Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 15: Konfrontasi

Langkah kaki bergema sepanjang lorong. Jason tak kuasa menahan rasa kagum. Pandangan anak laki-laki itu terus bergeser ke sana-sini. Dhart berjalan di depan sementara Chici masih dalam gendongan Jason.

Lorong tersebut lumayan panjang, tetapi Chici merasa mereka sampai ke depan pintu terlalu cepat. Ketenangan terhempas meninggalkan gadis itu yang kini gelisah tak karuan. Dia bahkan mencoba untuk melompat turun dari tangan Jason.

Dengan sigap Jason menahannya. "Hei, hei, kenapa? Katanya belum kuat jalan."

"Sekarang sudah. Cepat turunkan aku."

"Tidak. Mana tega aku membiarkan seorang gadis yang terluka berjalan sendiri." Sebenarnya Jason malu kalau harus dilihat orang lain sedang menggendong seorang gadis. Bisa terjadi kesalahpahaman, tetapi Chici tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri.

Dhart di depan telah meraih gagang pintu. Ia menoleh ke belakang, lantas berkata, "Kau tidak bisa terus menyembunyikan jati dirimu, Thania. Aku paham bahwa tidak semua orang bisa menerima dirimu. Namun, mereka yang menunggu di balik pintu ini adalah teman-teman dekatmu sejak dua tahun terakhir. Jangan takut begitu."

Kata-kata Dhart berhasil mengusir rasa cemas Chici walau hanya sebentar. Rasa cemas itu kembali menerjang ketika Dhart menarik gagang pintu yang dipegangnya. Ingin berucap, tetapi pintu itu lebih dahulu mengayun terbuka, menampilkan penampilan familier yang membuat dada Chici sesak.

"Wow ...." Berpasang-pasang mata seketika tertuju dua orang yang masih mematung di belakang Dhart.

Shela cengar-cengir, sejenak mengabaikan fakta bahwa Chici sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. "Kesempatan dalam kesempitan, huh?"

"Bukan begitu!" seru Jason terus melangkah memasuki ruangan. Dilewatinya Dhart begitu saja karena pria tersebut tak kunjung beranjak dari tempat. Wajah anak laki-laki itu yang sudah merona jadi lebih parah lagi ketika mendengar ledekan dari para penghuni ruangan.

Chici lebih dahulu dibawa ke kamar untuk dirawat lukanya oleh Shela. Sementara itu, ruang tengah dilanda hening tak berkesudahan hingga Chici dan Shela kembali.

Ruang tengah markas StarDiamond kelihatan lebih ramai dari biasanya. Ada Censia, Kiki, Shela, Rin, Chici, Jason, juga Dhart. Memang lebih ramai, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa ada satu ruang kosong di antara mereka.

"Anna ... di mana?" tanya Chici terus meringis pelan. Sengatan perih masih terasa dari luka-luka yang telah dibalut perban putih. Bergerak sedikit saja, sakitnya bukan main. Walau begitu, Chici tidak bisa duduk tenang di atas sofa.

Rin dan yang lainnya bertukar pandang untuk beberapa saat, lalu akhirnya tatapan mereka terkunci pada Dhart. Pria itu betah sekali berdiri, bersandar pada bingkai pintu.

Dhart menghindari tatapan mereka, lantas berkata, "Oh, ya. Aku harus mengecek anak itu di tempat lain." Menoleh ke samping, Dhart melontarkan senyum pada Chici. "Kalian bicaralah baik-baik. Aku sedang dibutuhkan di tempat lain. Kita bicara besok."

Setelah berkata demikian, seperti biasa, Dhart lenyap dari pandangan. Pintu yang tadi terbuka karena ditahan dengan kakinya pun mengayun tertutup.

Tiba-tiba Kiki bergidik ngeri menatap pintu tersebut. "Sebenarnya dia itu makhluk apa?"

Mendengar itu, Chici teringat akan apa yang sempat dibisikkan oleh parasit dalam tubuhnya. Parasit tersebut yang tak lain adalah iblis dari alam bawah berkata bahwa dia mengenal Dhart.

"Udah bisa bahas itu sekarang?" tanya Censia tanpa repot-repot memikirkan perasaan orang lain.

Empat pasang mata memelotot menatapnya. Hanya Chici yang tertunduk. Tangan gadis itu mencengkeram tepian sofa. Beberapa bagian tubuhnya terasa nyeri karena sedikit tenaga tersalur ke tangan.

Rin beringsut mendekati gadis berpenampilan kacau di sampingnya. "Tidak apa kalau tidak siap, Chi. Kami bisa menunggu—"

"Aku tidak akan terjaga semalaman hanya menunggu seseorang yang tak kunjung siap menceritakan apa yang harus diceritakan," ujar Censia sambil bersedekap. Tatapan sinisnya menyasar Chici yang kepalanya tertunduk makin dalam saja.

Agak canggung terjebak di antara satu geng yang terkenal problematik di angkatannya, tetapi Jason tak bisa tinggal diam. Kekesalannya tak lagi terbendung sebab si murid baru, sadar atau tidak sadar, terus mencoba menyulut emosi semua orang dalam ruangan itu.

"Ya, Anak Baru, mungkin kaupunya urusan yang lebih penting dari ini," ujar Jason ikut bersedekap. Tatapannya tak kalah sinis. "Memperbaiki sikap, misalnya."

Censia sama sekali tidak terpancing emosinya. Gadis mungil itu mengangkat dagunya sedikit. "Apa ini? Usaha menyedihkan untuk membela pacarmu yang tiba-tiba bisu?"

Mendadak Rin bangkit berdiri. Kedua tangan terkepal erat di sisi tubuh, pun sorot mata merahnya nyalang. "Bisa diem gak? Banyak bacot dari tadi. Mending diem aja dah! Chici cuma perlu waktu sebentar. Hargai itu," ujarnya terus kembali duduk.

Shela bergeser mendekati Kiki, lantas berbisik, "Hanya perasaanku atau terjemahan kata-katanya kurang tepat? Rin terdengar kasar, tapi terjemahannya ...."

Kiki mengusap tengkuk canggung sambil tertawa kecil. "Ya, terjemahan memang kurang akurat. Atau mungkin kata-katanya sengaja disensor."

Setelah Kiki balas berbisik pada Shela, ruangan kembali hening. Situasi tidak lebih baik dari sebelumnya, justru menjadi lebih tegang. Censia yang menjadi penyebab ketegangan itu tampak tak acuh, menghindari kontak mata dengan siapa pun.

Di sisi lain, Chici yang sejak tadi mengunci mulut masih mengalami pergulatan batin. Pun isi pikirannya berkecamuk. Gadis itu bingung harus mulai dari mana. Ada banyak yang harus diceritakan.

Teman-temannya itu mungkin sudah tahu garis besar situasinya dari Dhart. Harusnya itu mempermudah Chici untuk menjelaskan, tetapi yang ada gadis itu kebingungan. Pembukaan pembahasan yang terus diulang-ulang dalam benak mungkin akan terdengar canggung ketika diucapkan.

Perlahan Chici mengangkat kepala. Mulanya ia menghindari kontak mata, terlebih dengan Censia. "Jadi ... kalian sudah tahu dari Dhart, bukan? Soal aku ini sebenarnya apa?"

"Ya," sahut mereka dengan nada berbeda-beda.

Chici tertegun, menatap teman-temannya satu per satu, lalu kembali menunduk. "Jadi, anu. Aku ingin menjelaskan, tapi ... kurasa kalian sudah paham, uuh ...."

"Kalau begitu, kita jadikan sesi tanya-jawab saja," usul Rin yang sudah kembali tenang. "Apa masalahmu dengan Anna?"

"Langsung ke pertanyaan rumit, ya ...." Chici bergumam berusaha menyatukan dirinya. Pandangan semua orang di situ tertuju padanya, menuntut jawaban.

"Akan kujelaskan ... tapi jangan ada yang menyela," ucap Chici dengan suara bergetar seperti orang hendak menangis.

Spontan Jason, Kiki, Rin, dan Shela melirik Censia. Gadis yang dilirik tidak menghiraukan mereka. Dia sudah lelah terseret dalam berbagai masalah.

Setelah jeda dua detik, Chici mulai menjelaskan, "Seperti yang kalian tahu, aku dan Anna adalah werewolf dari ras yang berbeda. Kami berdua blasteran Element Caster dan werewolf.

"Serigala hitam dan serigala putih, dua ras ini bermusuhan. Serigala hitam yang mengandalkan kekuatan pada dua dekade terakhir ini membantai para serigala putih ... yang dianggap sebagai ancaman besar karena menjalin hubungan dengan dunia bawah."

Chici menjeda sebentar, meneguk saliva kasar. Tangannya yang mencengkeram sofa terasa dingin. Mengingat masa lalu membuatnya tersenyum sendu, tampak dipaksakan. "Sepertinya aku satu-satunya dari ras serigala putih yang tersisa. Dan, Anna diutus untuk menghabisiku."

Kalimat terakhir itu membuat semua yang menyimak bergeming. Tatapan terkunci pada sosok gadis yang menghempaskan tubuh ke sandaran sofa. "Mengingatnya membuatku sakit kepala."

"Tapi ... kalian teman sekamar di asrama," ujar Kiki, "sudah dua tahun lebih." Bokongnya berada di tepi sofa.

"Ada yang mengganjal di sini." Censia yang sejak tadi bersedekap makin tajam tatapannya. "Kalau memang dia diutus untuk menghabisimu, kenapa tidak dilakukannya saat kau terlelap?"

Chici mengembuskan napas panjang dengan kepala menengadah. "Asal kautahu, aku sering melemparkan pertanyaan itu pada wajahnya, dan dia selalu mengelak."

"Mungkin ini hanya kesalahpahaman ...."

Tangan Chici spontan meraup wajah sehabis Kiki berkata demikian. "Ki, tak terhitung berapa kali dia terang-terangan mengajakku berkelahi. Kesalahpahaman apa yang bisa saja terjadi?"

"Ya, kurasa ini bukan kesalahpahaman." Shela bergeser, bertopang pada sandaran tangan. "Anna pasti punya tujuan lain. Misalnya ...." Pandangan Shela bergulir pada Rin.

"Misinya itu misi bunuh diri," ucap Rin menyambung perkataan Shela. Dia mengendikkan bahu sesaat kemudian. "Tapi ini hanya spekulasi. Kita butuh cerita dari sisi satunya."

"Aaah ... apa pun itu sudah terlambat." Mengabaikan rasa sakit nan menyengat, Chici merangkul kedua kaki terus membenamkan wajah di atas lutut. "Aku telanjur ... aku lepas kendali. Aku hampir membunuhnya. Itu tidak akan berubah walau tahu ceritanya."

Mereka mengembuskan napas kasar berbarengan.

"Chi, aku tahu, pasti rasanya ingin menenggelamkan diri dalam la—"

"Aku ingin mengubur diri hidup-hidup."

Perkataan Kiki dipotong. Dalam situasi seperti ini dia hanya bisa pasrah. "Ya, begitu."

"Pokoknya kita semua perlu istirahat malam ini." Rin berdiri terus meregangkan tubuh diiringi erangan. "Kita tidak bisa kembali ke asrama, tapi untungnya ada beberapa kamar di markas ini. Aku duluan," ujarnya seraya melangkah ke kamar yang pintunya memiliki ukiran simbol api.

"Apa boleh buat." Censia beranjak melewati pintu yang memiliki ukiran matahari. "Benar-benar menyusahkan."

Jason yang memperhatikan pintu-pintu itu sejak tadi baru menyadari bahwa ukiran tersebut adalah simbol elemen. Terdapat enam kamar sesuai jumlah elemen yang ada: air, angin, api, cahaya, kristal, dan tanah.

"Oh." Langkah Shela tersendat, membuat Kiki yang mengekor menabrak punggungnya. Dia menoleh pada Jason yang menempel pada sofa. "Jason, kan? Kaubisa menumpang di kamar Kiki kalau tidak mau tidur di sofa," ujar Shela dengan jempol terarah pada anak laki-laki di belakangnya.

Sebelum Kiki sempat menyambung, Jason lebih dahulu berkata, "Eh, di sini tidak apa-apa." Jason mengibas-ngibaskan tangan, mengulum senyum kaku.

"Ya sudah," sahut Kiki dan Shela bersamaan, lantas melangkah pergi meninggalkan Chici dan Jason di ruang tengah.

Masih meringkuk di atas sofa, Chici tertawa kecil. "Anak orang kaya tidur di atas sofa. Lucu."

Jason mendengkus. Bibirnya manyun. "Pergi istirahat di kamarmu, sana."

Chici menggeleng.

"Perlu kuantar?" Jason memasang senyum lebar dengan alis dinaik-turunkan. "Mungkin ingin kugendong lagi?"

"Tidak."

Respons dingin itu seakan panah yang menyasar hati. "Baiklah," ucapnya dengan nada sedih yang dibuat-buat. Itu pun tidak membuat Chici bergidik geli.

Gadis di hadapannya masih bergelung dalam diam. Kelihatan seperti bola perban. Tenaga Chici sungguh sudah habis.

"Lelah tapi tidak bisa tidur. Aku pernah." Jason beranjak dari tempatnya, pindah ke samping si bola perban. Tentu menjaga jarak.

"Bagaimana kalau kuceritakan sesuatu?"

Hening sejenak baru Chici menjawab, "Boleh."

Senyum simpul dan tatapan teduh Jason menjadi pembuka sesi nostalgia di antara mereka berdua.

Bersambung ....


Clou's Corner:
Aye! Unseen Mysteries Saturday!

Makasih udah baca (*´ω`*) sampai jumpa Sabtu depan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro