Bab 14: Setelah Gemuruh Angin
Rasa haus akan darah seketika lenyap setelah Chici bertukar pandang dengan Jason. Maniknya kembali seperti semula, jingga bak langit di sore hari. Pandangan dari anak laki-laki itu yang bahkan tidak sampai satu menit mampu membuatnya berubah wujud. Pandangan itu seakan-akan menetralkannya. Tangan Chici kembali seperti sediakala, tak berbulu ataupun bercakar panjang. Ekornya menghilang diikuti sepasang telinga serigala yang digantikan telinga manusia.
Chici telah kembali menjadi dirinya yang biasa. Kini penampilannya lusuh dengan rambut kucal dan pakaian sobek di beberapa bagian. Noda darah di sana-sini. Ada pula yang masih segar, mengalir bebas dari luka yang terekspos.
"Aku ... aku tidak." Chici gelagapan menghindari kontak mata dengan siapa pun. Kakinya melangkah gontai menjauhi Dhart hingga tubuhnya menubruk pohon lain. Lidahnya kelu, tak lagi bisa mengucapkan kata-kata untuk membela diri.
Dhart juga Jason pasti sudah tahu apa yang dia lakukan. Keberadaannya adalah bukti nyata. Chici tidak bisa mengelak atau mengelabui mereka.
"Aku tidak bermaksud menyakiti atau bahkan membunuh mereka!"
Ingin berseru demikian, tetapi Chici tahu mereka tidak akan memakan omong kosong itu. Chici juga tahu benar bahwa dirinya bersalah. Dia gagal mengendalikan diri, balas menyerang Anna sampai sekarat, juga bertindak gegabah menyerang Ray yang memergokinya. Ia melakukan itu tanpa pikir panjang, juga ... dikendalikan oleh rasa haus darah yang sudah sekian lama ditahan.
Gadis itu tak kuasa menahan bobot tubuhnya, jatuh bersimpuh seperti seorang pencuri kurang lihai yang ditangkap warga. "Bunuh saja aku di sini" adalah kata-kata yang ingin ia ucapkan. Namun, dia sebenarnya belum ingin mati. Karena itu dia lepas kendali dalam upaya membela diri dari seseorang yang dikirim untuk menghabisinya.
Chici menyadari ada yang mendekat. Ada yang berdiri di depannya, menghalangi sinar temaram dari benda langit malam ini.
"Hei, tenanglah," ujar Jason seraya mengusap rambut kusut gadis itu. Tangannya bergerak turun sampai ke pipi yang terluka di balik tirai rambut itu. Perlahan ia menarik tangannya, beralih merentangkannya. Dengan senyum getir ia bertanya, "Butuh pelukan?"
Bodoh. Jason bodoh. Begitu pikir Chici kala dirinya menjatuhkan diri ke dalam dekapan Jason yang dengan sangat bodoh mengundang seorang monster ke dalam pelukannya.
Dalam situasi normal, jelas Chici tak akan mau memeluk anak laki-laki itu. Dalam situasi normal, Chici akan berusaha untuk menjauh.
Pelukannya mengerat ketika menyadari bahwa Jason malah balas memeluknya. "Kenapa ... aku sama sekali tidak mengerti," ujar Chici yang masih membenamkan dalam dekapan itu.
"A-aku senang kamu memelukku—"
Chici menggeleng, membuat dada Jason terasa geli. "Kamu takut." Mendadak ia menarik diri keluar dari pelukan hangat itu. "Aku ini monster. Aku hampir membunuh Anna. Aku menyakiti Ray, bahkan hampir membuatnya bertemu dengan maut."
Setelah beringsut menjauh dari Jason, gadis itu menyempatkan diri untuk melirik Dhart yang sejak tadi menyimak. "Kalian berdua pergi saja. Biarkan aku mati kehabisan darah di sini," ucap Chici meraba perut yang terluka dan terekspos. Masih ada serpihan kristal di sana.
Dhart mengembuskan napas gusar sambil menyibak rambut yang menutupi dahi sementara tangan satunya memegangi pinggang. "Jelas tidak bisa. Sudah kubilang, kami membutuhkanmu. Aku sudah susah-susah membujuk kepala akademi kalian untuk mengirimkan surat undangan padamu agar kamu bisa bergabung dengan kelas Z. Masa salah satu pahlawan mati saat kisahnya baru saja dimulai."
Alih-alih terharu, Chici justru merasa geram. Giginya bergemeletuk sebelum ia menyalak, "Apanya yang pahlawan! Sudah kubilang aku ini monster! Ada iblis di dalam diriku dan aku tidak bisa mengendalikannya!" Gadis itu mengambil jeda untuk bernapas. Tenggorokannya kering, tetapi ia memaksakan diri untuk berteriak.
Dhart mendekat setelah hanya melempar tatapan miris untuk beberapa saat. Tangannya mendarat dengan lembut di pucuk kepala Chici. "Generasi kali ini problematik semua, ya. Usia kalian belum matang dan kalian punya banyak masalah. Generasi yang merepotkan." Dhart hanya mengelus kepala gadis itu sebentar, lalu menarik tangannya. "Tapi tenang saja. Aku belum menyerah untuk membimbing kalian."
Jason menampilkan ekspresi penuh tanda tanya. Bukannya diberi jawaban, ia justru diberi perintah. "Nah, Jason. Tolong gendong kekasihmu dan ikuti aku ke suatu tempat."
Chici sudah agak lama tenggelam dalam pikiran. Ucapan Dhart tidak terdengar olehnya. Hanya Jason yang wajahnya memerah dan mulai salah tingkah. Namun, pada akhirnya dia tetap menggendong Chici. Gadis itu sudah terlalu lelah untuk melontarkan protes.
Selama perjalanan menelusuri hutan, dalam hati Jason bertanya-tanya kenapa Dhart tidak membawa mereka berpindah tempat saja. Pria itu selalu menghilang dan muncul tanpa peringatan di mana-mana. Bertanya tidak akan membuahkan jawaban, maka dari itu Jason memilih untuk mengalihkan perhatian.
"Selain kehabisan tenaga, kamu juga kehabisan mana, ya." Jason mencoba membuka percakapan dengan gadis yang tengah digendongnya.
Tak ada respons dari Chici. Melirik pun tidak. Sejak tadi Chici bergelung seperti tenggiling, berusaha menyembunyikan wajah. Posisi itu membuat Jason kesulitan menahan tubuhnya dalam gendongan.
"Hei, bukan cari kesempatan dalam kesempitan, tapi kurasa lebih baik kamu mengalungkan tangan di leherku ... supaya tidak jatuh ...."
Masih mempertahankan posisinya, Chici menyahut, "Kau mau aku melingkarkan tangan pada lehermu seperti koala bergelantungan pada induknya? Tidak mau."
Koala itu apa? Jason bertanya-tanya dalam hati.
"Ayolah, Tha. Aku akan menjatuhkanmu kalau tidak mau." Jason kembali bersungut-sungut dengan wajah cemberut. Melihat tidak ada respons, muncul niat jahil disertai senyum nakal. "Hayo, jatuh!" serunya sambil menyentakkan tangan.
Seketika Chici memekik, lantas tangannya bergerak cepat mengalung pada leher anak laki-laki yang menggendongnya. Dengan wajah dibenamkan dalam pundak Jason, Chici bergumam, "Kurang hajar."
Jason terkikik geli, senang bisa menjahili Chici lagi setelah sekian lama. Beberapa saat kemudian, perhatiannya bergulir pada Dhart yang sudah melangkah lebih jauh dengan kaki panjangnya. "Kenapa kita menuju akademi?" tanya Jason membuat gadis dalam gendongannya tersentak.
Dhart tidak langsung menoleh ataupun menjawab. Pria itu lanjut melangkah, lantas berhenti di balik pohon di tepi hutan. Ia menoleh ke belakang. "Kau," ucapnya menunjuk Jason, "gunakan kekuatan spesialmu untuk membuat kita bertiga tidak terlihat."
Alis Jason langsung tertekuk dalam. "Kita bertiga? Aku belum pernah membuat orang lain menjadi tak terlihat sebelumnya."
"Kalau begitu, sekarang adalah waktu yang tepat untuk mencoba," sahut Dhart acuh tak acuh. Pandangannya kembali menyisir area bangunan akademi di hadapan.
"Mungkin aku bisa, tapi hanya dua orang termasuk diriku sendiri." Jason memutar bola mata kala mendengkus. Dia menatap punggung Dhart lagi. "Kau bisa berteleportasi jadi kurasa kau tidak perlu kubuat tak kasatmata."
Seketika Dhart berbalik dan bersedekap. "Hei, aku berusaha menjadi pembimbing yang baik di sini. Memangnya kau tahu tempat yang kita tuju saat ini?" Tatapan Dhart turun sedikit, membalas Chici yang tengah melontarkan tatapan sinis padanya. "Hmn ... setelah kupikir-pikir, tidak apa. Kekasihmu itu jelas tahu tempat yang kumaksud. Sampai jumpa di sana," ujar Dhart lalu menghilang sebelum ada yang sempat melemparkan protes padanya.
Pandangan Jason seketika jatuh pada wajah gadis dalam gendongannya. Segera dia mengalihkan pandangan ketika Chici meliriknya. Wajah mereka berdua merona sama parahnya.
"Jadi ... ke mana arahnya? Tempat yang Dhart maksud."
Chici terdiam, gagal fokus sebab tidak ada jarak di antara mereka berdua. Degup jantung Jason yang meliar dapat ia dengar dengan jelas. Pegangannya mengerat. "Turunkan ... turunkan aku baru kuberi tahu arahnya."
Jason menggeleng tegas. "Tidak bisa. Kamu harus tetap dalam gendonganku. Kalau tidak, aku tak akan bisa membuatmu tak kasatmata."
Embusan napas kasar lolos dari mulut Chici. "Sekarang kau hanya mencari alasan agar bisa terus menggendongku. Lagi pula, kau tidak lelah? Aku lumayan berat."
Sekali lagi Jason menyentakkan tangannya, tetapi kali ini Chici tidak begitu terkejut. "Kamu ringan, tahu." Dia cengar-cengir. "Nah, sekarang ke mana tujuan kita? Aku sudah mengaktifkan kekuatanku dan kurasa tidak akan bertahan lama untuk berdua," ujarnya setengah berbohong. Mereka berdua masih kasatmata bagi makhluk-makhluk lain.
"Ke belakang gedung utama. Jauh di belakang sana ada sumur tua yang disembunyikan oleh pepohonan dan semak-semak," jelas Chici langsung pada intinya.
Jason mengangguk paham dan kembali melangkah. Kali ini dia sungguh sudah mengaktifkan kekuatannya. Dalam pandangan makhluk lain, tidak ada orang yang tengah melewati gerbang akademi dan memasuki gedung utama.
Di tengah keheningan, setelah dengan lancar keluar di bagian belakang gedung utama, Chici bersuara. "Kenapa tidak memutar saja? Aku masih bisa jalan dan tidak masalah—"
"Kamu ini hanya keras kepala atau bodoh? Tubuhmu penuh luka dan kalau kamu tidak sadar, sejak tadi pendarahanmu tak kunjung berhenti. Aku terkejut kesadaranmu masih bertahan sampai sekarang." Pandangan Jason senantiasa tertuju ke depan. Tatapannya berubah sendu. "Kita harus cepat supaya lukamu bisa segera ditangani." Setelah itu, Jason mengunci mulutnya, mencari keberadaan sumur yang disebut tadi dalam diam.
Saat dikatai keras kepala dan bodoh, pandangan Chici tak lepas dari wajah penyelamatnya. Sorot mata penuh kecemasan itu membuat hatinya terenyuh. Isi perutnya seperti dikocok-kocok kala mengingat kejadian beberapa saat sebelum ini.
Jason memergokinya dalam wujud yang dianggapnya monster. Chici tak habis pikir. Mengapa anak laki-laki itu berani mendekat? Bagaimana bisa dia bertingkah seperti biasa setelah melihat semua itu? Bisa-bisanya Jason menaruh perhatian, merasa cemas, juga menggodanya.
Chici tidak paham.
Sementara mencari keberadaan sumur yang tak kunjung tampak, Jason terhenti sejenak, merasakan pegangan Chici mengerat. "Ada apa?"
Chici mendongak sebentar, lantas kembali menunduk. "Kenapa kau bertingkah seakan-akan tidak pernah melihat ... yang tadi?"
Pertanyaan yang agak mengejutkan itu membuat mata Jason melebar sejenak. Ia pun kembali melangkah, pandangannya untuk kesekian kali menyapu sekeliling. "Semua orang pasti memiliki rahasia. Punyamu, Thania, memang bukan rahasia yang bisa diterima begitu saja."
"Jangan memanggilku dengan nama depanku," sela Chici. "Menggelikan."
Selaan itu tidak digubris oleh Jason. Ia melanjutkan, "Yang tadi itu memang mengejutkan. Sama sekali tidak kuduga. Aku bahkan tidak percaya saat Dhart mengatakan bahwa kamu adalah satu-satunya dari ras werewolf putih yang masih hidup."
"Dhart mengatakan apa?" Chici baru saja berjanji dalam hati tidak akan menyela lagi, tetapi dia tak dapat menyembunyikan keterkejutannya saat mendengar itu.
"Tadi pagi, setelah kita selesai menjalankan jatah hukuman, Dhart memanggil beberapa orang. Selain aku, ada Lau, Ray, Kimber, juga teman-teman satu gengmu. Kecuali Anna." Jason mengambil jeda sebentar ketika menerobos semak-semak. "Nah, dia memanggil kami untuk memberi tahu soal dirimu dan Anna. Ray diminta untuk berjaga di hutan dekat asrama karena Dhart menyadari tingkah aneh kalian berdua sejak tunjuk kekuatan belum lama ini."
Chici melonggarkan pegangannya, mengalihkan pandangan pada rumput dan semak-semak. "Kamu gak takut sama aku? Pendahulu ras werewolf putih pernah melakukan perjanjian dengan iblis. Dan karena itu ... karena itu keturunannya ...."
"Memiliki iblis di dalam diri mereka. Aku tahu. Itu termasuk pengetahuan umum di Negeri Angin, kamu tahu itu." Jason tampak gelisah, berusaha memperbaiki posisi Chici dalam tangannya. "Selain karena aku tahu bahwa dirimu adalah blasteran langka yang dominan membawa gen Wind Caster, aku tidak takut karena sudah lama mengenalmu. Seorang Thania Merichi tidak akan melukai temannya—setidaknya tidak tanpa alasan."
Belum merasa puas, Chici kembali menatap anak laki-laki yang setia menggendongnya, lalu menyahut, "Bisa saja tadi aku sedang dalam kendali iblis. Aku bisa menyakitimu." Ingin dia berseru, tetapi hari sudah malam dan ada kemungkinan musuh berkeliaran.
Kedua sudut bibir Jason tertarik ke atas, membentuk lengkungan samar. "Dua tahun lebih aku mengenalmu, Thania. Jelas aku dapat membedakan saat dirimu sedang marah atau sedang dikendalikan iblis."
"Jawaban konyol." Chici membuang muka. Pun dia merasa ingin melompat turun dari tangan Jason saat ini juga. Namun, ia tahu dirinya hanya akan jatuh tersungkur seperti orang bodoh.
"Pertanyaanmu juga konyol." Jason celingak-celinguk. "Lebih baik kamu membantuku menemukan sumur itu. Dari tadi tidak ketemu."
Chici mendengkus. "Di kananmu, Bego. Dari tadi kau melewatinya tapi tidak sadar."
"Hei, jangan salahkan aku. Hari sudah malam dan tidak ada Light Caster di antara kita."
Menembus semak-semak di arah yang ditunjuk Chici, mereka akhirnya menemukan sumur tua yang sejak tadi Jason cari-cari. Di tepian mulut sumur tersebut, Dhart duduk dengan santainya. Pria itu berdiri ketika mendapati dua remaja yang dinantinya telah tiba. "Kalian lama sekali. Habis bermesraan di jalan?"
"Dhart! Demi sang Elang Perak, kami masih remaja!" seru Jason dengan wajah merah padam. Anak laki-laki itu tak lagi peduli jika ada musuh yang mendengar dan segera memelesat ke tempat mereka berada.
"Oh? Jadi, kalian baru akan bermesraan saat sudah dewasa? Masih umur segini saja sudah kelihatan seperti sepasang kekasih," kekeh Dhart, tampak sangat menikmati kesempatan mengejek anak muridnya.
Sementara itu, selain menahan malu dengan pipi bersemu merah, Chici pun merasa was-was. Membayangkan apa yang tengah menanti mereka di dalam markas rahasia StarDiamond membuatnya ingin melarikan diri saja.
Sehabis beradu mulut dengan Dhart, Jason kembali menaruh perhatian pada Chici. "Mau kuturunkan sekarang?" tanyanya bersungguh-sungguh, tidak ada lagi niat menjahili.
Agak berat, tetapi Chici menggeleng dan berkata, "Aku tidak akan kuat berjalan ke dalam sana." Bukan dalam artian kaki atau sekujur tubuhnya lemas. Berani diturunkan, gadis itu akan langsung melarikan diri.
Dia belum siap menghadapi teman-teman yang telah ditipunya.
Bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro