Bab 05: Tunjuk Kekuatan
Chici terbangun di ruang kesehatan akademi dan yang pertama keluar dari mulutnya adalah umpatan. Gadis itu masih berbaring di atas ranjang, enggan bangun saking kesalnya.
"Aku salah dengar atau barusan Chici bangun dan langsung mengumpat?" Jason yang tengah duduk di tepi ranjang Chici pura-pura bertanya pada diri sendiri.
Tanpa mengindahkan keberadaan Jason, Chici menoleh ke kiri. Tidak ada siapa-siapa di ranjang sebelah. Dia pun bertanya, "Kiki di mana?"
Jason tidak menjawab. Lebih tepatnya, dia pura-pura tidak dengar.
Mendengkus kesal, Chici mengubah posisi ke duduk bersila. "Telingamu masih berfungsi atau tidak, sih?"
"Oh, Kiki? Pasti dia sudah di asrama sekarang." Jason beringsut menjauhi Chici sampai ke ujung ranjang. "Akademi libur lebih lama, lo. Ulangan harian matematika batal—"
Raut Chici kian kusut. Dia sedang tidak mau mendengar ocehan mantan rekan pengurus kelasnya. Gadis itu menyibak selimut dengan kasar, mengamati luka-luka di lengan dan kaki sejenak, kemudian turun dari ranjang.
"Hei, mau ke mana?" Buru-buru Jason turun dari ranjang, menyusul Chici yang hendak keluar dengan raut kusut.
Ketika Jason hendak memegang pundak Chici, gadis itu langsung menepis tangannya sembari berdecak kesal. "Aku mau ke asrama. Jangan ikuti aku."
Begitu Chici menarik gagang pintu, tampak seorang laki-laki yang menjabat sebagai wakil ketua kelas. Itu Lau. Dia berniat mendorong pintu, tetapi lebih dulu dibuka oleh Chici.
Tidak berlama-lama, Lau berujar, "Murid kelas Z disuruh kumpul di lapangan area gedung 1. Tidak perlu pakai seragam."
Setelah menyampaikan itu, Lau melenggang pergi dengan santai. Ekspresinya tetap datar, bahkan setelah melihat anak laki-laki mengejar seorang gadis keluar ruang kesehatan akademi yang tergolong sempit.
"Untung Lau bukan tipe orang yang gampang curiga, ya." Jason tertawa canggung sambil menggaruk belakang kepala. Tanpa dia sadari, Chici sudah beranjak pergi.
Gadis yang lengan dan kakinya dipenuhi luka itu berjalan menuju penghubung gedung utama dan area gedung 1 seorang diri. Sebenarnya ada Jason yang menyusul di belakang, tetapi suasana hati Chici terlalu buruk untuk meladeni orang menyebalkan itu.
Perjalanan itu diiringi ocehan Jason tentang apa pun yang terpikir olehnya.
Setibanya mereka di tempat tujuan, belum ada siapa-siapa selain mereka di sana.
"Apa aku terlalu cepat?" gumam Chici dengan pandangan menyapu sekeliling.
"Kita datang terlalu cepat." Jason meralat dengan satu sudut bibir terangkat.
Sambil menggeram kesal, Chici mengambil langkah menjauhi Jason yang mengganggunya sejak tadi. Melihat ada dahan yang cukup kuat untuk menopang tubuhnya, Chici naik dan duduk di situ dengan bantuan elemen angin.
Gadis itu tidak perlu khawatir Jason akan mengintip celana dalamnya. Sudah kebiasaan bagi Chici untuk memakai celana. Rok yang dia punya hanyalah rok seragam akademi yang dipasangkan dengan kemeja putih lengan pendek dilapis rompi.
Pipi Chici berkedut kala melihat Jason melakukan hal yang sama dan duduk di dahan di sampingnya. Dalam hati Chici berharap Jason jatuh karena dahan tersebut tidak mampu menopang bobotnya.
"Mumpung kita hanya berdua—"
"Jangan coba-coba menggodaku seperti yang biasa kaulakukan," ketus Chici ditambah lirikan tajam.
"Oh, ayolah. Aku hanya ingin bertanya soal apa yang terjadi—"
"Rin!" Chici berseru lantas melompat turun begitu penglihatannya menangkap seorang gadis seumuran yang sangat dia kenal. Keduanya pun bercakap-cakap, mengabaikan keberadaan Jason di dahan pohon dekat mereka.
Jason tersenyum kecut melihat itu. Dia lalu melihat ke bawah, mendapati si ketua kelas yang tak lain adalah Kimber. "Hai," sapa Jason.
"Sudah satu tahun lebih. Belum menyerah?" Kimber melirik Jason, tampak khawatir.
Sebagai respon, Jason menggeleng. Senyum kecut masih terpampang di wajahnya. Dia melambaikan tangan saat mendapati Chici menoleh ke arahnya untuk sesaat.
。:゚(☆)゚:。
Seluruh murid kelas Z telah berkumpul. Dhart pun muncul di tengah-tengah mereka yang terbagi menjadi beberapa kubu. Sebelum mengatakan tujuan kelas Z dikumpulkan, Dhart menghitung anak muridnya. Hanya memastikan.
"Oi, Dhart. Kenapa kau menyuruh kami berkumpul di sini?" Lau bertanya dengan ketus. Tampak jelas dari rautnya bahwa dia sangat terganggu, apalagi dia disuruh mengumpulkan teman-temannya yang tersebar di wilayah akademi nan luas.
Dhart bergumam singkat, memasang pose berpikir. "Dipikir-pikir lagi, kalian belum tahu kekuatan satu sama lain, kan? Jadi, aku ingin kalian tunjuk kekuatan."
"Supaya kami lebih mudah bekerja sama karena musuh sudah bermunculan?" terka Rin dengan nada sarkas. Satu tangan diletakkannya di pinggang.
"Tepat sekali." Dhart menjentikkan jari. "Jadi silakan. Aku akan berjaga di sini. Siapa tahu ada yang kelewatan atau kejadian buruk lain."
Setelah mengatakan itu, Dhart menepi. Dia bersandar pada pohon yang dahannya sempat menjadi tempat duduk Jason.
Mereka menatap satu sama lain dalam kecanggungan, bahkan ada yang hanya menunduk. Perlahan mereka mundur, mengosongkan bagian tengah.
Di tengah kecanggungan itu, Kimber menoleh ke samping. "Elsa, mau maju duluan?" tanya Kimber pada seorang gadis berwajah datar di sampingnya.
Gadis bernama Elsa itu menggeleng. Ekspresi datarnya tidak berubah. "Tidak. Aku maju setelahmu saja."
Mendengar itu, Kimber tidak mengeluh. Sudah biasa bagi ketua kelas untuk maju pertama. Seorang ketua kelas harus memberi contoh yang baik untuk teman-temannya.
Kimber pun melangkah ke tengah. Senyumnya memancarkan aura percaya diri yang positif. Dia sudah menduga akan disuruh tunjuk bakat. Maka dari itu, Kimber sudah menyiapkan sebuah batu di saku.
Dikeluarkannya batu tersebut lalu berkata, "Kekuatanku tidak terlalu hebat seperti yang lain, tapi kurasa akan berguna."
Saat semua sudah melihat batu yang dipegang Kimber, batu itu menghilang tanpa jejak. Tangan Kimber kosong dan bersih seolah tidak pernah memegang batu tersebut.
Gadis itu menunjukkan kedua telapak tangannya yang kosong, kemudian kembali ke samping Elsa. "Giliranmu," bisiknya sembari mendorong Elsa pelan.
Beranjak ke tengah, Elsa tidak menunjukkan rasa gugup maupun percaya diri. Seperti biasa, wajahnya datar dengan tatapan dingin nan menusuk.
"Bisa mundur sedikit?" pintanya dengan suara pelan. Nadanya sedatar lembaran kertas, membuat kalimat itu terdengar seperti perintah mutlak dari seorang penguasa.
Karena suasana yang sunyi, telinga mereka dapat menangkap apa yang dikatakan Elsa. Mereka pun mundur beberapa langkah.
Elsa mempertemukan kedua tangannya sejenak, kemudian mengayunkannya hingga tangannya agak terentang. Dinding air pun muncul mengelilingi Elsa. Kedua tangan kembali dipertemukannya, membuat dinding air tersebut membeku.
"Aku bisa membuat es," ucap Elsa lalu bertepuk tangan sekali. Dinding es yang mengelilinginya hancur menjadi serpihan es mengilap yang kemudian lenyap tanpa jejak.
Elsa kembali ke samping Kimber diiringi tepuk tangan pelan dari beberapa orang yang kagum padanya. Ada juga yang berbisik-bisik.
Seorang anak laki-laki berbadan besar nyaris terjerembap di tengah, memecah suasana kagum. Diliriknya sepasang kembar tak identik agak jauh di belakang.
Sepasang kembar itu hanya mengacungkan jempol dengan tampang masing-masing yang khas. Si laki-laki tersenyum penuh semangat, sedangkan si perempuan tersenyum malas seakan menyuruh temannya itu untuk semangat dan bersabar.
Anak laki-laki berbadan besar itu namanya Brap. Diembuskannya napas kasar, berusaha memaklumi Shin dan Shinta yang mulai sering mengisenginya.
Berdiri tegap, Brap mengangkat kedua tangan ke depan dada. "A-aku bisa mengubah anggota tubuhku jadi seperti ini ...." Suaranya pelan, berbanding terbalik dengan penampilannya.
Selesai mengatakan itu, tangan Brap perlahan berubah. Kelihatannya seperti dilapisi tanah yang mengeras. Tangannya tampak seperti tangan golem seusai proses perubahan.
"Wah, keren!" Erick yang pertama berseru sambil bertepuk tangan. Tampaknya Erick sangat kagum sampai matanya berbinar-binar.
Setelah itu, banyak lagi kekuatan yang ditunjukkan. Namun, tidak semua kekuatan bisa dipertunjukkan. Contohnya adalah membaca pikiran, menjelajahi waktu, dan kekebalan. Ada juga yang menolak menunjukkan dan hanya mengatakan apa kekuatannya.
"Sudah kubilang tidak mau! Kenapa kalian memaksa?!" seru Shela menarik tangannya, berusaha melepas cengkeraman Kiki dan Rin.
Tanpa diduga, Kiki dan Rin malah terayun mengikuti gerakan tangan Shela. Mereka yang hampir terlempar sangat terkejut. Saking terkejutnya mereka sampai mematung sejenak, begitu juga Shela.
Shela pun memalingkan wajah, pura-pura batuk. "Kekuatanku tambahan energi. Puas?" ketus Shela dengan mata terpejam.
"Sudah, sudah. Jangan memaksa begitu." Kimber sebagai ketua kelas menengahi dengan senyum kikuk.
Ketika mereka sibuk mendesak yang tidak mau menunjukkan kekuatan, ada dua orang yang menghilang. Tidak ada yang menyadarinya karena sibuk sendiri.
Clouchi's note:
Wut? Kisah anak remaja di akademi gak lengkap tanpa bumbu romance, kan?
.
.
.
Kritik dan saran membangun sangat diterima ^^)/
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro