suka sih. Tapi kata ibu gak boleh nerima pemberian dari orang yang gak dikenal.”
Seorang cowok dengan postur tinggi, hidung agak mancung, dan kulis sawo matang, duduk di sebelah Feby.
“Bukannya kita udah kenalan ya?” tanya si cowok.
Feby menegerutkan keningnya. Paras cowok itu memang agak familiar, tapi dia lupa pernah ketemu dimana. Efek cowok yang selalu dia temui hanya Ivan, Ogy, dan Ben, dia jadi lupa wajah cowok lain.
“Yang gak sengaja nimpuk kepala lo pake bola Voly.”
“Oooo yang itu. Maaf tapi gue lupa nama lo.”
“Ari.” Ari tersenyum ramah. Peristiwa yang sangat unik karena sebelumnya dia tidak pernah dilupakan oleh cewek. Malah sebagian besar dari cewek-cewek remaja itu tak segan-segan mengiriminya. DM, ngajak kenalan, ketemuan, mengirim makanan ke kelas, bahkan ada yang nekad ngajak jadian. Tapi kali ini ada yag cuek dengan keberadaanya.
“Ohhh Ari. Gue inget.” Feby mengangguk-angguk kemudian menjulurkan tangannya.
“Gue Feby.”
Ari menjabat tangan Feby bingung. “Gue udah tau.”
“Gapapa dong, kemaren belum salaman karena gue marah.”
“Iya juga ya.” Ari lagi-lagi tersenyum. “Kita udah kenal kan, jadi lo boleh milikin es krim ini.” Ari menyerahkan es krim rasa coklat yang dia beli ketika melihat Feby.
“Makasih ya.”
Feby langsung menikmati es krim kesukaannya itu. Tak peduli pada Ari yang tak penah mengalihkan pandangannya dari Feby.
“Feb?”
Feby dan Ari serentak memandang ke sebelah kiri mereka. Feby langsung menyeka bibirnya yang sedikit belepotan lelehan es krim kemudian berdiri.
“Bang Ogy? Kenapa nyusulin Ebi?”
Ogy menatap Ari sinis lalu menoleh pada Feby. “Gue takut lo kenapa-kenapa. Kita balik yuk. Abang antar.”
“Tapi Ebi bawa sepeda, bang. Ebi juga malas pulang.”
Untuk kedua kalinya Ogy menatap Ari. Dia kenal cowok itu tetapi tidak terlalu akrab. Tidak penah sekelas hanya sering berpapasan di koridor atau lapangan upacara bendera.
“Lo pulang ya, Feb.” Ari seakan tahu maksud tatapan Ogy langsung membujuk Feby.
Feby mendesah. Sangat malas rasanay untuk pulang saat marahnya belum reda, namun Ogy sudah repot mencari dirinya.
Mau tidak mau Feby mengalah. “Iya deh. Gue duluan ya.”
***
Kesel nggak sama Ivan?
Sama. Feby juga. Hahahahah
Btw kamu suka sama siapa?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro