Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 3

Happy reading ❤

Tanggal merah di kalender adalah salah satu berkat paling nikmat bagi pencinta kaum rebahan di seluruh dunia. Salah satu anggota dari kaum terhormat itu adalah Feby. Baginya, hari libur di hari Sabtu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam tempo sesantai-santainya.

Dia sudah menyusun rencana untuk sepanjang hari. Menonton drama korea ditemani cemilan dari warung sebelah yang sudah dia beli tadi malam. Tidak perlu keluar kamar kecuali ada urusan mendesak ke kamar mandi.  Pastinya rencananya akan dimulai setelah dia bangun  pukul sembilan pagi.

Sekarang masih pukul delapan. Feby dengan pakaian tidur bermotif  pisang memanfaatkan satu jam tersisa sebelum dia harus membuka laptop demi kepentingan drakor dengan tubuh dibenamkan di balik selimut. Sebenarnya sejak pukul enam dia sudah sadar, hanya saja haram hukumnya melanggar aturan jam bangun di hari libur.

“Ebi!”

Samar-samar Feby mendengar ketukan disertai suara seseorang di balik pintu kamarnya. Bukannya bangkit untuk membuka pintu, Feby memilih pura-pura tidak mendengar. Ada saja yang berniat merusak hari liburnya.

“EBI!!”

Kali ini suara panggilan itu lebih keras. Awalnya hanya dibarengi ketukan, sekarang malah berupa gedoran. Mungkin sebentar lagi disertai gemporan. Feby kesal bukan main. Dia menyibak selimut yang menutup wajahnya lalu memasang telinga baik-baik untuk menyelediki siapa yang sudah berani-beraninya membangunkan singa betina yang sedang berhibernasi.

“Siapa?” tanya Feby.

“Udah bangun?”

Feby mengendus ada yang tidak beres. Suara itu jelas bukan milik Aarav, abangnya. Lagipula seluruh anggota keluarga tahu betul kebiasaan Feby. Takkan ada yang membangunkannya jika tidak ada yang mendesak.

Dengan tidak rela, Feby membuka pintu. Wajahnya yang awalnya kusut berubah menjadi tidak terdefenisikan. Sebuah cengiran menjengkelkan yang menyambut Feby. Ingin sekali rasanya gadis itu membanting pintu sekalian pintunya copot dari engselnya kemudian menimpa si pengganggu. Namun niatnya urung karena jika pintu kamarnya lepas maka yang menjadi korban hanyalah dirinya sendiri.

“Pagi Ebi!” sapa Ivan ramah sambil memamerkan senyumnya yang paling manis menurutnya tapi mengundang emosi bagi Feby.

“Lo ngapain bangunin gue?”

Ivan hanya cengar-cengir ketika Feby tidak menggunakan embel-embel ‘bang’ saat berbicara dengannya. Bukan hanya sekali atau dua kali, sejak Feby masih SMP dia tidak pernah sopan pada Ivan. Tapi enatah kenapa, cowok itu malah senang dengan sifat ketus Feby.

“Mau minta tolong loh, Feb.”

Feby memutar bola mata. “Minta tolong sama Pak Lurah sana, jangan sama gue.”

“Kan yang bakal jadi ibu dari anak-anak gue kelak itu elo, bukan Pak Lurah.”

Feby memicingkan mata memastikan yang ada di hadapannya benar-benar manusia bukannya jelamaan lutung yang ngaku-ngaku sebagai Ivan.

“Gak usah terharu kali, Feb. Kalo gue udah jadi penyanyi papan atas selevel sama Brumo Mars, gue bakalan tetap minang Feby seorang kok.”

“Sumpah ya, lo lupa makan obat ya?” Feby geleng-geleng kepala namun Ivan malah semakin melebarkan senyumnya.

“Gue sakit apa emang?”

“Sakit jiwa lo.”

Ivan tidak tersinggung sama sekali. Dia mengacak-acak rambut Feby sehingga gadis itu semakin kesal. Jika yang melakukan itu adalah Ben atau Ogy, Feby tidak akan semarah itu karena keduanya sudah dia anggap seperti abangnya sendiri. Tapi masalahnya, sekarang dia berhadapan dengan Ivander Febry. Feby dan Febry Meski memiliki nama yang hampir mirip, cewek itu tidak pernah bisa akur dengan Ivan, malah cenderung seperti kucing dan tikus got. Sudah pasti yang jadi tikus got adalah Ivan. Jangan lupakan tikus gotnya sok ganteng dan sok terkenal.

“Feb, tolong buatin sarapan dong.”

“Apa lo bilang?” tanya Feby tak habis pikir.

“Ibuk lagi pergi kondangan sama bapak. Katanya kalo butuh sesuatu, bilang ke Feby.”

Feby mengangkat bahu lalu membanting pintu dengan keras. Memangnya Ivander itu siapa? Seenaknya meminta Feby membuatkan sarapan. Daripada marah-marah tidak jelas, lebih baik Feby melanjutkan tidurnya saja, manatahu Shawn Mendes sudi bertamu ke dalam mimpinya.

Lima menit berlalu sejak adegan membanting pintu, tidak ada lagi suara Ivan memanggil namanya. Feby bisa bernafas lega. Sepertinya cowok itu sudah tahu diri dan memilih mencari sarapan sendiri.

“Dek?”

Feby menghela nafas kemudian keluar membuka pintu lagi. Pemandangan yang dia dapati adalah wajah datar Aarav. Ivan pasti sudah mengadu pada Aarav. Bisa Feby tebak, sebentar lagi Aarav akan ceramah panjang kali lebar mengalahkan ceramah Haji Samsul ayah Ogy.

“Kenapa bang?” tanya Feby basa-basi.

“Kamu sibuk ya?”

Begitulah Aarav. Awalnya akan menyanyakan kesibukan Feby. Namun pada akhirnya sesibuk apapun jawaban Feby, dia akan tetap menyuruh Feby. Nasib jadi adik budiman, Feby tidak berani menolak permintaan abang. Apalagi abang yang berwajah kaku dan pelit senyum seperti Aarav. Jangan salah, meski begitu, abangnya itu jauh lebih manis dibanding Ivan. Tapi tetap saja ketampanannya masih satu tingkat dibawah Ogy dan keramahannya masih minus dibanding Ben.

“Enggak sih, bang. Kenapa emang?”

“Tolong masakin telor dadar dong, dek. Abang sama temen-temen mau rekaman di luar, nih. Tapi sebelum berangkat mau makan dulu.”

“Iya, bang.”

“Makasih ya, dek.”

Niat melanjutkan tidur agar bang Shawn Mendes bertamu ke mimpi sirna begitu saja oleh telur dadar. Semua itu gara-gara ulah Ivan si tukang ngadu. Rusak sudah suasana hati di tanggal merah yang seharusnya menjadi surga dunia. Dengan lesu, Feby melangkah ke dapur.

“Dasar, Ivan sialan. Asem. Kurang ajar.”

Sambil memecahkan empat butir telur ke dalam wadah, Feby terus saja meggerutu. Sesekali dia memukul meja menggunakan sendok goreng.

“Pagi, Feb.”

Feby menoleh lalu tersenyum. Ogy menarik salah satu kursi di meja makan lalu duduk menghadap Feby. Kadar badmood Feby berkurang sedikit karena kedatangan Ogy. Hari ini cowok itu hadir dengan celana sedengkul dengan atasan kaos hitan kebesaran. Andai saja, Ogy punya suara sedikit lebih merdu, maka mungkin dia akan mendepak Ivan dari posisi vokalis. Karena dari segi penampilan, Ivan hanya remahan rengginang jika dibanding Ogy. Sayangnya, editor AIB itu harus berkutat di belakang layar karena kalau dia bernyanyi buaya bisa pingsan.

“Eh, bang Ogy kenapa ke dapur?”

“Mau bantu lo masak. Gak enak udah ganggu padahal harusnya lo masih rebahan kan.”

“Karena Ivan nih, bang. Padahal ini jadwalnya Ebi nyantai.”

“Abang jadi nggak enak selalu ngerepotin elo, Feb.” Ogy mulai merapikan perlengkapan makan agar tugas Feby semakin ringan.

“Enggak kok, bang. Ebi malah seneng bisa nolong.” Feny terkekeh. “Tapi abang jangan lupa setoran es krim coklat kesukaan Ebi.”

Feby dapat melihat ketulusan di mata Ogy. Mungkin bagi banyak orang, cowok itu memang cerewet, semua karus dikerjakan dengan sempurna, tukang merajuk kalau apa yang dia harapkan jauh dari realita. Tapi di mata Feby, Ogy adalah tipe abang pengertian. Oleh karena itu dia senang dengan kehadiran Ogy. Satu lagi, jangan lupakan Ben yang paling ramah dan bijak. Kalau Ivan jangan ditanya. Cukup masukkan ke dalam karung lalu ceburkan ke kali Ciliwung.

“Pada ngomongin gue?” Suara Ivan kembali merusak suasana dapur Feby.

Feby yang awalnya membalikkan telur dadar tiba-tiga gagal fokus. Jadinya, telur dadarnya jadi batal bundar sempurna. “Ngagetin aja.”

“Lo ngapain nyusul, raja tokek?” tanya Ogy.

Ivan tak merespon pertanyaan sahabatnya itu. Perhatiannya malah tertuju pada Feby yang menatapnya garang. “Kenapa ngeliatinnya gitu banget, Feb?”

BUGHHHH

Ivan terjerembab ke lantai saat harus menyelamatkan diri dari wajan berukuran sedang. Sayangnya, meski selamat dari serangan wajan terbang, bibir Ivan malah mencium lantai. Singa betina yang gagal rebahan benar-benar ngamuk. Tidak ada angin, tidak ada badai tornado. Dia dengan penuh emosi melayangkan wajan bekas menggoreng telur ke arah Ivan.

“Aduh,” ringis Ivan.

“Hahahaa.” Ogy tak dapat membendung tawanya. “Bibir lo doyer, Van.”

Dua orang cowok yang mendengar suara dentuman itu muncul ke dapur. Ben langsung terbahak saat sadar bibir Ivan bengkak seperti baru disengat lebah.

“Lo kenapa, Van?” tanya Aarav.

Ogy geleng-geleng kepala. “Gak sengaja jatuh kok, Rav. Biasa tuh anak pecicilan.”

Feby pura-pura tidak melakukan sesuatu. Dengan cekatan dia membantu Ogy menyiapkan peralatan makan di meja tanpa mengusik Ivan sedang diobati oleh abangnya. Dalam hati, dia berteriak kegirangan bisa melempar wajan ke arah youtuber yang sedang diidolakan cewek-cewek sekolah.

“Rasain lo, Ivander raja tokek.”
***

Ihhh parah nih si Ivan. Iseng banget jadi oramg. Emang enak kena wajan terbang. Rasain lo!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro