Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 11: Pengganggu dari Alam Bawah

"Aku lelaaaah!" Kiki mendudukkan dirinya di atas lantai yang belum selesai dipel. Digandengnya tongkat kain pel yang masih berdiri tegak.

Tepat di depan wajah Kiki, Shela menyodorkan sebuah ember kosong. "Daripada merengek tidak jelas di sini, akan lebih membantu kalau kau ambilkan air di sumur."

Seketika Kiki mencebik. "Kenapa kita harus ambil air di sumur kalau-"

Shela mengayunkan ember kosong tersebut.

Tuk!

"Awawaw! Sakit, Shela!" Rasa perih menjalar di wajahnya yang sedikit memerah. "Bagaimana kalau kawatnya melukai wajahku ini?!"

"Disuruh ambil air malah banyak omong!" Dijatuhkannya ember tersebut ke dalam pangkuan Kiki. "Cepat, sana! Supaya pekerjaan kita hari ini cepat selesai."

Dengan tidak senang hati Kiki susah payah bangkit berdiri dan berjalan. Cukup jauh jarak yang harus ia tempuh dengan jalan kaki menuju sumur yang dimaksud Shela. Semua itu hanya demi seember air.

Sebenarnya Kiki bisa saja mengisi ember itu sampai penuh dengan kekuatan elemennya. Dia sudah bisa menciptakan air sendiri. Hanya saja, penciptaan airnya belum stabil. Bisa-bisa asrama banjir dibuatnya. Itu yang tadi dikhawatirkan oleh Shela.

Namun meski tahu risikonya, Kiki masih ingin mencoba. Selain karena malas berjalan jauh, dia juga ingin mengembangkan diri.

Di antara pepohonan, masih jauh dari sumur yang dituju, Kiki berhenti dan memperhatikan sekeliling dengan awas. Pun diletakkannya ember titipan Shela di atas rumput. Kiki memasang kuda-kuda. Tangan kanannya diarahkan ke mulut ember dengan telapak terbuka, sementara tangan satunya memegangi lengan.

Kiki mengatur napas sebentar kala mencoba berkonsentrasi. Air mukanya berubah dari santai menjadi tegang. Cairan bening memercik keluar dari telapak tangannya, diikuti air dalam volume besar, menyembur memenuhi ember.

Gawat.

Seketika mata Kiki membelalak. Kuda-kudanya hancur. Anak laki-laki itu panik, mengguncang tangannya sendiri. Tumpuan kakinya berganti-ganti karena dirinya dikuasai kepanikan untuk menghentikan semburan air dari telapak tangan.

"ASTAGA! KENAPA INI TIDAK MAU BERHENTI?"

Keadaan menjadi kian buruk. Kiki tak lagi bisa mengendalikan tangannya. Momentum dari semburan air tersebut terlalu kuat untuk dilawan. Tangannya itu bergerak ke sana kemari, membuat area sekitar, bahkan dirinya sendiri menjadi basah.

Di tengah kekacauan itu, Jason muncul dari balik semak belukar, langsung disambut oleh semburan air. Tidak dapat berseru karena semburan air itu menyasar wajahnya. Mulut Jason seketika penuh dengan air. Dia sempat menelan beberapa teguk tanpa disengaja.

"Eh, maaf!" Kiki langsung mengalihkan telapaknya ke lain arah.

Jason segera memuntahkan air dalam mulut, juga sedikit dari yang sempat ditelannya. Dia pun meloncat seraya menciptakan pusaran angin di bawah kaki, kemudian mengangkat diri ke udara. Cukup tinggi untuk menghindari semburan air dari Kiki.

"Hei, kau!" Jason berjongkok agar tidak hilang keseimbangan. "Tenangkan dirimu atau area hutan ini akan kebanjiran!"

Alih-alih berusaha tenang, Kiki justru berseru, "Bagaimana bisa aku tenang dalam situasi seperti ini!"

Jason refleks berdecak sebal. "Dengarkan aku!" Dia terbang mendekati Kiki yang masih dikuasai kepanikan. "Bayangkan tanganmu itu keran air yang sedang dibuka. Lalu, bayangkan kau menutupnya supaya air itu berhenti."

Walau membutuhkan waktu cukup lama, Kiki berhasil menenangkan diri juga berkonsentrasi. Semburan air dari telapak tangannya makin pelan, seperti keran air yang perlahan ditutup. Akhirnya telapak tangan Kiki tinggal menetes-neteskan air dan sepenuhnya berhenti.

Kiki terduduk di atas rerumputan basah, memandangi ember yang kini sudah penuh dengan air. Tangannya pun bergerak mencengkeram rumput-rumput panjang.

Melihat situasi sudah terkendali, Jason turun dan melenyapkan pusaran anginnya. Dia berdiri di samping Kiki, menatap anak laki-laki itu dengan sebelah tangan di pinggang. Jason sudah mengerti akan situasi di situ hanya dengan mengamati sekeliling.

"Hei," panggil Jason, "kabur, yuk. Membersihkan asrama itu membosankan, bukan?"

Tanpa mendongak ataupun melirik, Kiki menyahut, "Nanti kita dimarahi."

Seketika Jason tertawa. "Tidak apa-apa. Penjaga asrama sudah melihat kita bersih-bersih tadi. Paling hanya Lau yang marah."

Kiki akhirnya melirik dengan alis tertekuk. "Memangnya kau tidak takut dimarahi Lau?"

"Untuk apa takut?" Jason menyunggingkan senyum penuh jenaka. Dia mengangkat telujuk terus memutar-mutarnya. Pusaran angin mengelilingi masing-masing dari mereka, mengeringkan pakaian serta semua yang basah seperti rambut dan lain-lain, kecuali area sekitar.

Kedua pusaran angin tersebut menghilang begitu Jason dan Kiki tidak lagi basah kuyub. "Selesai. Kalau basah-basahan nanti bisa sakit."

"Terima kasih," ucap Kiki yang buru-buru memalingkan wajah. Orang lain harus membereskan sebagian akibat dari perbuatannya. Itu membuat Kiki merasa tidak enak hati.

Tanpa bicara panjang lagi, mereka berdua masuk lebih dalam ke hutan, meninggalkan ember penuh air di tengah rerumputan basah. Berkali-kali Jason menoleh ke belakang sementara berjalan. Kepalanya pun tak bisa diam, terus menoleh ke kiri dan ke kanan, juga ke atas.

Kiki gelisah dibuatnya. Ingin bertanya ada apa juga enggan.

"Ngomong-ngomong, aku penasaran." Jason berucap dengan pandangan lurus ke depan. Kedua tangannya dimasukkan dalam saku celana. "Waktu itu kalian sedang apa sampai ke kantin?"

Kiki yang semula tenang kembali panik. Namun, panik ini hanya di dalam. Dia berusaha terlihat tenang agar tidak mencurigakan. Mana mungkin dia mengaku waktu itu mereka hendak pergi ke markas rahasia.

"Kami cuma jalan-jalan malam."

Melirik sebentar sambil menggumamkan sesuatu, Jason pun mengalihkan pembicaraan. "Kemarin Chici melihat sesuatu, bukan? Saat kita hendak kembali ke asrama."

"I-iya. Memangnya ada apa?" Tubuh Kiki seketika kaku dan bulu kuduknya berdiri.

Mendadak Jason memutar badan, dengan cepat melakukan gerakan melibas. Tampak samar, libasan angin yang kemudian mengacaukan semak-semak di depan pohon terbesar di situ. Makhluk hitam kecil menyembul keluar terus melompat ke atas pohon.

Jason berdecak sebal. "Meleset." Dia mengarahkan tangan ke pohon tersebut, lalu meluncurkan peluru angin yang membuat tubuhnya terhempas mundur. Peluru anginnya tidak bersuara, hanya pohon sasaran yang membuat bunyi gemerisik.

Makhluk hitam tadi mengambil wujud tupai terbang, lantas pindah ke pohon lain. Mata tupai terbang itu berjumlah empat dan berwarna merah sepenuhnya.

"M-makhluk apa itu?!" Kiki menjerit histeris sambil menunjuk-nunjuk pohon tempat tupai terbang tersebut mendarat.

"Sepertinya itu makhluk dari alam bawah. Dan dia menjelma menjadi tupai terbang." Jason memasang kuda-kuda, kaki kanan ditarik ke belakang. Dia melakukan gerakan melibas yang kemudian mengantarkan libasan angin ke pohon kedua yang menjadi persembunyian makhluk itu.

Dedaunan rontok pun ranting berjatuhan. Makhluk tesebut melompat ke arah Jason seraya berubah wujud menjadi serigala bermata empat.

Cepat-cepat Jason meloncat, membuat pusaran angin, kemudian melontarkan diri ke udara. Hanya mengudara sebentar, dia terpaksa menjatuhkan diri karena serigala aneh itu melakukan manuver terus memelesat untuk menerkamnya.

Jatuh ke bawah, Jason tidak sempat membuat pusaran angin guna menangkap dirinya. Dia terjatuh dengan punggung lebih dahulu menghantam tanah. Rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuh membuatnya terdiam.

Makhluk hitam itu tidak melewatkan kesempatan emas. Ia segera menimpa Jason, kemudian membuka mulut lebar-lebar.

"Hei!" Dengan adrenalin yang memuncak, Kiki melancarkan serangan pada serigala hitam tersebut. Semburan air darinya berhasil membuat makhluk itu meraung dan kembali ke wujud aslinya, gumpalan hitam dengan empat mata.

Gumpalan hitam itu tampak seperti puding lembek dalam kotak yang diguncang-guncang. Ia kesulitan mempertahankan satu bentuk dalam keadaan basah kuyub.

Berpaling pada Kiki, Jason bertanya, "Kau bisa membuat gelembung penjara kecil? Kita tidak bisa membiarkan makhluk ini begitu saja." Sebenarnya Jason tidak banyak berharap, mengingat Kiki kesulitan mengendalikan kekuatan sendiri beberapa saat sebelumnya.

Benak Kiki berkecamuk, pun dia menggigit bibir bawahnya. Dikuasai keraguan akan kekuatannya, dia menatap tangan yang telah menyelamatkan seorang teman barusan.

"Coba dulu," ucap Jason, membuat Kiki mengangkat kepala. "Tidak apa-apa kalau gagal."

Kiki tersenyum kecut. Ia mulai berkonsentrasi tanpa berkata-kata lagi. Telapak tangan yang sama diarahkan pada gumpalan hitam di hadapan. Gelembung kecil muncul, perlahan membesar seraya melayang ke arah gumpalan tersebut. Baru mengenai target barang sebentar, gelembung tersebut pecah, membuat gumpalan itu basah juga menggeliat makin liar.

"Ah ... sudah kuduga," gumam Kiki sambil menunduk. Mengangkat kepalanya sedikit, ia menoleh pada Jason. "Maaf, aku tidak bisa."

Mengembuskan napas kasar, Jason beranjak memungut gumpalan hitam tersebut. "Tidak apa-apa," katanya sambil berjalan menuju arah mereka datang tadi.

Kiki terdiam mematung dengan kepala tertunduk, masih dalam posisi yang sama. Ketika Jason sudah agak jauh, dia mengangkat terus memandangi tangannya dengan ekspresi kusut. Menggigit bibir bawah, juga alisnya tertekuk. Matanya tampak berkaca-kaca.

"Hei-siapa namamu? Kiki, bukan?" Jason menghentikan langkahnya, kemudian berbalik. "Jangan berdiam diri saja di sana. Kita harus segera kembali dan melapor."

Tersentak sadar, Kiki telah ditarik dari lamunannya. "I-iya!" Ia berseru, lantas bergegas menyusul Jason yang sudah kembali berjalan.

Hening yang canggung di antara mereka. Indra pendengaran hanya menangkap suara alas kaki bergesekan dengan rerumputan juga suara pepohonan yang diterpa angin sepoi-sepoi.

Ketika sudah agak dekat dengan gedung asrama, Jason berkata, "Terima kasih."

Langkah Kiki sempat tersendat sebentar, kemudian dilanjutkannya sambil memasang tampang heran. "Terima kasih untuk apa?"

"Kau sudah menyelamatkan bokongku barusan. Mungkin kepalaku sudah dilahap kalau kau tidak segera bertindak."

Terdiam sejenak, Kiki lalu membalas, "Oh ... sama-sama." Dia kembali termenung setelahnya.

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro