Bab 07: Rumah Pohon
Rin terpaksa bangun dari tidurnya. Ia menguap lantas mengedarkan pandangan ke sekeliling. Keningnya langsung mengerut begitu menyadari dirinya terbangun di tempat asing.
Gadis itu beranjak berdiri, menyingkirkan rumput dan debu yang menempel pada pakaiannya. "Perasaan aku tidur di kamar markas deh."
Hamparan rumput hijau yang cukup luas, dikepung pohon-pohon yang tampak normal. Rin sempat berpikir, mungkin dia telah berpindah ke dunia manusia. Namun, pemikiran itu segera sirna begitu penglihatannya mendapati bunga merah yang khas, tumbuh di bawah pohon paling besar di situ.
Rin beranjak mendekat. Dia ingin memetik bunga itu karena sudah lama tidak melihatnya. Akan tetapi, gerakannya tercekat. Daun pohon yang berjatuhan menarik perhatiannya untuk mendongak.
Rupanya ada orang yang tadinya tengah bersantai di dahan pohon. Remaja laki-laki yang tampaknya seumuran Rin.
Setelah bertukar pandang selama tiga detik, remaja laki-laki itu melompat turun. Ia mendarat tepat di hadapan Rin, membuat gadis itu terhuyung ke belakang.
"Sepertinya kau bukan penduduk sini." Si remaja laki-laki mengamati Rin dari puncak kepala sampai ujung kaki sekali lagi. "Dari mana kau berasal?"
"Eagle Dia-eh, aku dari dunia manusia. Baru pindah ke sini tadi ... pagi!"
Rin batal menjawab dengan nama akademi. Gadis itu sudah menyimpulkan. Kekuatannya aktif seenak jidat lagi, membuatnya tersesat dalam ruang dan waktu yang tidak ia ketahui.
Remaja laki-laki itu pun berseru, "Oh! Kau murid EDA juga, ya? Kelas berapa? Elemen apa?"
"Kelas ... 3 Api," jawab Rin ragu-ragu sembari menghindari kontak mata.
"Wah, kita bertemu kakak tingkat." Satu lagi remaja laki-laki muncul dari balik pohon. Wajahnya mirip sekali dengan yang satunya.
"Ada yang salah dengan mataku atau kalian memang kembar?" Rin berkedip-kedip.
Dua remaja itu saling tatap untuk sesaat lalu menunjuk satu sama lain.
"Dia yang lebih tua. Namanya James," ucap remaja yang tadi melompat dari dahan pohon dengan senyum lebar.
Remaja yang dipanggil James pun mengangguk. "Aku lahir sepuluh menit lebih awal dari anak ini. Namanya Jimmy."
Rin tersenyum simpul. "James dan Jimmy. Nama yang lucu, ya."
"Begitulah ...." James membalas. Tampaknya dia tidak berminat dengan topik itu.
"Tapi orang-orang biasa memanggil kami Kembar Alexander!" Sebaliknya, Jimmy terang-terangan menunjukkan antusiasmenya.
Seketika Rin tertegun. Otakknya mulai bekerja keras, menggali ingatan.
Alexander, nama belakang kepala akademi mereka. Sudah pasti James dan Jimmy ada hubungannya dengan beliau.
Rin berusaha mengingat nama depan kepala akademinya, tetapi tidak bisa. Nama lengkap Prof. Alexander hanya pernah disebut satu kali saat acara penerimaan murid baru.
"Hei, bagaimana denganmu? Namamu siapa?" tanya Jimmy berhasil menarik Rin kembali ke kenyataan.
"O-oh, aku. Panggil saja Rin," jawab Rin setelah linglung sejenak.
Jimmy mengambil satu langkah mendekati Rin. "Oke, Rin. Mau berkunjung ke rumah pohon kami? Pemandangan dari sana bagus, lo."
Sebagai jawaban, Rin mengangguk dengan senyum. Gadis itu memang sulit menolak kalau sudah mendengar ada pemandangan bagus.
Di sisi lain, James justru bergumam, "Rin. Rinrin."
Rin langsung menoleh, menatap James heran. Nama panggilan itu mengingatkan Rin pada seseorang yang teramat menjengkelkan sampai-sampai otak Rin menolak mengingat orang itu.
Mereka bertiga pun berjalan menuju lokasi rumah pohon yang Jimmy sebut. Sepanjang perjalanan, Jimmy yang paling banyak bercakap dengan Rin. James hanya diam, sesekali memperhatikan Rin tanpa sepengetahuan gadis itu.
Jalan yang mereka lalui cukup sempit, dikepung pepohonan rindang. Banyak juga batu-batu berlumut dan bunga di sekitar. Sesekali buah dari pohon jatuh dan hewan mistis yang datang entah dari mana memungutnya terus menghilang.
Sudah lama sejak Rin jalan-jalan santai di hutan dunia fantasi. Tidak seperti hutan suram di belakang akademi, hutan ini tampak indah dan memberi kesan hangat.
Ketika mereka sudah dekat dengan rumah pohon, Jimmy berlari mendahului James dan Rin. Wajahnya berseri-seri, kelihatan jelas tidak sabar memimpin tur rumah pohon.
Dia memulai dengan cara naik ke rumah pohon. Sebelum menunjukkan caranya pada Rin, terlihat dia sempat bertukar kode dengan James.
"Elemen Rin api, bukan?" tanya Jimmy dengan senyum.
"Iya. Memangnya naik ke rumah pohon ini harus menggunakan elemen?"
Senyum simpul Jimmy berubah menjadi senyum jenaka. Dibukanya kaki selebar bahu dan menekuk lutut. Kedua tangan dia ayunkan dari bawah ke atas dengan cepat.
Pusaran angin terbentuk di bawah kaki Rin, membawa gadis itu naik ke rumah pohon. Kecepatan yang cukup tinggi membuat Rin terkejut bukan main. Dia membelalak sambil memegangi dada kiri, merasakan degup jantung nan kencang.
Tepat di bawah rumah pohon, Jimmy terbahak sampai perutnya sakit. Sudut matanya sampai berair. Dipukul oleh James pun dia tak berhenti tertawa.
"Kau ini terlalu iseng! Dia senior kita, tahu!" seru James yang terus memukul bahu Jimmy. Kelihatannya dia tidak akan berhenti sampai Jimmy berhenti tertawa.
Perlahan Rin beranjak ke papan kayu di dalam rumah pohon. Mendadak tubuh apalagi kakinya lemas. Sebenarnya belum seberapa, tetapi itu terlalu tiba-tiba bagi Rin.
"Kurang ajar ... perutku mual ...." Rin terbatuk-batuk, mengundang perhatian sepasang kembar di bawah.
James dan Jimmy segera naik dengan bantuan pusaran angin. Pemandangan yang mereka saksikan sesampainya di atas sungguh tidak mengenakkan perut.
James berbalik sambil menutup mulut dan memegang perut. Jimmy justru menghampiri Rin dan menepuk-nepuk punggung gadis itu.
。:゚(☆)゚:。
Sore hari di garis waktu tak diketahui itu Rin habiskan dengan bermain bersama si kembar. Mereka sempat bersantai di rumah pohon, mendengarkan bualan Jimmy. Tidak banyak yang bisa dilihat di rumah pohon itu selain sekantung apel yang tergeletak di sudut. Karena itu, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan di hutan.
Hari makin gelap, tetapi langkah mereka tidak berhenti. Dengan kepalan tangan Rin yang dilahap api sebagai penerang, mereka pergi ke bawah air terjun.
Rin bingung. Tidak ada yang menarik dari air terjun itu. Kelihatannya sama seperti yang ada di dunia manusia.
"Air terjun ini cantik sekali kalau dilihat pada malam hari," ucap Jimmy dengan suara pelan. Hampir terdengar seperti bisikan.
Benar yang dikatakan Jimmy. Begitu matahari terbenam sepenuhnya, kunang-kunang biru bermunculan. Bunga-bunga ungu yang tadinya menguncup di pinggiran sungai perlahan mekar. Kunang-kunang terbang mendekat, menebar serbuk yang membuat puluhan bunga itu bercahaya.
Rin mematikan apinya yang tidak lagi diperlukan. Langkah kaki menuntunnya ke hamparan kecil bunga ungu dengan lima kunang-kunang biru terbang di atasnya.
"Indah ...." Ditadahkannya tangan. Sesuai harapan, satu kunang-kunang terbang di atas tangannya. Rin pun menoleh pada si kembar. "Sebenarnya ini di mana?"
"Tempat paling indah di dekat kota White Gem," sahut James yang sedang menikmati keindahan tempat itu juga.
James memetik satu bunga. Cahaya bunga itu tidak hilang. Ia pun mendekati satu-satunya gadis di situ. "Rin," panggilnya lembut.
Rin pun menoleh seraya berucap, "Ya?" Gadis itu tidak menduga James akan melepas jepit rambutnya. Sebelum rentetan kata protes keluar dari mulut, bunga bersinar James sematkan di atas telinga Rin.
Lidah Rin kelu. Ia tidak tahu apa yang harus diucapkan di situasi seperti itu. Senyum tipis di wajah James pun membungkamnya.
"Lihat mereka. Belum genap 24 jam saling kenal sudah menciptakan adegan romantis," cibir Jimmy yang sejak tadi menyimak sambil bersedekap.
Mendengar itu, James hanya melangkah menjauhi Rin seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi di antara mereka. Wajahnya berubah datar.
Di sisi lain, pipi Rin sedikit merona. Dalam hati ia mengumpati diri sendiri. Harusnya dia mengatakan sesuatu atau mendorong James saat ia mendekat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro