Bab 16: Bukan Penyelesaian
"Ugh ...." Badan serasa remuk ditambah rasa kantuk yang menyerang. Dalam keadaan seperti itu Chici tetap harus pergi menghadap Dhart dalam ruangannya.
Melirik ke samping, Chici berceletuk, "Kenapa harus kau yang mengantarku?"
"Anggap saja aku ini tandu pribadimu," kekeh Jason.
Chici menanggapi dengan dengkusan. Kehadiran Jason usai kekacauan kemarin hari membuat perasaannya campur aduk. Ingin sekali dia menghindari anak laki-laki itu, tetapi semesta seakan menyuruh mereka untuk terus bersama.
"Kau tidak ikut masuk, kan?" Chici melirik Jason ragu-ragu.
Sontak Jason mengangkat tangan sejajar dengan bahu. "Tidak. Cukup Dhart yang menjadi pihak ketiga dalam permasalahan kalian."
Percakapan mereka berakhir di situ. Makin dekat dengan ruangan yang dituju, makin kencang degup jantung Chici. Dia harus segera menyelesaikan masalahnya agar bisa tenang. Untuk itu, dia harus berhadapan dengan Anna yang nyaris dibunuhnya.
Tangan Jason terulur menepuk bahu Chici. "Tenang saja. Dhart ada di sana, jadi kamu bisa yakin kalau situasi akan terkendali." Sambil menunjuk diri sendiri dengan jempol, dia berujar, "Dan aku akan menunggu di halaman yang bisa dilihat dari jendela ruangan itu."
"Huh, kaumau apa memangnya? Menyorakiku dari sana?"
Jason terkekeh. "Kalau diminta tentu akan kulakukan," ucapnya mengulum senyum.
Sempat-sempatnya Chici terpesona, tetapi buru-buru dia usir perasaan aneh yang menggelitik perut itu. Mereka sudah tiba di lantai atas gedung tempat ruangan Dhart berada.
Karena kegiatan akademi diliburkan, koridor lenggang tampak gelap. Lampu tidak dinyalakan meski cuaca sedang mendung. Langkah kaki mereka menggema mengisi kekosongan.
Setibanya di depan pintu ruangan wali kelas mereka, detak jantung Chici seakan berhenti. Hanya sesaat, tak sampai satu detik.
Tok tok tok.
Jason yang mengetuk, mengundang pelototan dari Chici.
"Masuk," sahut Dhart dari balik pintu.
Memalingkan wajah dari Jason yang hampir membuatnya jantungan, Chici menatap lurus ke depan. Tangan nan gemetar terulur mendorong pintu tersebut.
Ruangan Dhart kurang pencahayaan, pun berantakan seperti biasa. Di dalam sana dia menunggu bersama seorang gadis yang dikenal dengan nama Anna. Mereka duduk berhadapan dibatasi meja.
"Oh, kalian datang berdua." Tatapan Dhart bergeser pada Jason. "Tapi ini pertemuan khusus tiga orang."
Sambil mengibas-ngibaskan tangan Jason menyahut, "Ya, ya, ya. Aku hanya mengantar. Kan?"
"Ya. Sekarang pergilah," balas Chici ketus. Kakinya yang sedikit lemas melangkah melewati bingkai pintu.
"Baiklah." Jason mengekor. "Saya izin keluar melalui jendela," ucapnya formal tanpa bisa menahan senyum menyebalkan.
"Jendela?" Chici dan Dhart bersamaan menatap Jason.
Seperti yang dikatakannya, dia benar-benar menggunakan jendela ruangan Dhart sebagai pintu keluar. Jason melompat naik ke kosen, menoleh ke belakang hanya untuk berkata, "Sampai jumpa." Pun dia mengedipkan sebelah mata khusus pada Chici.
Anak laki-laki itu melompat turun dari jendela lantai tiga, membuat Dhart bangkit dari kursi terus bergegas mengintip ke luar. Ekspresi yang semula tegang beralih santai ketika dia mendapati Jason berhasil menciptakan pusaran angin di bawah kaki. Pendaratan mulus di atas halaman berumput hijau.
Napas diembuskan. Dhart berderap kembali ke kursinya sambil menjambak rambut sendiri. "Generasi ini-kalian benar-benar membuatku kewalahan."
Sementara Dhart dilanda kepanikan sesaat, Chici sudah mengambil tempat duduk di samping Anna. Ada jarak sekitar tiga meter di antara mereka yang masih enggan melakukan kontak apa pun.
"Baiklah, mari kita selesaikan masalah ini karena ada masalah yang lebih besar menanti di depan mata." Dhart menautkan jemari tangannya di atas meja. "Thania yang masuk ke akademi ini melalui jalur undangan diikuti oleh Anna yang diutus dalam misi bunuh diri. Itu garis besarnya. Kuharap sekarang masalahnya sudah jelas."
"Tunggu dulu," ujar Chici nyaris meninggikan suara. Pandangannya beralih pada Anna. "Misi bunuh diri?"
Tanpa menoleh ataupun melirik, Anna menjawab, "Ya. Si Tua Bangka Sialan itu mengirim anak semata wayangnya untuk membunuhmu, padahal dia tahu benar aku tidak akan berhasil."
Kasihan. Perasaan itu muncul dalam hati Chici, tetapi masih belum bisa menggeser berbagai perasaan negatif yang tersisa. "Kenapa? Bukannya kalian ingin menyingkirkanku?"
Anna menggeleng. "Yang ingin disingkirkan itu aku. Produk gagal." Tersembunyi di balik tirai rambut cokelat, senyum tipis dengan wajah mengerut. "Mereka sudah tidak peduli denganmu."
Belum sempat Dhart mengatakan yang harus dikatakan, Anna sudah berdiri. Kepalanya masih tertunduk. "Semuanya sudah jelas sekarang. Aku pamit undur diri."
"Tunggu!" seru Dhart ikut berdiri seraya menggebrak meja. "Jangan sembarang memutuskan. Kamu masih bisa-"
"Tidak. Aku sudah muak." Kepala Anna kini terangkat, tidak lagi menghindari kontak mata dengan Dhart. Tatapannya tajam, pun serius. "Aku tidak ingin berada di akademi ini lebih lama lagi."
Sekali lagi Dhart memukul meja. "Orang tuamu sudah membayar segala macam biaya akademi sampai kamu lulus nanti. Bodoh kalau disia-siakan."
"Oh." Tawa hambar tak lagi tertahan. "Aku tahu apa yang pria bau tanah itu pikirkan. Dia membuangku ke sini, juga membayar semuanya supaya aku tidak merangkak kembali ke depan singgasananya."
"Hei." Perhatian Anna bergulir pada Chici yang masih duduk menatapnya bak patung. "Habisi saja aku sekarang juga. Hidupku sejak awal memang tidak berarti."
"Lucianna," panggil Dhart datar, mendahului Chici yang hendak membentak Anna. Dia bersedekap. "Kamu-kalian berdua masih memiliki tugas yang harus dituntaskan di sini. Setelah itu, aku tidak peduli kalian mau saling bunuh atau bagaimana."
Tatapan nyalang dari Dhart menyalurkan kengerian ke sekujur tubuh mereka. Keduanya mematung dengan tatapan tertuju pada si wali kelas.
"Masalah kalian mungkin belum selesai, tapi setidaknya semua sudah jelas sekarang. Tidak ada lagi yang kebingungan." Pria itu kembali duduk, memangku sebelah kaki. "Tindakan seterusnya untuk masalah ini sepenuhnya ada di tangan kalian. Kalau perlu bantuanku silakan minta."
Pencahayaan makin minim. Lampu ruangan tak kunjung dinyalakan sementara awan di langit menggelap. Petir menyambar sebagai tanda datangnya badai. Spontan Chici menoleh ke arah jendela, mengingat seseorang tengah menunggu di halaman bawah sana.
Dhart berdeham, masih dengan tatapan tajam yang sekilas tampak bersinar. Diabaikannya terjangan angin yang membuat berlembar-lembar kertas di ruangan bertebaran.
"Kewajiban kalian belum selesai dilaksanakan. Dan seperti yang kubilang, masalah besar menanti. Kuharap kalian tidak menimbulkan masalah baru yang meresahkan semua orang."
Kepalan tangan Anna mengerat juga rahangnya mengeras. Masuk ke Eagle Diamond Academia adalah sebuah kesalahan. Setelah bebas dari cengkeraman sang ayah, Anna justru terjerat masalah rumit. Dia memang sudah lelah hidup, tetapi kalau memang harus mati, Anna tidak ingin bersusah-susah lagi.
"Sekarang kalian boleh pergi. Kembalilah ke asrama sebelum badai mengamuk." Jeda sebentar, Dhart melontarkan tatapan sinis pada Anna. "Jangan coba-coba melarikan diri dari kewajiban."
Anna berdecak, membalas tatapan sinis dari Dhart, kemudian berderap keluar. Pintu dia banting keras-keras sampai lantai pun dinding bergetar. Petir menyembar sebagai tambahan.
Sekali lagi Dhart mengembuskan napas kasar. "Sungguh menyusahkan. Remaja labil seperti kalian ditakdirkan untuk melawan Lucifer? Terdengar seperti lelucon."
Walau sudah dipersilakan pergi, Chici masih menetap di tempatnya. Tampak enggan pergi. Jemari dimainkannya sementara pikiran berkecamuk. Kata-kata tertahan di tenggorokan.
"Hmn? Kenapa masih di sini? Akan sulit kembali ke asrama kalau badai bertambah parah."
"Anu." Chici memberanikan diri untuk memperlihatkan wajah dan berucap, "Aku dan ... Anna. Kami berdua tidak memiliki kekuatan spesial seperti yang lain. Jadi, kenapa kami dilibatkan dalam masalah ini? Aku juga sampai diundang."
Aura karismatik Dhart seketika lenyap. Kini dia tampak seperti seorang guru dengan beban kerja tinggi serta gaji minim. Pria itu menggeram seraya memegangi bagian samping kepalanya. "Dengar, saat ini aku sangat butuh istirahat, jadi akan kujawab dengan singkat saja. Dengarkan baik-baik dan pahami sendiri kalau kurang paham."
Guru yang tidak profesional. Begitu pikir Chici.
"Asal kamu tahu, keberadaan makhluk blasteran sepertimu sendiri sudah luar biasa. Blasteran Wind Caster dengan werewolf putih yang terikat dengan iblis dari alam bawah. Bukan main kekuatanmu.
"Kalau Anna, dia juga lumayan kuat kalau dilatih dengan benar. Aku tidak memaksa mengundangnya karena aku hanya tertarik padamu, yang pendahulunya terikat kontrak dengan iblis level tinggi."
Dhart menjeda sebentar. Hampir tertidur kala menopang dagu. Kembali sadar berkat tamparan angin dari luar jendela. "Ya, sepertinya itu saja." Dia mengibas-ngibaskan tangan, kelihatan tak acuh. "Sekarang pergilah. Kekasihmu menunggu di bawah sana."
Spontan Chici mendengkus. Kala berdiri ia menyahut, "Berhenti mengasumsikan yang tidak-tidak soal hubungan kami. Aku dan Jason sebatas teman sekelas. Tidak lebih."
Dhart menguap tanpa menghalau udara busuk dari mulut. "Biar kuberi satu saran. Cobalah untuk tidak membangun dinding pembatas di antara dirimu dan teman-temanmu. Nikmati saja selagi bisa." Pun ia mengangkat kedua tangan ke udara, meregangkan tubuh diiringi bunyi gemeletuk.
Langkah Chici sempat terhenti. Segera dilanjutkannya tanpa menoleh ke belakang. "Akan kucoba," ucapnya sebelum melompat keluar dari jendela, memasuki badai angin, melakukan hal yang sama dengan Jason sebelumnya.
Dhart kembali menopang dagu, menatap jendela ruangannya. "Cepat sekali mereka mempelajari trik itu." Potensi terdeteksi olehnya yang sudah melatih banyak Element Caster untuk masalah yang sama.
"Mungkin mereka tidak akan gagal dengan menyedihkan."
Bersambung ....
Clou's corner:
Apa aku doang yg tertarik sama karakter Dhart ini?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro