Bab 13: Monster dalam Dirinya
Serpihan kristal memantulkan cahaya rembulan yang begitu indah disapu bersih oleh terjangan angin yang dinginnya sungguh menusuk. Chici tidak membiarkan lawannya melancarkan serangan lain, langsung menerjang dengan dorongan materi tak kasatmata.
Anna berhasil menahan satu tinju dengan kedua tangan tersilang, tetapi ia tak sanggup lagi menahan yang kedua. Pertahanannya hancur dalam sekejap mata, membiarkan tangan Chici terayun menggores tubuh Anna dari bahu kiri hingga perut. Kaos oblongnya yang kini penuh noda darah koyak.
Sebagai upaya menyelamatkan diri, Anna menyelimuti tinju dengan kristal nan rucing dan berkilau, lantas melayangkannya tepat ke perut Chici. Mereka sama-sama terhempas menjauhi satu sama lain. Anna menubruk pohon yang kemudian dedaunannya berguguran, sedangkan Chici jatuh telentang di atas rerumputan yang menyembunyikan kerikil tajam.
Sejenak keduanya terdiam dalam posisi masing-masing dengan napas memburu. Darah mengucur dari luka, mengotori pakaian yang sudah lusuh dan koyak.
Chici menjadi yang pertama untuk bangkit dari posisinya. Manik gadis itu tak lagi berwarna jingga. Warnanya kini senada dengan cairan kental yang menodai sekujur tubuh, termasuk sepasang telinga dan ekor serigala yang semula putih bersih. Bagian dari mata yang seharusnya berwarna putih telah berubah menjadi hitam pekat, sepekat kegelapan malam yang mengelilingi mereka.
Chici melangkah ringan mendekati Anna yang masih terduduk menyandar pada pohon. Bulu putih mulai tumbuh dari ujung jari hingga siku ketika cakar hitamnya memanjang.
Sejenak Chici memandang lawannya heran sebab ia tak berkutik sedikit pun. Perkelahian mereka tak sampai lima menit, tetapi gadis angkuh itu sudah kelihatan seperti tikus got sekarat.
Tak ada belas kasihan yang terpancar dari manik Chici. Matanya tak lagi berkilau seperti biasa. Begitu kelam tatapannya ketika ia mengangkat tangan, bersiap untuk mencabik ancaman di hadapan.
Hendak terayun tangannya saat Chici merasakan hawa keberadaan seseorang di balik perpohonan di depannya. Gadis itu melompat mundur tepat ketika belasan kristal runcing menyasar pijakannya barusan. Kristal-kristal itu lalu beralih fungsi dan bentuk dari senjata menjadi kubah yang melindungi Anna.
Melihat Anna yang tak berkutik hingga dirinya terlingkupi kubah kristal tersebut, Chici langsung menyadari bahwa pelakunya bukanlah gadis angkuh itu. Orang lain yang sejak tadi mengawasi mereka akhirnya memutuskan untuk bertindak.
Ranting berderit dan dedaunan bergemeresik kala seorang anak laki-laki melompat turun dari pohon, menampakkan diri setelah lama bersembunyi di antara kegelapan. "Tak kusangka seorang sepertimu berani merenggut nyawa orang lain."
Chici terdiam. Dia mengenali lelaki itu sebagai seorang murid pendiam di kelas Z. Murid yang paling hemat bicaranya melebihi Elsa si Putri Es.
Ray melirik kubah kristal yang dibuatnya sejenak, lalu kembali menilik gadis bersurai biru jauh di depan. "Tadinya kupikir kalian tidak serius ingin saling bunuh."
Fokus Chici tidak tertuju pada kata-kata Ray. Segala macam pemikiran tengah berkecamuk dalam benaknya hingga ia mulai mempertimbangkan untuk ikut menghabisi lelaki itu atau tidak. Ray memang tidak memiliki hubungan dengan konflik antara dirinya dan Anna, tetapi anak laki-laki itu telanjur melihat. Akan merepotkan bagi Chici untuk lepas dari masalah dengan adanya saksi mata.
"Kalau kau berpikir untuk membunuhku juga agar bisa melanjutkan kehidupan sebagai murid akademi dengan damai, hentikan." Ray mengangkat tangan dengan telapak terbuka mengarah pada Chici. "Masih ada cara lain, tidak harus membunuh."
"Omong kosong!" Tanpa basa-basi Chici memasang kuda-kuda, lantas memelesat ke arah Ray, memberikan hadiah berupa tendangan yang disertai dorongan angin.
Ray terhempas cukup jauh melewati pepohonan, menabrak bongkahan batu besar. Tak berlama-lama atau sekadar mengerang kesakitan, Ray berdiri menyabut tebasan udara dengan perisai kristal. Karena dibuat secara mendadak, perisai itu langsung hancur. Segera Ray menjatuhkan diri ke samping, menyaksikan tebasan lain menyasar bongkahan batu besar yang sempat menjadi sandarannya. Tidak terbelah, tetapi bekas yang ditinggalkan cukup dalam. Tamat sudah riwayatnya jika terlambat menghindar sedetik saja.
Sementara Chici mengambil jeda sebentar untuk bernapas, Ray meletakan kedua telapak tangan di atas pijakannya yang kemudian berubah menjadi kristal. Pijakan kristal yang tidak begitu luas itu pun tumbuh menjulang tinggi, membawa Ray ke udara.
Untuk sesaat ia merasakan tenangnya malam. Tidak terbuai dengan itu, ia mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari keberadaan seseorang. Sekitar dua puluh meter dari tempatnya nyaris dijemput maut, Ray dapat melihat seseorang yang dicarinya.
Baru mau mengirimkan tanda, pilar kristal tempatnya berpijak mulai bergetar.
Krak!
Hanya mendengar bunyi samar itu, Ray sudah tahu bahwa pilarnya akan segera runtuh, hancur menjadi serpihan kristal. Tepat satu detik sebelum itu terjadi, Ray memutuskan untuk melompat sejauh yang ia bisa ke arah orang tadi berada.
Setelah berhasil menghancurkan pilar kristal di hadapannya, Chici segera menjauh untuk menghindari pecahan-pecahan kristal tajam yang menghujam permukaan tanah. Ia menunggu Ray jatuh atau secara ajaib mendarat dengan selamat. Namun, tidak ada yang jatuh selain pecahan-pecahan kristal tersebut.
Di tengah kebisingan yang ditimbulkan oleh runtuhnya sebuah sebuah pilar kristal, Ray jatuh di atas pohon rimbun tanpa disadari oleh Chici. Pendaratannya tidak sempurna, tetapi setidaknya dia selamat.
"Sial. Aku benar-benar sial malam ini," gumamnya sambil memperbaiki posisi di atas dahan pohon. Ia kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengecek apa ada seseorang yang mendekat atau tidak. Lagi-lagi Ray bergumam, "Guru sialan itu. Apa yang dipikirkannya? Hanya menonton dari kejauhan."
Kalau saja Ray adalah seorang Element Caster biasa, dia pasti akan terkapar kesakitan di atas tanah. Beruntung sekali dia adalah seorang yang spesial. Ray masih bisa berjalan meski kesulitan karena kondisi tulang kakinya sedang tidak baik-baik saja.
Dalam hati Ray terus mengumpat. Ia mengutuk dirinya serta seorang pria yang menjabat sebagai wali kelasnya. Seandainya waktu itu dia menolak, pastilah Ray tak akan berakhir dalam kondisi mengenaskan. Kepalanya berdarah—mungkin bocor—dan kakinya patah.
Berkali-kali ia berada di ambang kematian, tetapi baru kali ini Ray berusaha untuk menyelamatkan diri. Masih ada yang perlu dia lakukan. Dia baru saja menemukan tujuan hidupnya. Mana mungkin Ray membiarkan dirinya tewas secepat itu.
Dia tak merasakan yang namanya sakit. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa tubuhnya gemetar dan lemas. "Monster itu ... bagaimana bisa dia diterima di akademi ... sampai dimasukkan ke kelas Z," gumam Ray. Berjalan tergopoh-gopoh, sesekali ia menoleh ke belakang.
Karena was-was akan keberadaan Chici yang sedang hilang kendali, Ray tak lagi memperhatikan jalan. Ia tersandung akar pohon yang timbul di permukaan tanah. Beruntung ada seseorang yang menangkapnya.
"Dhart!" seru Ray spontan ketika mendongak menatap penyelamatnya. Ekspresinya berubah secepat ia jatuh dari pilar tadi, dari lega menjadi kesal. "Pengawas tak becus! Bisa-bisanya hanya menonton dari kejauhan!" Ray mendorong pria di hadapan agar lepas dari pegangannya, lantas terhuyung ke belakang.
Dhart tidak begitu peduli, membiarkan salah satu anak muridnya jatuh terduduk. Pandangannya tertuju jauh ke arah Ray datang. "Tunggulah di sini. Aku sudah memanggil beberapa rekanmu untuk datang membantu." Setelah berkata demikian, Dhart menghilang dari hadapan Ray.
Pria itu muncul di tempat pilar kristal Ray tadinya berdiri kokoh. Serpihan berkilau diterpa cahaya rembulan berserakan di mana-mana. Dhart mengedarkan pandangan, tidak mendapati orang yang dicarinya. Namun, pria itu dapat merasakannya. Keberadaan seseorang ditemani entitas asing di dunia itu.
Sementara Dhart mematung di tempat, Chici yang tengah bersembunyi di balik pohon rindang sibuk menimang-nimang keputusan. Menyerang atau kabur. Akan tetapi, kabur pun dia tak akan bisa lepas dari masalah. Tubuhnya menguarkan bau darah yang begitu pekat. Darah dari tiga orang termasuk dirinya sendiri.
"Lebih baik kabur. Aku mengenalnya. Kita tak akan bisa menang melawannya."
Manik Chici kembali berubah kelam usai mendengarkan bisikan dalam kepala. Tangan berbulu dengan cakar panjangnya menorehkan luka dalam pada permukaan pohon yang menyembunyikannya.
Bunyi keriut hasil cakar Chici beradu dengan batang pohon mencapai indra pendengaran Dhart. Pria itu sontak menoleh ke sumber suara. "Kalian bersembunyi di sana rupanya." Ia membalikkan badan, pun mengayunkan kaki untuk melangkah. "Pandai berkelahi dan menyembunyikan hawa keberadaan, ya."
Tubuh Chici mendadak tersentak. Hawa keberadaan Dhart berbeda dari yang biasanya. Sejak pilar tadi runtuh, Chici sudah merasakan hal itu. Makanya dia tidak mengejar Ray dan memilih untuk bersembunyi. Bodoh sekali dirinya karena tidak memikirkan kemungkinan munculnya seseorang seperti Dhart. Sesama murid seperti Ray masih bisa dikelabui, tetapi tidak dengan orang dewasa yang jelas lebih kuat dan berpengalaman darinya.
Dhart tahu-tahu sudah berada di samping ketika Chici kembali ke kenyataan. "Menarik sekali. Awalnya kupikir hanya iblis rendahan, rupanya tingkat menengah," ujar pria itu.
Tubuh Chici seketika kaku. Dia tahu dia harus melarikan diri, tetapi tekanan dari keberadaan Dhart bukan main beratnya. Mengucapkan sepatah kata pun ragu.
Dhart tiba-tiba menepuk pundak Chici dengan senyum yang tidak biasa, membuat gadis itu terlonjak kaget. "Tenang saja. Aku tidak akan mengeluarkanmu dari kelas, apalagi akademi ini. Kami masih membutuhkan kekuatanmu."
Pegangan Dhart pada pundak gadis itu sedikit mengerat. "Sekarang tenangkan dirimu. Tentu tidak ingin dipergok rekan sekelasmu yang lain dengan wujud seperti ini, bukan?"
"Apa?" Seketika Chici menoleh, bertukar tatap dengan wali kelasnya.
Tepat ketika Dhart menarik diri menjauh, seseorang muncul dari balik semak-semak. Agak jauh, tetapi mereka berdua masih bisa melihatnya berkat penglihatan nan tajam pun cahaya rembulan.
"Tha—Thania?" Anak laki-laki itu tergagap. Sekujur tubuhnya mendadak kaku. Matanya membulat memancarkan keterkejutan yang bercampur dengan ketakutan. Netra biru itu beradu dengan netra merah milih gadis setengah serigala jauh di depannya.
"Oh, ternyata sudah terlambat." Dhart melempar pandangan pada anak laki-laki yang memergok mereka.
Bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro