Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 17: Sudah Runtuhkah Dinding Itu?

Chici dipindahkan ke kamar Nenma dan Shinta, sedangkan Anna dibiarkan sendiri di kamar lamanya. Begitulah keputusan kepala penjaga asrama setelah perbincangan singkat dengan Dhart.

"Sore nanti kita harus berkumpul di lapangan," ujar Shinta yang tengah duduk di tepi ranjangnya. Mengayun-ayunkan kaki yang menggelantung jauh dari lantai. "Terakhir kali kita berkumpul itu untuk tunjuk kekuatan, bukan? Kira-kira apa yang akan kita lakukan, ya."

Senandungan Nenma terhenti. Sembari membalikkan halaman buku dia menjawab, "Mungkin latihan akan dimulai. Kamu lupa? Belum lama ini Dhart mengumumkan adanya pelatihan khusus untuk kita."

"Ah, pelatihan. Aku sempat melupakan program itu." Shinta merebahkan badan tiba-tiba, membuat ranjang tingkat yang ditempatinya bergoyang.

Dilingkupi kesunyian terlalu lama, Chici mulai gelisah. Beradaptasi di lingkungan baru adalah hal yang amat sulit dilakukan. Chici sudah terlalu nyaman dengan Rin dan kawan-kawan sampai tidak terpikir olehnya untuk menjalin hubungan dengan orang lain.

"Hei, Thania, bukan?"

Chici terperanjat kala melihat kepala Shinta terjuntai dari kasur atas.

Respons Chici membuat Shinta terkikik geli. Dia lalu melompat turun dari kasurnya, mengambil tempat di kursi depan meja belajar Chici. Shinta bertopang dagu sambil menatap gadis yang baru bergabung dengan mereka. "Katanya kamu blasteran langka, ya."

Pada detik itu juga jantung Chici mencelus. Pertanyaan yang dilontarkan Shinta sudah seperti serangan kejutan.

"Kamu pindah ke sini karena bertengkar dengan Anna?" tanya Shinta lagi. Wajahnya memancarkan rasa penasaran nan tinggi. Chici makin tidak nyaman dibuatnya.

Nenma menutup bukunya keras-keras. Lirikan tajam tertuju pada Shinta. "Berhenti menanyakan hal-hal yang jelas membuatnya tidak nyaman."

Spontan Shinta menggeram. "Oh ayolah, Nenma. Aku penasaran!" sahutnya dengan sebelah pipi sengaja dikembungkan.

"Masih penasaran walau sudah diberi tahu oleh Dhart?" Alis Nenma yang datar-datar saja sedikit terangkat. "Aku tahu kamu sengaja, ingin menjahilinya."

Sementara Nenma dan Shinta beradu mulut, fokus Chici lepas dari sekitar. Gadis itu tenggelam dalam lautan pikiran. Mulai mendengar suara yang hanya bisa didengar oleh dirinya seorang.

"Orang itu sudah mengungkap identitas kita. Bagaimana? Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?"

Tidak apa. Kita hanya perlu mengikuti arus.

"Lalu tewas sebab berhadapan dengan Lucifer? Tujuan utama kita adalah bertahan hidup. Hal yang seperti ini jelas harus kita hindari. Kita masih bisa melarikan diri."

Aku tidak bisa meninggalkan mereka.

"Oh?"

Mereka semua masih anak-anak, sudah diberi tanggung jawab yang begitu besar. Dengan takdir kejam menanti, tanpa kepastian akan akhir bahagia.

"Jadi, apa yang ingin kaulakukan? Kaujuga masih anak-anak."

Dalam kepala, Chici tidak lagi membalas. Dia sudah terseret kembali ke kenyataan berkat ketukan keras pada pintu kamar mereka.

"Ya, sebentar!" seru Shinta buru-buru bangkit dari kursi. Membuka pintu, dia kini berhadapan dengan seorang anak laki-laki yang napasnya tidak beraturan dengan dada kembang-kempis.

Sebelum sempat berkata, napas Jason tercekat. Ia melihat dari sudut mata, sosok gadis yang setahunya tidak menempati kamar itu. Segera dia menggelengkan kepala, menyadarkan diri sendiri. Sekarang ini ada hal yang lebih penting daripada si pujaan hati.

"Keadaan darurat. Berkumpul di belakang asrama. Sekarang," ujar Jason menekan suaranya agar penghuni kamar lain tidak mendengar.

Nenma langsung turun dari kasur, beranjak mendekati pintu. "Situasi darurat macam apa?"

"Ada banyak makhluk hitam berkeliaran di sekitar asrama dan kita harus menangkap mereka semua," jawab Jason cepat. Anak laki-laki itu segera berbalik pergi. "Jangan berlama-lama atau Lau yang akan datang menyeret kalian!"

Tatapan Shinta terkunci pada punggung Jason sampai dia menghilang dari pandangan. "Boleh juga dia. Manis." Ia pun menoleh pada Nenma. "Dia juga murid kelas Z, bukan."

"Shinta, berhenti menanyakan pertanyaan bodoh." Nenma mengembuskan napas kasar. Sudah lelah dengan tingkah teman sekamarnya. Pandangan bergulir pada Chici yang masih duduk di kasur. "Thania, ayo. Aku tidak mau mendengar ocehan anak bernama Lau itu."

"Ah, iya. Orang itu memang menyebalkan." Chici beranjak dari tempat, mengekori dua teman barunya. Sepanjang perjalanan keluar dari gedung asrama, dia terus menatap belakang kepala Shinta.

Yang ditatap mulai merasa tidak nyaman. Dia pun menoleh ke belakang, memasang senyum tipis seperti sedang mengejek. "Kalau tidak salah, kamu seorang Wind Caster?"

"Ya ...." Mata Chici memicing pada si penanya.

Senyum di wajah Shinta melebar. "Berarti kamu kenal laki-laki manis tadi, ya. Dia juga sempat melirikmu. Apa jangan-jangan kalian ... saling menyukai?"

Seketika alis Chici tertekuk dalam. "Tidak," jawabnya datar, "aku tidak menyukainya."

"Kamu yang tidak menyukainya?" Shinta memelankan jalannya, menyamakan langkah dengan Chici. "Berarti dia yang menyukaimu? Karena kalian berdua seorang Wind Caster, berarti kalian sudah dua tahun lebih bersama. Maksudku, berada di kelas yang sama."

Samar-samar tampak sebelah pipi Chici berkedut. "Berhenti membahas hal konyol itu dan pikirkan makhluk-makhluk yang berkeliaran di sekitar gedung ini." Langkah kaki ia percepat untuk menyusul Nenma yang sudah lumayan jauh dari mereka.

Baru menyelaraskan langkah, Chici disambut oleh ucapan yang membuat bulu kuduknya berdiri seketika.

"Insiden malam sebelum tunjuk kekuatan," kata Nenma yang kemudian melirik ke samping kanan. "Kurasa makhluk-makhluk ini ada hubungannya dengan sosok yang mengacaukan kantin malam itu."

Mengingat apa yang dia lihat malam itu, Chici mengangguk setuju. "Kurasa sosok itu semacam summoner. Waktu itu aku melihatnya dengan lingkaran sihir pemanggil."

Nenma termenung sejenak, menatap lurus ke depan. Ia tenggelam dalam pikiran, membiarkan hening menyelimuti mereka bertiga hingga tiba di halaman belakang asrama.

"Chici!"

"Nenma, Shinta!"

Setibanya di lapangan, mereka berpisah begitu saja tanpa mengucapkan kata-kata seperti sampai jumpa. Chici bergabung dengan Kiki dan Shela, sedangkan Nenma dan Shinta bergabung dengan dua anak laki-laki yang tengah berteduh di bawah pohon.

"Jadi mereka teman sekamarmu yang baru," celetuk Shela, mencuri pandang pada orang-orang yang dimaksud.

"Ya, salah satunya lumayan menyebalkan." Chici berucap tanpa menyembunyikan kejengkelan yang terpancar, baik dari ekspresi maupun nada bicara.

Kiki ikut mengamati teman-teman baru Chici. Hanya sebentar karena kedapatan si cowok berbadan besar-Brap namanya. Pandangan Kiki kembali pada Chici. "Biar kutebak, yang menyebalkan itu si Lightning Caster? Tingkahnya dan saudara kembarnya pasti tidak berbeda jauh."

"Seratus untukmu, Ki," ucap Chici terus celingak-celinguk. Dia terdiam sebentar, sibuk mencari-cari sesuatu. Setelahnya, ia menatap Kiki dan Shela secara bergantian. "Rin dan yang lain ada di mana? Aku tidak melihat mereka dari tadi."

Kiki dan Shela bertukar pandang sebentar, barangkali membahas siapa yang akan bicara melalui telepati. Shela yang pertama kali menoleh ke depan seraya mendengkus.

"Rin terseret arus waktu seperti yang sebelumnya. Kita hanya bisa menunggu dia kembali sendiri." Jeda sebentar, Shela mengedarkan pandangan ke sekeliling baru kembali menatap Chici di depan. "Anna dan Censia ... seperti yang kamu pikir, mereka mulai menghindari kita."

"Yah, Censia pasti akan kemari sebentar lagi. Dia tidak mungkin mengabaikan perintah," tambah Kiki sambil menengok ke kiri dan ke kanan. "Kalau Anna, aku tidak yakin dia akan muncul."

Seketika Chici teringat akan pembicaraan mereka, bertiga dengan Dhart. Anna tidak mau terlibat dalam kegilaan ini. Mungkin dia sedang mencari cara untuk melarikan diri sementara yang lain sibuk dengan ini.

"Oh, ya. Soal makhluk hitam yang katanya berkeliaran di sekitar sini." Chici kembali fokus pada masalah pokok. "Apa hanya aku yang berpikir kalau mereka dipanggil oleh sosok itu?"

"A-ah, soal itu." Kiki mengangkat tangan ragu-ragu. Diteguknya saliva dengan kasar sebelum lanjut berucap, "Aku dan Jason pernah menangkap satu."

Salah satu alis Shela terangkat kala ia melirik anak laki-laki di sampingnya. "Saat kalian berdua berniat melarikan diri dari hukuman?"

"Hei!" seru Kiki tidak terima. Dia berkacak pinggang. "Berkat kami, kita mendapatkan informasi penting untuk mengatasi makhluk-makhluk itu."

Shela bersedekap. "Seperti apa?"

Senyum angkuh tersungging di wajah Kiki. Telunjuknya teracung. "Makhluk-makhluk itu sejenis shapeshifter dan untungnya mereka tidak kebal akan kekuatan elemen. Plus, kelemahan mereka adalah air."

"Air?"

"Ya! Saat terkena air, mereka tidak akan mampu mempertahankan bentuk dan akan langsung berubah menjadi gumpalan hi-HYAAA!"

"Hehe, halo," sapa seorang anak laki-laki dari balik punggung Kiki.

Sontak Kiki berbalik pun menunjuk-nunjuk anak itu. "Kau! Kenapa kausenang sekali mengagetkanku?!"

Anak laki-laki yang baru saja mengagetkan Kiki adalah Shin, saudara kembar Shinta. Dia menarik diri dari punggung Kiki, lantas menjulurkan ujung lidah. "Reaksi histeris itu selalu menghibur."

Perhatian Shin bergulir pada gadis mungil di samping Shela. "Thania, bukan? Baru pindah ke kamar Shinta." Tangannya terulur disertai senyum lebar nan manis. "Perkenalkan, namaku Shin Dandelyn."

"Um, ya." Ragu-ragu Chici menyambut uluran tangan Shin. "Thania Merichi ... panggil saja Chici." Melihat wajah Shin mengingatkannya pada Shinta yang sejauh ini terus bersikap menyebalkan.

Dia kelihatannya ramah.

"Eng ... kurasa sudah cukup lama kita bersalaman," tegur Chici yang mulai berkeringat dingin tanpa sebab.

Segera Shin melepas tangan gadis itu. "Ah, maaf!"

Diam yang canggung. Shin memalingkan wajah sambil mengelus tengkuk. "Ngomong-ngomong, kenapa rasanya seperti ada yang menusukku dengan jarum, ya."

"Oh, sepertinya itu kami berdua," sahut Shela. Jempolnya terarah pada Kiki yang juga memasang ekspresi risi.

Shin menggeleng pelan sambil mengibas-ngibaskan tangan. Senyumnya berubah kaku. "Bukan kalian. Ada ... yang lain."

Chici dan yang lainnya tahu betul siapa yang menusuk Shin secara tidak langsung. Sekitar sepuluh meter dari mereka, Jason berdiri dengan tatapan kelam pun menusuk. Tentunya tertuju pada Shin.

"Semuanya, tolong berkumpul di sini!" seru seorang gadis di bawah pohon paling rindang di sana. Ia pun bertepuk tangan dengan tempo cepat, mengundang perhatian murid-murid kelas Z yang sudah hadir.

Seketika perasaan menusuk tersebut menghilang, membuat Shin akhirnya bisa mengembuskan napas lega. "Nah, a-" Baru mau mengajak Chici untuk bergegas, ternyata gadis itu sudah pergi lebih dahulu.

Sebelum beranjak menyusul Chici, Shela menyempatkan diri untuk menepuk pundak Shin dan berkata, "Kusarankan untuk berhati-hati."

Kiki mengekor. Tanpa menoleh dia menambahkan, "Atau menyerah saja."

"Hei, apa-apaan kalian?" Shin memutar badan, terdiam sebentar, lalu berderap kembali ke tempat saudara kembarnya berada.

Embusan napas pelan lolos dari mulut Chici. Dia melirik anak laki-laki yang baru saja berkenalan dengannya, kemudian bergeser pada Shinta dan Nenma.

"Rekan atau teman baru? Sudahkah kauruntuhkan dinding pembatasmu itu?" Suara dalam diri Chici kembali menjangkaunya.

Jangan sok puitis, Iblis.

Bersambung ....

Clou's corner:
Udah siap move on dari Chici belom? Masih panjang antrean MC yang mau jadi fokus

Jangan kayak Jason yang terlalu setia sama ayangnya /beda kasus woi/

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro