D U A
Raja malam kian berkuasa tatkala mata yang kurang lebih satu jam tertutup kembali terbuka. Ruangan yang temaram menyambut dalam hening. Kekosongan amat terasa, kala tangan meraba sisi sebelah kanan. Biasanya, akan ditemukan sesosok makhluk ciptaan Tuhan turut berbaring di sampingnya. Kadang pula, saat kesadaran menguasai, pelukan hangat kembali hanyutkan saraf sadar sampai akhirnya lelap menjemput. Kini, semua mulai berubah. Tidak ada lagi pelukan hangat atau objek yang bisa ditangkap netra kala kelopak membuka jalan cahaya masuk.
Setetes cairan hangat tanpa sadar lolos dari kedua sudut mata. Tak lama, isak pelan mulai terdengar. Mengalun lirih di kesunyian pada waktu lewat tengah malam. Mencoba keluarkan beban yang menyesakkan dada. Sebisa mungkin suaranya ditahan agar tidak pecah dan terdengar hingga ke luar kamar. Ego yang bersarang di dalam diri terlalu besar, jika harus menerima pelukan akibat rasa iba di hati si pemeluk.
Sayangnya, ada yang tidak ia sadari sejak mata terbuka. Kehadiran sesosok laki-laki di ambang pintu yang terbuka sedikit. Di keheningan malam yang dingin itu, dua hati merasakan sakit yang teramat, namun gengsi untuk mendekat dan merengkuh. Lebih memilih menetap, memakukan diri pada pusat utama. Membiarkan saja, rindu mencabik-cabik sisi hati.
•••••
"Rian udah keluar, Bi?" Andrea melontarkan pertanyaan ketika baru saja memasuki dapur. Duduk di kursi makan, sepotong apel diambilnya untuk dikupas.
"Sudah, Nya. Tadi pagi-pagi Tuan sudah pergi kerja," sahut Bi Mingsih memberitahu.
Setelahnya Andrea tidak lagi membuka suara. Fokus menghabiskan apel, lalu kemudian beranjak. Siap-siap pergi bekerja.
Jika Adrian bisa, kenapa dia tidak?
"Bibi nanti kalau mau pulang, jangan lupa kunci semua pintu dan jendela. Sama gerbang jangan lupa juga ditutup, ya?" Begitu pesan Andrea sebelum berangkat bekerja. Memulai aktivitas seperti hari-hari biasa. Kembali bersandiwara, meski hati sudah tidak lagi sanggup. Memasang topeng penuh senyum, sekalipun air mata darah mengalir di baliknya. Membiarkan orang-orang berpikir, jika mereka tidak pernah terlibat pertikaian. Meski yang sesungguhnya terjadi, tidak demikian. Setidaknya, cukuplah mereka dan Tuhan yang tahu. Orang lain cukup menjadi penonton tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik layar. Masalah mereka, biarlah mereka yang menyelesaikannya. Tidak perlu campur tangan tokoh luar. Ya, begitu akan lebih baik daripada berkoar-koar tentang masalah yang ditimpa baik di dunia nyata maupun maya. Karena seringnya, yang seolah peduli sesungguhnya hanya menuntaskan rasa penasaran, bukan benar-benar peduli.
•••••
Sang surya perlahan kembali ke peraduan. Burung-burung pun turut pulang ke sarang. Waktunya makhluk bernama manusia kembali ke rumah, usai hampir seharian berkutat dengan pekerjaan yang menguras pikiran dan tenaga.
Tepat saat wujud Raja Siang raib usai pancarkan keindahan senja, mobil Adrian terparkir rapi di halaman rumah.
Bi Mingsih baru saja selesai mengunci pintu utama, saat menyadari kedatangan sang majikan. "Eh, Tuan …."
"Mau pulang, Bi?" tanya Adrian berbasa-basi.
"Iya, Tuan." Bi Mingsih kembali membuka kunci pintu. "Mau saya siapkan makan malam atau kopi? Atau mungkin Tuan mau mandi dulu? Biar saya siapkan airnya," tawar Bi Mingsih bak seorang ibu … hm, istri lebih cocoknya untuk Adrian yang sudah menikah.
"Nggak usah, Bi. Bibi pulang saja." Adrian melempar senyum tipis sekilas, sebelum melenggang masuk ke dalam rumah dengan turut serta membawa aura lelah yang mengekor dari kantornya.
Di tempatnya, Bi Mingsih menatap Adrian sendu. Dalam hati berdoa, agar hubungan kedua majikannya segera membaik. Ia tidak sampai hati, melihat dua insan yang saling mencintai, kini harus bersikap seolah-olah orang asing yang hidup di bawah satu atap.
>>>AKHIR(?)<<<
Hullaaaa😄
Apakah ada yang menanti?
Atau memilih diam menunggu kabar baik mengundang?
Tim baca siang angkat tangannya, donggg😁
Peluk Hangat,
RosIta
KalBar, 9 Nov 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro