Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 06: Tidak Berguna

Keributan murid-murid kelas Z kian samar di telinga Chici. Meski demikian, ada suara lain yang mengusiknya. Suara sepatu bergesekan dengan rerumputan di belakang membuat gadis itu risi.

Untuk kesekian kalinya, Chici melirik ke belakang. Kali ini dia berucap, "Kenapa kau mengikutiku? Lebih baik kau tetap bersama Rin dan yang lain di sana."

"Ada masalah?" Anna tertawa kecil dengan alis ditekuk. "Aku hanya kasihan padamu yang lagi-lagi pergi menyendiri. Sebagai teman yang baik, aku ikut menemani. Lagian, situasi kita mirip." Langkah gadis itu terhenti saat dia menyelesaikan kalimat.

Chici meninggalkan jarak sepuluh langkah dari Anna sebelum dirinya berhenti dan berbalik. Matanya tidak memberi kesan datar atau ramah seperti biasa. Dingin dan tajam. "Kalau kau tidak mau kembali, pergi ke tempat lain saja. Jangan mengikutiku."

Seraya menundukkan kepala, Anna memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana pendeknya. Sekali lagi dia tertawa kecil, kemudian berbalik dan mengangkat kepala. "Dua tahun lebih kita berhasil menipu mereka dengan berpura-pura menjadi sahabat. Tinggal tunggu waktu sampai semuanya terungkap."

Tangan Chici kepalkan kuat-kuat. Makin kuat kala Anna mulai melangkah pergi. "Ini masalah antara ras kita. Mereka tidak perlu tahu. Mereka tidak perlu ikut campur."

Anna tetap berjalan meski pelan. "Hee ... jadi kau tidak ingin merepotkan teman-temanmu? Peduli pada mereka?"

Tubuh Chici seketika menegang. Rahangnya pun mengeras. "Tentu saja! Kaupikir sudah berapa lama kita semua berteman? Memangnya kau tidak peduli pada mereka?"

Pertanyaan kedua dari Chici berhasil membuat Anna berhenti melangkah. "Tidak juga. Semua ini hanya akting, bukan?" Gadis itu menoleh ke belakang dengan tatapan dingin dan senyum hampa.

Keduanya bergeming sejenak. Semilir angin menerpa rambut mereka, membuatnya berantakan. Beberapa helai daun berlalu ditiup angin, mengganggu adu tatap kedua gadis itu.

"Aku yang tidak membatasi diri dengan mereka selama ini tidak terbawa suasana. Kau? Mati-matian membangun dinding pemisah antara dirimu dan mereka, tapi ya ... tetap terbawa arus. Kau bahkan membuat satu cowok jatuh cinta padamu."

Chici membawa tangan kanannya yang terkepal ke bahu kiri. Dibukanya kepalan tangan tersebut, lantas melakukan gerakan melibas lurus ke kanan. "Memangnya itu masalah?! Sudah kubilang, mereka tidak ada hubungannya dengan ini!"

Angin kencang berembus menampar pipi kanan Anna. Cukup keras sampai membuat pipinya merah. Meski begitu, Anna tidak tertunduk. Dia masih menatap datar lawan bicaranya. "Baiklah. Sekarang aku tahu kenapa kau susah-susah membangun dinding pembatas."

Mulut Chici langsung terkatup. Dia tidak mengatakan apa pun, hanya menggigit bibir bawah yang lama kelamaan mulai berdarah.

"Pasti kau tidak mau akrab dengan mereka supaya mereka tidak merasa apa-apa saat kau mati di tanganku nanti? Kau pasti tidak bisa istirahat dengan tenang kalau nanti mereka menangisimu—"

"Cukup!" seru Chici seraya menyentakkan kaki. Angin yang timbul akibat sentakan itu berembus kencang ke sekeliling. "Aku tidak akan mati! Tidak di tanganmu. Tidak di tangan ayahmu. Juga tidak di tangan pesuruh rendahan ayahmu! Karena aku ... karena aku akan ...."

"Hei, ada apa lagi? Bilang saja karena kau akan membunuhku lebih dulu. Kau akan jadi lebih kuat. Iya, kan?" Anna menyeringai senang melihat wajah Chici yang memancarkan keraguan. "Jangan-jangan kau terbawa suasana panggung sampai tidak tega membunuhku nanti. Atau parahnya lagi, tidak mau bertarung denganku."

Tanpa memberikan balasan, Chici berbalik. Ia kembali berjalan menembus pepohonan belakang gedung akademi seorang diri.

Langkah gadis itu kian cepat dengan tangan terkepal kuat. Terdengar suara ingus disedot di tengah suara dedauan yang bergesekan dengan ranting.

"Payah, bodoh, tidak berguna. Payah, bodoh, tidak berguna." Chici terus menggumamkan rangkaian kata itu hingga tiba di tempat tujuan.

Pada akhirnya, Chici jatuh berlutut di depan bangunan perpustakaan akademi yang dikepung pepohonan. Gadis itu membungkuk dan mulai terisak. Cengkeramannya pada rumput makin kuat kala air mata jatuh di atas rumput itu.

"Aku payah ... bodoh! Tidak berguna!" Tangisannya semakin menjadi begitu ingatan sejak masuk akademi sampai detik itu terputar ulang dalam kepala. "K-kalau tahu begini jadinya ... lebih baik aku pergi bersama Kakak, Ayah, dan Ibu. Lebih baik malam itu aku ikut mati!"

Chici terdiam sejenak, kembali terisak-isak. Dia mengubah posisi menjadi berbaring, menatap langit nan biru dan menyilaukan. "Setidaknya ... aku ingin mati dalam pelukan Kakak malam itu. Aku ... tidak ingin teman yang berlumuran darah menjadi pemandangan terakhir. Lebih lagi, itu darahku."

Matanya mulai berat karena menangis. Meski masih sesenggukan, Chici menutup mata. "Tidak mau ...."

Gadis itu sudah puas. Menangis sambil merengek, dua hal yang hampir tidak pernah dia lakukan di depan orang lain. Setelah cukup lama menahan semua itu sebagai rasa sesak dalam dada, Chici jadi sedikit tenang. Ia pun terlelap.

。:゚(☆)゚:。

Badan Chici lemas saat mencoba duduk. Dia terlalu banyak tidur dalam satu hari.

Lama sekali dia terlelap di atas rumput setelah menangis. Mentari sudah bersiap di timur, menunggu bulan muncul untuk menggantikan posisinya untuk sementara di langit.

Setelah merasa cukup kuat untuk berdiri dan berjalan, dia melakukannya. Chici berjalan sempoyongan seperti orang mabuk. Sesekali ia menguap. Nyawa gadis itu sudah sepenuhnya kembali dari alam mimpi ketika ia melewati pepohonan.

Chici berhenti sebentar, menatap ke arah teman-temannya berkumpul tadi. Tidak ada lagi keributan di sana. Akademi kembali sunyi. Hari yang mulai gelap mengingatkannya akan kejadian di kantin.

Ia pun kembali berjalan sambil mengusap kedua lengan yang terasa dingin. Langkah kaki menuntunnya ke sebuah sumur tua di belakang gedung utama akademi. Chici ingat, Rin sempat memintanya untuk bertemu di markas pada sore menjelang malam.

Seperti biasa, tanah berguncang kala Chici menekan tombol yang tersembunyi di balik semak-semak. Tangga menurun ke bawah tanah muncul. Chici segera berlari turun, tidak ingin ada yang melihatnya di tempat itu.

Begitu memijak anak tangga terakhir, napas Chici mulai berat. Dia berjalan santai menuju pintu di ujung lorong sambil berpikir kenapa napasnya mulai berat hanya karena lari menuruni tangga. Itu tidak biasa.

Meletakkan tangan di dada kiri, Chici dapat merasakan degup jantung yang cukup kencang. Tatapan matanya berangsur teduh. "Terlalu banyak pikiran negatif ...."

Sesampainya di ujung lorong, Chici mengulurkan tangan untuk membuka pintu. Dia sempat ragu, tidak ingin Rin melihat mata sembabnya. Namun, janji adalah janji. Lebih lagi, dia sudah sampai di situ.

Dibukanya pintu menuju markas rahasia. "Rin?" panggil Chici saat melihat tidak ada siapa-siapa di ruang tengah. Akan tetapi, lampunya menyala. Pintu ruang CCTV juga terbuka, tetapi jalan rahasia belum ditutup. Artinya, tidak ada siapa-siapa di ruangan itu.

Mengingat Rin belum pernah mengingkari janjinya, Chici bergegas mengecek kamar di markas satu per satu. Hampir semua terkunci dari luar. Hanya pintu dengan lambang api yang sedikit terbuka. Lampu di dalam menyala.

"Rin, kau di dalam?" tanya Chici seraya mendorong pintu tersebut. Alis gadis itu langsung tertekuk.

Bantal yang seharusnya berada di bagian atas kasur tergeletak di lantai. Selimut yang biasanya dilipat rapi oleh Rin sekarang berantakan. Kelihatannya ada yang menggunakan kamar itu sebelum Chici tiba. Mungkin itu Rin.

Namun, kalau itu benar-benar Rin, kasurnya tidak akan sekacau ini. Rin tidak pernah meninggalkan kamar berantakan. Kalau keluar, Rin selalu memastikan semua lampu sudah dimatikan dan pintu-pintu tertutup rapat.

Isi benak Chici kian runyam dibuatnya. Dia mengacak-acak rambut yang sudah berantakan karena tertidur di atas rumput. Kucirannya juga longgar.

Degup jantungnya kembali berpacu dengan cepat seolah-olah dia sedang diincar oleh sesuatu yang mengerikan. Gadis itu berlari keluar markas. Menyusuri lorong dan menaiki tangga hingga tiba di permukaan.

Buru-buru dia pergi ke balik semak-semak dan menekan tombol di sana. Jalan rahasia perlahan tertutup. Chici bahkan tidak menunggunya tertutup. Dia langsung berlari ke lapangan area gedung satu.

Napasnya memburu. Chici merasa tidak kuat lagi berdiri, tetapi dia harus. Ada yang aneh di markas dan Rin tidak ada di sana.

Celingak-celinguk dengan wajah dibanjiri peluh, akhirnya penglihatan Chici menangkap seseorang. Ada anak laki-laki yang sedang duduk di dahan pohon. Kelihatannya dia sedang tidur.

Chici masih bertumpu pada lututnya sambil meraup udara sebanyak mungkin. Mata Chici terus tertuju pada anak laki-laki itu, takut dia menghilang dari sana sebelum Chici sempat bertanya.

Gadis itu tersentak kaget saat mendapati si anak laki-laki membuka mata dan meliriknya. Membuka mulut untuk bertanya, tetapi kalimatnya masih putus-putus.

Anak laki-laki itu menunggu. Mereka beradu pandang cukup lama sampai Chici mampu bertanya, "Ray, kau tahu Rin pergi ke mana habis tunjuk kekuatan tadi?"

Ray kembali memejamkan mata. "Ke arah kau datang."

Seketika Chici merasa sedikit kesal. Dia tahu Ray adalah tipe yang hemat saat berucap, tetapi tetap saja. "Kau main-main denganku?"

"Tidak."

Chici menghela napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Kesal pada orang seperti itu tidak ada gunanya. Lebih baik dia bertanya pada orang lain. Dengan begitu, Chici bergegas menuju asrama putri.

Gadis itu mengatur napas terlebih dahulu baru mengetuk pintu di hadapannya. Saat pintu dibuka, Chici berharap itu adalah Rin. Akan tetapi, Censia yang membukanya. Terlihat tidak ada Rin di dalam, hanya Shela.

"Rin tidak ada di dalam, ya? Kalian tahu dia pergi ke mana?" tanya Chici was-was.

Censia menggeleng kaku. "Bukannya kalian ada janji bertemu di markas?"

Shela yang sejak tadi duduk di kasurnya beranjak ke ambang pintu. "Selesai tunjuk kekuatan tadi dia langsung ke markas, lo."

"T-tidak ada siapa-siapa di sana," balas Chici lirih, "tapi lampunya menyala. Kamar Rin berantakan dan pintu ruang CCTV terbuka."

"Eeh ... terakhir kali kita ke sana, lampunya mati. Semua pintu ruangan juga ditutup." Shela bertukar pandang sejenak dengan Censia.

Gadis bertubuh mungil itu mengangguk setuju. "Mungkin Rin sempat masuk, tapi buru-buru keluar. Makanya dia lupa beres-beres."

"Rin bukan tipe yang meninggalkan markas dalam keadaan berantakan begitu," balas Chici cepat. Dia menundukkan kepala, berusaha memikirkan kemungkinan lain. "Kalau benar dia buru-buru, pasti ada sesuatu yang sangat penting atau berbahaya."

Hening sejenak. Chici tenggelam dalam pikiran, sedangkan Censia dan Shela menatapnya khawatir. Mereka bertanya-tanya dalam hati mengenai penampilan Chici yang berantakan. Poni acak-acakan, kuciran longgar, mata sembab, dan wajah dibanjiri keringat.

Clouchi's note:
Hai, lama tak jumpa~ Terakhir up Januari yaw. Hmn ada yang kangen gak nih /plak! Gaada

Ehek oke oke. Segitu aja hari ini, see ya!

.

.

.

Kritik dan saran membangun sangat diterima ^^)/

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro