Bab 10: Berbagi Informasi
"Ada jejak perkelahian di kantin akademi." Dhart mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuk. Senyum masih saja tersungging. "Kemarin juga setelah tunjuk kekuatan, aku dapat informasi."
Jeda cukup lama sebelum Dhart melanjutkan kalimat. Dia mengamati reaksi anak murid di hadapan satu per satu. "Beberapa anak muridku menghilang. Mereka tidak ada di kamar asrama saat jam pemeriksaan."
Chici, Kiki, dan Rin bersamaan memalingkan wajah. Ketiganya tampak gelisah. Kiki sengaja menggetarkan satu kaki; Chici berusaha keras mengalihkan perhatian dari Dhart; Rin menoleh ke samping, berlagak tidak ada siapa-siapa di hadapan.
Senyum lebar Dhart lambat laun berubah menjadi senyum tipis. "Untuk sekarang, poin kedua dikesampingkan dulu. Fokus kita adalah apa yang terjadi di kantin akademi malam itu." Dhart kembali mengetuk-ngetuk meja. "Kalian kupanggil karena menurut informasi dari Lau, kalian ini terlibat langsung dengan kejadian di kantin."
Jason menggeliat, tampak tidak nyaman duduk terimpit di antara Kiki dan Lau. "Aku tidak tahu apa-apa soal kejadian itu. Sepertinya aku dan Lau datang saat semua sudah selesai."
Dhart mengangguk, lantas mengalihkan pandangannya pada Rin. Sengaja tidak sengaja mereka melakukan kontak mata.
Seketika kegelisahan Rin sirna, digantikan oleh perasaan terintimidasi kala mengingat kejadian malam itu. Terdiam sejenak, barulah dia berucap, "Saat aku datang, Chici dan Kiki sudah pingsan. Dan ... makhluk itu ada di sana. Wujudnya bukan manusia seperti kita. Bukan juga sebagian hewan atau monster."
Satu alis Dhart terangkat, tanda bahwa dia tertarik.
"Dia memakai tujung, jadi wajahnya tidak tampak. Yang membuatku yakin wujudnya bukan manusia adalah tangannya." Rin menjeda sejenak, berusaha mengingat apa yang dilihatnya waktu itu. "Tiga jari yang kelihatan rapuh. Warnanya hitam. Kukunya tajam dan panjang sekali."
Menyadari Rin mulai tenggelam dalam pikiran, Dhart menepuk-nepuk meja. "Baiklah, sekarang aku ingin mendengar dari Thania dan Kiki."
Alih-alih berbicara, Chici dan Kiki justru memelototi satu sama lain. Mereka seperti sedang berkomunikasi melalui telepati. Nyatanya tidak demikian.
"Park Shin Ki."
Kiki terlonjak kaget, membuat kedua anak laki-laki di sampingnya terkejut. Tertawa canggung, dia berusaha menghindari kontak mata dengan Dhart. "Aku ... tidak tahu banyak. Chici dan aku hanya lewat, lalu kami melihat seseorang di kantin
"Kami melihat penyusup itu sedang melakukan semacam ... ritual? Aku tidak tahu pasti apa, tapi yang dilakukannya itu melibatkan lingkaran sihir."
Mata Dhart langsung melebar. "Lingkaran sihir?"
Kiki mengangguk, kemudian melanjutkan, "Awalnya kami hanya mengawasi, berharap ada orang dewasa atau kakak tingkat yang datang. Tapi sudah lama menunggu, tidak ada siapa-siapa. Kamera CCTV di kantin juga sudah dirusak.
"Jadi Chici—kami nekat ... berusaha menggagalkan apa pun yang ingin penyusup itu lakukan." Kepala Kiki perlahan menunduk. "Maaf, hanya itu yang kutahu karena aku pingsan setelah melancarkan serangan tidak berguna beberapa kali."
Dhart merasa ada sesuatu yang mengusik anak muridnya satu itu. Dia pun bertanya, "Apa maksudmu tidak berguna?"
"Serangan elemen tidak mempan pada makhluk itu," sahut Chici. Kedua tangannya terkepal erat di atas pangkuan. "Se—seakan-akan serangan elemen langsung dinetralkan begitu mengenai tubuhnya."
"Begitu ...." Dhart merenung sejenak. "Tapi sepertinya kamu terus memberi perlawanan sampai penuh luka seperti itu."
Chici tersentak, kemudian mengamati bekas-bekas lukanya sebentar. Dia pun mengangguk pelan. "Aku sudah mencoba melakukan serangan fisik, tapi makhluk itu juga kebal. Dia ... tidak memberi respons apa-apa. Hanya diam, lalu balas menyerang."
Mengalihkan pandangan ke sana kemari, Chici malah bertemu pandang dengan Jason. Mereka saling tatap sebentar, tidak lebih dari lima detik.
Dhart kembali merenung dengan mata terpejam. Lagi-lagi telunjuknya sibuk mengetuk-ngetuk permukaan meja . "Makhluk serbahitam dengan tiga jari ... kebal serangan elemen dan serangan fisik." Keningnya perlahan mengerut. "Bisa menggunakan lingkaran sihir juga ...."
Sementara Dhart menyelami pikirian, Jason dan Lau saling bisik. Lainnya mau tak mau menguping karena duduk berdekatan.
"Pakai lingkaran sihir, kedengarannya seperti penyihir summoner, bukan? Penyihir yang tinggal di Zoferi," bisik Jason memulai percakapan.
Tanggapan dari Lau merupakan gelengan. "Tidak mungkin. Summoner tidak kebal serangan elemen dan serangan fisik. Malahan, mereka rentan terhadap serangan karena kekuatan mereka dipusatkan untuk memanggil makhluk-makhluk dari dunia bawah atau dari mana saja."
Merasa harus menambahkan, Chici berbisik, "Bukannya wujud penyusup itu seperti makhluk dari dunia bawah? Jubah hitam bertudung, wajah yang tidak tampak, tangan hitam dengan tiga jari dan kuku panjang juga tajam. Terdengar seperti suruhan iblis bagiku."
Dhart tersentak. Telinganya masih bisa menangkap suara-suara di sekeliling meski dia sedang menyelam dalam pikiran. "Suruhan iblis," gumamnya, mengulangi sepenggal ucapan Chici.
Gumaman yang tidak jelas di telinga itu berhasil menyita atensi lima anak muird yang tadinya asyik berbisik-bisik. Mereka pun terlonjak kaget karena Dhart tiba-tiba berdiri.
"Aku harus segera melaporkan hal ini. Kalian kembalilah ke asrama dan jangan pernah keluar jika tidak mendapat panggilan." Setelah berkata demikian, dia menghilang dari pandangan dalam sekejap mata.
。:゚(☆)゚:。
Sesuai perintah, kelima anak murid Dhart tersebut kembali ke asrama. Mereka berjalan berbarengan tanpa ada pembahasan yang berarti.
Satu orang yang terus mengoceh, yaitu Jason. "Sayang sekali aku tidak ada di situ untuk melihatnya secara langsung," celetuknya dengan kedua tangan terlipat di belakang kepala.
Mengabaikan celetukan Jason, ada Kiki yang kembali histeris, mengingat hukuman yang tengah menanti di asrama. "Aku tidak mau bersih-bersih asrama tiap hariiiiiiiiiii! Tidak mau, tidak mau! Pokoknya tidak mau!"
"Kalau aku tidak masalah, asal hukumannya dijalani bersama." Bukan Jason kalau tidak mencari kesempatan dalam kesempitan. Tangannya dengan santai terulur ke kanan, merangkul bahu gadis kecil di sampingnya.
Anak laki-laki itu langsung diberi hadiah berupa pelototan juga sikutan yang menyakitkan dari Chici, gadis yang sempat dirangkulnya sesaat. "Idih!" cibirnya dengan hidung mengerut.
Rin dan Kiki serentak bersiul, lantas berseru, "Cieee, calon pasangan serasi!"
Lau geleng-geleng kepala; Jason senyam-senyum kegirangan; Chici seketika menegang, memandang sekitar dengan awas.
Dua sahabatnya segera menyadari hal tersebut. Mereka paham betul, ada sesuatu yang tidak beres dan memutuskan untuk berhenti menggoda. Langkah mereka pun terhenti. Jason dan Lau juga menghentikan langkah mereka dan menoleh.
"Ada apa, Chi?"
Terdiam sebentar dengan pandangan tertuju pada pepohonan di kejauhan, Chici pun menggeleng-gelengkan kepala. "Bukan apa-apa. Sepertinya aku hanya salah lihat."
"Lihat apa? Lihat apa?" Kiki mendesak dilanda kecemasan. Bayang-bayang kejadian malam itu masih menghantuinya.
Lagi-lagi Chici menggelengkan kepala. "Sudah kubilang, aku salah lihat. Mungkin hanya makhluk sihir yang tersesat di area akademi."
Lau memutar badan menghadapnya dengan satu alis terangkat. "Mana bisa makhluk sihir tersesat sampai ke area akademi."
Kiki tertawa canggung. Matanya sibuk mengamati sekitar. "Ada murid yang menyeludupkan peliharaan? Semoga."
"Sudahlah, apa pun itu bukan urusan kita." Lau mengibas-ngibaskan tangan, berbalik terus kembali melangkah. "Dhart menyuruh kita segera kembali ke asrama. Jangan jadi pembuat onar yang merepotkan."
"Kau menyuruh pembuat onar alami untuk tidak berbuat onar?" sahut Jason diikuti tawa geli.
"Setidaknya aku mencoba."
Bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro