Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 09: Hal Buruk Menanti

Hawa mencekam mengudara di ruang tengah markas rahasia StarDiamond, sekumpulan murid akademi yang menganggap mereka adalah sebuah geng. Masing-masing anggota geng itu terduduk di sofa dengan tampang frustrasi yang berbeda-beda.

Chici bertopang pada pinggiran sofa. Tangannya yang satu lagi tampak menjambak rambut sendiri. "Kita semua dalam masalah. Mereka pasti sudah sadar."

"Semalaman kita tertidur di markas, bagaimana mungkin mereka tidak sadar?!" jerit Kiki yang paling histeris di antara mereka berenam.

Rin menghela napas panjang terus mengembuskannya di depan telapak tangan yang dipertemukan. Alisnya tertekuk begitu dalam. Dia sadar bahwa dirinya adalah penyebab mereka terjebak dalam situasi tersebut.

"Bagaimana kalau ... kita ceritakan yang sebenarnya?" Censia meremas rok, mengamati tanggapan teman-temannya.

Tatapan skeptis dilontarkan oleh Shela. "Penjaga asrama tidak akan membiarkan kita lolos dengan alasan macam itu."

Dengan siku bertumpu pada lutut, Kiki mencengkeram kedua sisi kepalanya. "Tamat sudah. Tidak ada camilan selama satu bulan."

"Bersih-bersih asrama tiap hari selama satu bulan," tambah Anna dengan pose serupa.

Embusan napas Rin terdengar makin kasar. Sontak dia bangkit dari duduknya. "Hukuman kali ini tidak bisa dihindari lagi. Kita harus menghadapinya."

Chici yang duduk di samping Rin melirik sinis. "Kautahu ini akan menjadi hukuman keberapa untuk kita berlima?"

Aura karisma Rin seketika lenyap ditiup angin. Ekspresinya terlihat seperti orang yang sedang menahan diri untuk buang air besar. Perlahan dia kembali duduk, memasang ekspresi masam.

Giliran Censia mengembuskan napas gusar dengan kening berkerut. Secara bergantian dia menatap Chici dan Rin. "Sudah berapa kali?"

Hening. Lima orang pembuat masalah itu langsung memalingkan wajah.

Censia menyilangkan tangan di depan dada, kakinya mengetuk-ngetuk lantai dengan tempo cepat. Pandangan diedarkannya ke sekeliling, menuntut jawaban.

Di samping, tampak Anna sedang bergumam sambil berhitung menggunakan bantuan jemari. Hitungannya terhenti pada jari tangan yang kesepuluh. Anna menoleh sambil cengar-cengir. "Sepertinya ... sudah lebih dari sepuluh kali."

Sontak Censia menepuk dahi yang masih mengerut. Matanya terpejam erat dengan pipi berkedut-kedut. Gadis itu mulai mempertanyakan alasan dirinya berteman dengan sekumpulan pembuat masalah.

Dengan senyum getir, Rin bangkit berdiri seraya berkacak pinggang. "Lebih baik kita segera keluar, bukan? Lebih lama kita menghilang, lebih panjang pula masa hukuman kita nanti."

Pada akhirnya, geng itu keluar dari markas dengan berat hati. Wajah-wajah mereka tampak sangat tertekan. Kiki dan Shela tidak lagi histeris, barangkali hanya menjerit-jerit di dalam hati.

Begitu keluar dari area markas, beberapa dari mereka menyempatkan diri untuk mengamati gedung akademi. Sepi sekali, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Akademi masih diliburkan karena teror yang pelakunya belum tertangkap.

Ketika hendak berbelok ke jalan setapak menuju asrama, seseorang jauh di belakang mereka berseru, "OI!"

Tubuh mereka kaku seketika, pun terdiam bak patung. Perlahan mereka menoleh ke belakang, mendapati wakil ketua kelas mereka menatap garang.

Lau, murid yang diberi kepercayaan sebagai wakil ketua kelas berdiri dengan kaki terbuka selebar bahu. Dia memanggil Rin dan kawan-kawan hanya dengan gestur tangan.

Mau tak mau enam orang itu berbalik menghampiri. Dari tatapan garang Lau saja, mereka sudah tahu. Ada hal buruk yang menanti.

"Kalian diminta menghadap Dhart di ruangannya." Lau mengarahkan jempol ke belakang. Ekspresinya sedikit lebih santai.

Geraman kesal samar-samar terdengar. Lau ikut kesal mendengarnya. Dia pun berkata, "Aku tidak mau repot-repot menghadap, tetapi aku harus. Kalian juga begitu."

Kali ini geraman yang mengudara makin keras. "Baiklah, baiklah-"

"Siapa bilang kalian semua yang dipanggil menghadap?" potong Lau. Ekspresinya datar seperti biasa.

Rahang Anna mengeras. "Hah?" geramnya dengan tatapan sinis.

"Yang dipanggil hanya mereka bertiga," ujar Lau sambil bergantian menunjuk Chici, Kiki, dan Rin. "Sisanya kembali ke asrama. Cepat."

Pada akhirnya setelah saling bertukar pandang, mereka berpisah di situ. Masing-masing pergi dengan jantung berdebar-debar, membayangkan situasi macam apa yang menanti.

Sementara berjalan, sesekali Rin melirik ke belakang. Sadar Lau terus mengekor seperti pengawal membuatnya risi. "Kami tidak akan melarikan diri."

"Kau tuli? Aku juga dipanggil menghadap." Lau berdecak sebal. "Blasteran manusia memang tolol sepertimu atau apa?"

Tinggal selangkah bagi Rin untuk menghajar Lau dengan tinju api. Untung saja Chici dan Kiki sigap menahannya.

Mereka berempat terhenti di tengah koridor nan lenggang. Rin dan Lau saling melontarkan tatapan sinis dalam diam untuk beberapa saat.

"Sudahlah, mulutnya memang begitu," ucap Kiki lirih seraya melepaskan pegangan bersamaan dengan Chici.

Berbalik dan kembali melangkah, Rin berdecak, "Aku ingin menyumpal mulutnya dengan sambal paling pedas yang pernah ada."

Decakan itu menimbulkan tanda tanya di atas kepala Lau. "Sambal itu apa?" Ia bertanya-tanya dalam hati.

Mereka berempat berjalan menyusuri koridor nan panjang menuju gedung paling dekat dengan gedung utama di arah selatan. Sesampainya di gedung tersebut, mereka masih harus naik ke lantai tiga dan pergi ke ruangan yang terletak paling jauh dari tangga.

"Aku masih tidak habis pikir ... kenapa dia memilih ruangan di sini?" Kiki mengeluh, sesekali menghela dan mengembuskan napas berat. "Huuh ... dia menolak ditempatkan di gedung utama. Benar-benar aneh."

Lau serta dua gadis di hadapannya turut mengembuskan napas kasar.

Begitu tiba di hadapan pintu ruangan Dhart, Lau beranjak ke depan untuk membuka pintu. Baru saja meraih kenop, pintunya mendadak terbuka. Kepala Jason menyembul dari dalam, menubruk dada Lau.

Bisa dikata, itu adalah sundulan telak.

"Ouch ...." Kiki meringis seakan-akan dirinya dapat merasakan rasa sakit dari tubrukan tersebut.

Sejurus kemudian, Lau melayangkan pukulan ke kepala Jason. "Sakit, Bego!"

Kekehan terdengar dari dalam ruangan. Jelas sekali orang itu adalah Dhart. Tawa kerasnya sangat khas sampai terngiang-ngiang dalam kepala murid-murid kelas Z.

Ruangan Dhart tidak memberi kesan ruangan seorang guru. Kesannya lebih seperti kamar pemuda nan suram dan misterius. Isinya serba abu-abu, penuh dengan kotak yang beragam bentuk maupun ukurannya. Hal yang menjadi penanda itu merupakan ruangan seorang guru adalah tumpukan kertas berantakan di mana-mana.

Dhart mempersilakan beberapa murid yang dipanggilnya itu duduk di sofa besar nan empuk. Bentuknya mirip kue mochi raksasa.

Hanya dua sofa yang tersedia. Tiga orang yang merasa dirinya laki-laki harus duduk berimpitan, sedangkan Chici dan Rin duduk dengan nyaman di samping.

"Baiklah, kita langsung ke intinya." Dhart menautkan jemari dan meletakkannya di atas meja. "Aku ingin kalian menceritakan apa yang terjadi pada malam sebelum tunjuk kekuatan kelas Z diadakan," ucapnya dengan senyum tersungging.

Sontak bulu kuduk Chici dan Kiki berdiri, pun tubuh Rin menegang. Ada yang berbeda dari wali kelas mereka itu. Auranya tidak seperti biasa.

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro