Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 08: Permen Bunga

"Tunggu, White Gem? Kita berada di dekat kota itu?" tanya Rin di perjalanan kembali ke rumah pohon. Otaknya sempat gangguan karena tindakan James yang tak terduga. Sepasang kembar itu memang sesuatu.

James dan Jimmy mengangguk berbarengan.

"Malam ini mau ke sana?" tanya James. Dia bertingkah seolah yang di tepi sungai tadi tidak pernah terjadi.

"Kalau tidak salah, hari ini adalah ulang tahun kota yang
ke-20. Pasti banyak jajanan!" Jimmy berseru riang.

Seketika napas Rin tercekat, begitu juga langkahnya. Sepasang kembar yang sibuk berdebat pasal uang tidak menyadari itu.

"Bukannya ... White Gem sudah—" Rin buru-buru menutup mulut dengan punggung tangan. Dia tidak boleh salah bicara.

Setahu Rin, kota yang bernama White Gem sudah lama hancur. Kehancuran kota itu disebabkan oleh perang antara Negeri Api dan Negeri Angin yang memperebutkan wilayah. Meski beberapa kota hancur, perang itu berhasil dimenangkan oleh Negeri Api.

"Sudah apa? Kau salah menghitung umur kota White Gem?" James menerka.

Jimmy menoleh ke belakang, manggut-manggut. "Ya, pasti begitu."

Mereka lanjut berjalan, kecuali Rin yang masih ragu untuk melangkah. Dia berpindah terlalu jauh dari yang dia inginkan. Rin juga tidak tahu apa bayaran dari berpindah terlalu jauh ke masa lalu.

Gadis itu mengembuskan napas berat. Perlahan ia mengekori sepasang kembar yang memimpin jalan.

"Oh, ya. Kau baru datang tadi pagi, bukan?" Jimmy berjalan sambil menoleh ke belakang. Didapatinya Rin yang terlihat sedang berpikir keras sambil berjalan. "Hei," panggil Jimmy.

Tidak ada respon dari Rin. Jimmy pun menjentikkan jari tepat di depan wajah gadis itu. "Halo, jangan melamun sambil jalan."

Rin mengerjap-ngerjap, lantas menatap Jimmy bingung.

"Karena kau baru datang, kurasa kau harus mencoba permen itu," Jimmy kembali menghadap depan. Buru-buru ia menghapus air liur yang menetes sebelum Rin melihatnya.

Di samping, James menatap kembarnya sinis. "Maksudmu permen bunga yang hanya dijual saat ulang tahun kota? Itu mahal, kau tahu." James tidak perlu menunggu Jimmy menjawab karena jawaban sudah tersirat di wajah anak itu.

Rin menatap James lekat seolah-olah gadis itu berkata, "Aku ingin permen itu. Belikan satu untukku."

Setelah gumaman yang cukup panjang, James berkata, "Kurasa kita punya cukup uang untuk satu permen bunga."

Dalam hati Rin bersorak gembira. Ekspresinya berubah menjadi senang. Sudah lama sekali sejak dia menyicip rasanya dimanjakan.

"Eeh ... bagaimana denganku? Aku juga mau!" seru Jimmy dengan wajah cemberut khas seorang adik.

"Tidak," jawab James cepat, "tahun lalu kau bisa menahan diri. Kenapa tahun ini tidak?"

Tampak Jimmy makin kesal. Anak laki-laki itu terlihat siap menerbangkan kembarnya kembali ke rumah pohon. "Justru aku harus makan satu tahun ini karena aku sudah menahan diri tahun lalu."

Melihat perdebatan sepasang kembar itu, Rin jadi penasaran. "Seenak apa sih permen bunga itu sampai dijual mahal?"

Cepat sekali Jimmy menoleh. "Permen itu sangat enak! Manisnya seperti madu dari Florensty. Permen itu akan meleleh di dalam mulut dan memberikan sensasi hangat. Bentuknya mirip dengan bunga yang ingin kaupetik tadi—"

Ocehan Jimmy terhenti kala ia melihat Rin terhuyung dan jatuh terbaring di atas jalan setapak. Anak laki-laki itu membelalak. Baru saja Jimmy melangkah hendak menghampiri, tubuh Rin memudar. Seperti asap yang perlahan lenyap dari pandangan.

Jimmy sangat terkejut, begitu juga James yang baru saja menoleh karena mendengar suara debum yang keras. Sepasang kembar itu baru saja melihat seorang gadis terjatuh dan memudar tepat di depan mata mereka.

Mulut keduanya bungkam. Tubuh mereka juga kaku. Meski mereka hidup di dunia fantasi, pemandangan itu tidaklah biasa. Setidaknya bagi mereka berdua.

。:゚(☆)゚:。

Bulan hampir mencapai puncak langit. Kendati demikian, Chici dan beberapa kawannya masih betah di markas rahasia mereka.

"Apa kita laporkan saja pada Dhart atau guru lain?" Censia bersuara.

Kelihatannya Chici sudah menyerah. Gadis itu terduduk di lantai tepat di depan sofa yang Kiki gunakan untuk beristirahat. Sejak tadi Chici memeluk lutut dan menyembunyikan wajah kusutnya.

"Boleh juga. Tapi kita akan diomeli atau bahkan dihukum kalau ketahuan masih berkeliaran malam-malam." Anna bersedekap dengan wajah cemberut.

"Iya juga," desis Shela, "mereka tidak peduli apa alasannya. Siapa pun yang melanggar aturan baru ini pasti dihukum."

Kiki bangun dari rebahan santainya. Masih duduk di sofa, ia mengangkat tangan untuk meregangkan tubuh. Samar-samar terdengar bunyi gemeletuk tulangnya.

"Ya, itu juga demi keselamatan kita. Mereka tidak mau ada murid yang diserang saat berkeliaran di malam hari," ujar Kiki sesudah menguap panjang.

Hening sejenak. Tidak ada suara hewan malam yang mencapai mereka karena ruangan itu kedap suara. Suara dari permukaan tidak akan mencapai mereka. Berlaku juga sebaliknya. Itulah salah satu alasan markas mereka belum ditemukan murid lain. Bunyi keras seperti ledakan adalah pengecualian.

Atmosfer dalam ruangan itu terasa berat. Lima sekawan itu tampak suram. Tentu Chici yang paling suram. Empat orang lain makin gelisah dibuatnya.

"Jangan-jangan Rin ...."

Sebelum Kiki menyelesaikan kalimat buruk itu, Shela bergegas mencubit pinggangnya sampai Kiki menjerit. Mata Shela memelotot kala melakukan kontak mata dengan si korban cubitan.

"Sakit tahuuu! Lepas!" jerit Kiki seraya menepis tangan Shela.

Anna pun terbahak, sedangkan Censia tertawa kecil. Itu karena jeritan Kiki terdengar seperti jeritan perempuan. Namun, kedengarannya jeritan itu hanya dibuat-buat.

Ketika tawa Anna hampir reda, ada tawa lain yang pecah di belakang Kiki. Mereka berlima terperanjat kaget. Semua langsung menoleh ke sumber suara.

"Rin!" seru mereka serempak.

Chici, Kiki, serta Shela berhamburan menghampiri orang yang sedari tadi mereka cari. Chici melompati sofa tempat Kiki tadinya berbaring; Shela dan Kiki sempat menyenggol satu sama lain.

"Rin, kau dari mana saja?!"

"Kok ada bunga terselip di rambutmu?"

"Di mana jepit rambutmu?"

Rin yang kelelahan jadi makin lelah karena diserbu pertanyaan beruntun dari tiga temannya itu. "Tunggu sebentar. Baru kembali sudah kalian serbu begini. Aku pusing jadinya."

Mereka tertawa kecil setelahnya. Anna dan Censia yang masih duduk di sofa tersenyum hangat.

"Sumpah, kau ini dari mana saja? Kami khawatir, tahu!" Shela hendak menjitak Rin, tetapi gadis itu masih bisa menghindar.

Kiki memasang tampang marah. "Iya tuh! Lihat, Chici jadi berantakan begitu."

"Eh, iya juga." Rin menoleh pada Chici yang tengah mengintip ke belakangnya.

Sebelum Rin sempat berucap, Chici bertanya, "Rin, barusan kau keluar dari kamar, kan? Tidak mungkin dari luar karena jalan masuknya tertutup."

Seketika Rin bungkam. Ragu-ragu gadis itu mengangguk.

"Kenapa pakaianmu kotor? Apalagi bagian punggung." Chici mengambil jeda selagi ia mengamati bunga yang tersemat pada rambut Rin. "Dan setahuku, bunga itu tidak tumbuh di area akademi."

Censia yang sejak tadi mengamati bunga itu pun berceletuk, "Ah, bunga itu hanya tumbuh di bawah air terjun yang terletak di dekat kota White Gem. Sayangnya kota itu sudah hancur, tapi air terjun itu masih ada."

"Lewat! Lewat! Lama-lama bahasan kita belok ke kota hancur itu," gerutu Anna sembari menepuk-nepuk sofa tempatnya duduk.

Rin menggeleng-gelengkan kepala sambil meraba kening. "Kalian tahu kekuatanku apa, kan? Singkatnya, aku kembali ke masa lalu."

Hening. Mereka berusaha mencerna penjelasan singkat dari Rin.

Sebenarnya Rin ingin menjelaskan kejadian itu lebih rinci, tetapi dia butuh istirahat. "Detailnya kujelaskan besok. Tenagaku terkuras."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro