Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 12: Waktunya Serius

Sudah menjadi kebiasan bagi Dhart untuk mengetuk-ngetuk permukaan meja kala berpikir. Pria itu sedang memikirkan langkah yang harus diambil selanjutnya. Sudah lama dia menunda-nunda, tetapi situasi kini menuntutnya untuk segera bertindak.

Dia baru saja menerima laporan dari dua anak muridnya. Mereka pun membawa makhluk yang diyakini berasal dari Alam Bawah. Terbuktinya keberadaan makhluk seperti itu di area akademi membuat Dhart gelisah bukan main.

Mengembuskan napas panjang, Dhart pun bangkit berdiri. Ia bergeming barang beberapa detik. Ekspresinya yang semula kusut kembali tegas. Dalam sekejap Dhart menghilang dari ruangan itu, berpindah ke hadapan sebuah pintu kayu dengan ukiran elang nan indah.

。:゚(☆)゚:。

"Apa? Pelatihan?"

Lau yang menyampaikan pesan mengangguk sambil bersedekap. "Pasti mereka mengambil langkah ini karena musuh sudah bergerak."

"Harusnya mereka mengambil langkah ini sebelum musuh bergerak. Kalau sekarang bisa dibilang sudah terlambat." Rin berkacak pinggang, tangan sebelahnya mengusap peluh di dahi.

"Kurasa mereka sudah mengambil tindakan. Membentuk kelas baru misalnya," ujar Chici, tampak kesulitan menjaga kontak mata dengan siapa pun.

Shela pun menggerutu, "Tapi kenapa baru sekarang? Kenapa tidak dari awal kita masuk akademi? Kalau semuanya dilakukan lebih cepat, kita pasti bisa menghindari hal ini."

"Mungkin karena dua tahun lalu kita masih terlalu bodoh dan kekanak-kanakan untuk diberi tanggung jawab sebesar ini." Lau mengalihkan pandangan ke samping seraya berkata, "Atau mungkin mereka menunggu seseorang."

Seketika berpasang-pasang mata terarah pada Censia. Bulu kuduk gadis itu langsung berdiri karena menjadi pusat perhatian. Dengan alis kaku dan kening berkerut ia berucap, "Kenapa kalian semua melihat ke arahku?"

"Kau ... kenapa baru masuk akademi sekarang?" Lau bersedekap, menatap Censia serius. Pukulan Erick tidak dipedulikannya. "Kedatanganmu bertepatan dengan dibentuknya Kelas Z dan kau juga termasuk dalam kelas itu. Ini bukan kebetulan semata."

Alis Censia tertekuk makin dalam. Tubuh kecilnya tegap dengan kedua tangan terkepal erat di sisi tubuh. "Alasanku termasuk hal pribadi. Asal kau tahu, aku tidak sudi mengumbar privasiku pada orang asing."

Chici dan Rin tersentak kaget; Kiki dan Shela terperangah; Erick mengembuskan napas panjang; Anna dan Lau tenang-tenang saja.

"Lagi pula, menungguku adalah keputusan yang kurang tepat. Kalau memang aku harus bergabung dengan kalian, tidak akan ada masalah kalau aku sedikit terlambat."

"Kelas Z harus dibagi menjadi beberapa tim. Kedatanganmu yang terlambat akan mengacaukan kerja sama anggota kelas yang sudah lama dilatih," ujar Lau seraya maju dua langkah mendekati Censia.

Tidak tinggal diam, Censia mendongak sedikit terus menyahut, "Itu masih lebih baik jika dibandingkan dengan situasi sekarang. Sudah dua tahun lebih kalian terkumpul di akademi ini, tapi mereka tidak memberi tahu dan mempersiapkan kalian."

Lau mendengkus terus berdecak sebal tak lama kemudian. Dia pun memalingkan wajah dengan tangan masih dalam posisi bersedekap. "Ajukan komplainmu pada Dhart."

Puas akan kemenangannya, Censia mengukir senyum miring di wajah. "Makanya, berpikirlah baik-baik sebelum mulai menggonggong."

Tanpa berkata-kata lagi Lau berderap meninggalkan rekan-rekan sekelasnya. Wajah memerah, alis tertekuk dalam, dan rahang yang mengeras. Jangan lupakan langkah yang agak disentak-sentak itu. Sungguh berbeda dari Lau yang biasanya.

Erick tidak mengejar, dia hanya menggeleng-gelengkan kepala. "Orang itu benar-benar ...." Seketika Erick menoleh pada Censia. "Hebat juga murid baru sepertimu bisa membuat Lau kehabisan kata-kata."

"Sehebat itukah dia?" Censia menaikkan salah satu alis. Senyum angkuhnya telah luntur.

Rin terkekeh. "Seingatku, terakhir kali dia terdiam begitu saat berdebat dengan Chici."

"Hei!" Spontan yang disebut namanya meninju bahu Rin.

Jason yang sejak tadi terdiam ikut tertawa pelan. Ia langsung dihadiahi pelototan dari Chici. Bukannya terintimidasi, malah muncul niat untuk menggoda. "Ada apa, Thania? Takut aku membeberkan aksi kerenmu di kelas selama dua tahun terakhir?"

Masih dengan wajah kesal yang agak menyeramkan, Chici menyentil udara. Sejurus kemudian angin berembus di depan wajah Jason, lalu terdengar bunyi benda padat beradu dengan dahinya. Jason nyaris jatuh terbaring dari posisi duduk.

"Entah kenapa aku merasa jijik dan kesal saat kau menyebut nama depanku."

Anna yang setia menyimak saat itu juga memasang senyum jenaka. "Kalian terlihat seperti pasangan serasi." Dia pun beralih mengedarkan pandangan pada teman-temannya yang lain. "Kalian setuju, kan?"

Sebagian besar bersamaan menjawab, "Setuju!"

Mendengar itu Chici sama sekali tidak tersipu. Justru adu tatap nan menegangkan tengah terjadi antara dirinya dan Anna. Tentu dengan ekspresi yang jauh berbeda satu sama lain.

Muak dengan kelakuan Anna, Chici bangkit berdiri terus berderap pergi, melalui jalan yang sama dengan yang Lau lewati. Gadis itu tidak mengindahkan cegatan ataupun teguran teman-temannya.

。:゚(☆)゚:。

"Saya yakin seratus persen dengan keputusan ini, Bu. Terima kasih sebelumnya. Saya permisi dulu." Tak lama setelah kata-kata tersebut dilontarkan, terdengar suara pintu dibuka dan langsung ditutup kembali.

Telinga serigala Anna bergoyang pelan. Gadis itu berdiri tepat di samping Chici yang baru saja keluar dari ruangan penjaga asrama, bersandar pada permukaan dinding nan dingin. Dengan seringai Anna berbisik, "Ingin melarikan diri?"

Sontak Chici melompat menjauh dengan posisi siaga juga mata membelalak. "Kau ...." Kesiagaan Chici tidak menurun sedikit pun meski tahu itu adalah teman sekamarnya. "Apa yang kaulakukan di sini dengan penampilan seperti itu?" Ia bertanya sinis.

Ekor serigala Anna berkibas agak cepat sementara gadis itu mengambil langkah demi langkah mendekati lawan bicaranya. "Kurasa sekarang sudah waktunya menyelesaikan masalah kita." Anna kemudian menampakkan taring serta cakar. "Aku tidak ingin repot-repot belajar di sini. Apalagi menjadi bagian dari kelas merepotkan itu."

Tidak segan-segan Chici mendorong teman sekamarnya itu dengan keras. Anna hampir kehilangan keseimbangan. "Jangan ganggu aku," ketus Chici.

Anna tertawa pelan, setia dengan tatapan sinis. "Mau bagaimana lagi? Aku harus membunuhmu supaya bisa pulang." Dia mengangkat tangan dan mengarahkannya ke depan. "Serahkan nyawamu baik-baik atau lawan aku sekarang juga."

"Thania! Bisakah kamu dan temanmu mencari tempat lain untuk bercakap-cakap?" tegur ibu penjaga asrama dari balik pintu.

"I-iya! Maaf, Bu ...." Dalam sekejap tatapan Chici berubah nyalang, kembali terarah pada Anna.

Gadis yang dipelototi masih saja menyunggingkan senyum miring. Dia pun memberi isyarat agar Chici segera mengikutinya.

Chici mengikuti. Agak jauh dari ruangan penjaga asrama, ia berkata, "Aku tidak akan melawanmu, Anna. Sudah dua tahun lebih ... tidakkah kau pernah mempertimbangkan kami sebagai temanmu?"

Melirik ke belakang barang satu detik, Anna kembali fokus ke depan. "Kau adalah targetku dan mereka adalah kenalan yang kutemui dalam perjalanan mengejar targetku. Sudah seperti itu dan akan terus seperti itu."

Mata Chici menyipit. "Lalu, kenapa aku masih hidup? Selama ini kau punya banyak kesempatan-"

"Argh!" Tiba-tiba Anna membalikkan badan, menunjuk Chici geram. "Aku tidak datang menemuimu untuk basa-basi. Aku di sini untuk membunuhmu! Aku sudah muak tinggal di tempat ini selama dua tahun lebih!"

"Tapi kenapa tidak dari dulu?!" hardik Chici dengan mata memelotot. "Saat aku belum mengenalmu! Saat aku merasa terpuruk! Saat aku tertidur pulas! Kau ada di sana! Kenapa tidak kaulakukan?!" Dia berseru seraya melangkah mendekati pun menunjuk-nunjuk Anna.

Mereka saling tatap dalam diam, diselimuti kegelapan jauh di belakang gedung asrama. Raut kedua gadis itu teramat kusut. Chici kelihatan sangat kesal, sedangkan raut wajah Anna sukar dibaca. Posisi mereka sangat dekat, hampir tidak ada jarak di antara.

Alis Anna mendadak tertekuk dalam. Di saat yang sama tangannya bergerak tanpa diduga mencakar wajah lawan bicaranya.

Chici terbeliak sejenak, baru melompat mundur ketika Anna melancarkan serangan kedua. Setelah merasa jarak antara mereka sudah cukup jauh dan aman, Chici mengusap pipinya yang baru saja dicakar. Hampir sampai ke mata. Telapak tangannya kini berlumuran darah.

"Loh? Kupikir kau sudah siap mati setelah mengoceh barusan."

Tidak ada sahutan. Chici membiarkan telinga serta ekor serigala putihnya menampakkan diri. Kilau di matanya pun lenyap.

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro