Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 04: Malam Hari

Meski mengendap-endap, langkah kaki tetap menggema di sepanjang koridor gedung utama akademi. Kesunyian yang mencekam tidak membuat mereka gentar. Keempat gadis itu hanya perlu melewati gedung utama agar tiba di sumur tua.

Gedung utama diselimuti kegelapan. Tidak ada lampu yang dinyalakan karena hari sudah sangat malam, bahkan para petugas akademi sudah kembali ke gedung mereka. Satu-satunya sumber cahaya di situ adalah bola cahaya yang diciptakan Censia.

Tidak lama kemudian, mereka berempat tiba di hadapan sumur tua yang disembunyikan pepohonan rimbun. Mata mereka menyapu sekeliling, memastikan tidak ada orang lain di sekitar.

Censia yang penasaran mendekat, mengintip ke dalam sumur tersebut. Tidak ada air di dalam. Sumur itu sudah lama kering.

Semak-semak berbunyi, membuat mereka tegang untuk sesaat. Betapa leganya mereka saat menyadari itu hanya Rin yang sedang mencari sesuatu.

Rin mengibas-ngibaskan tangan sambil melirik Censia. Dia butuh penerangan, tetapi Censia tak kunjung menghampiri. Ketika membalikkan badan, Rin tidak sengaja menginjak sesuatu yang membuat tanah bergetar.

Censia memekik karena tanah pijakannya tiba-tiba bergeser. Gadis itu panik sampai kehilangan keseimbangan. Bisa saja Censia masuk ke dalam sumur kalau Shela tidak segera menariknya hingga mereka berdua terduduk di atas rumput.

Jalan rahasia terbuka. Tampak tangga batu yang menuntun mereka ke lorong bawah tanah yang tidak memiliki penerangan.

"Ternyata ada tempat seperti ini di area akademi," gumam Censia. Bola cahaya di tangannya membesar.

Saat yang lain berjalan santai menyusuri lorong, Rin justru mempercepat langkahnya. Dia yang awalnya berjalan paling belakang kini mendahului Censia. Rin menerobos kegelapan seorang diri dengan cahaya temaram dari api yang melahap kepalan tangannya.

Tiga gadis yang tertinggal bertukar pandang, tidak mengerti kenapa Rin mempercepat langkahnya. Meski demikian, mereka hanya berjalan santai, membiarkan Rin lebih dulu.

Di ujung lorong, Rin berdiri di hadapan sebuah pintu kayu. Dia diam sejenak lantas mendorong pintu tersebut. "Chici? Kiki?"

Pintu berayun terbuka diikuti decitan. Terlihat ruangan gelap dengan dua sofa tua yang mengepung sebuah meja pendek di tengah. Tidak ada siapa pun di dalam.

Rin berbalik, mendapati Censia dan Shela berhasil menyusulnya. "Tidak ada siapa-siapa di sini—tunggu. Di mana Anna?"

"Eh, dia ada di belakang kok!" Shela berbalik dengan percaya diri, tetapi tidak ada siapa-siapa di belakangnya. "Sumpah, Anna ada di belakangku tadi!"

Kaki Censia mulai gemetar, membuat dirinya bersandar pada dinding lorong. Bola cahaya di tangannya mengecil. "Kalian tidak sedang iseng karena aku murid baru, kan?" tanya Censia dengan suara bergetar.

"Tidak! Malah, aku merasa kita sedang dikerjai," sahut Shela yang mulai panik.

"Pantas rasanya ada yang aneh." Api di kepalan tangan Rin membesar, menggantikan bola cahaya Censia yang kian kecil. "Kalau ada orang di dalam, jalan rahasia tadi akan langsung tertutup begitu kita masuk."

Rin menatap Censia dan Shela bergantian. "Kalian benar-benar tidak sadar Anna menghilang tadi?"

"Tidak—"

Teriakan menggema dari ujung lain lorong, memotong ucapan Shela. "Rin, Shela, Censia! Cepat keluar!"

Ketiga gadis itu bergegas keluar, menghampiri pemilik suara tersebut.

Setibanya di permukaan, mereka disambut oleh Anna yang jatuh terduduk dengan napas memburu. Wajahnya pucat dan dibanjiri peluh.

"Tadi ... aku dengar. Ada ribut-ribut di gedung utama ...." Anna berucap patah-patah di tengah napasnya yang masih memburu.

Rin pun berjongkok, mengusap punggung Anna. "Tenang dulu. Atur napasmu baru bicara," pintanya dengan pandangan tertuju ke arah gedung utama berada. Rin berusaha fokus pada suara-suara di kejauhan, tetapi hasilnya nihil.

"Chici sama Kiki ada di kantin ... diserang sesuatu," ujar Anna saat napasnya mulai teratur. Tangannya terangkat, menunjuk gedung utama.

"Sesuatu?"

"Aku terlempar keluar sebelum melihat apa yang menyerang mereka." Anna menunduk, meremas rerumputan di depannya. Sesekali terdengar dia meringis kesakitan.

Sesuatu jatuh berdebum di kejauhan. Samar, tetapi mereka bisa mendengarnya di tengah kesunyian malam hari itu.

Rin bangkit berdiri menghadap sumber suara. Sebelum melangkah jauh, Rin menoleh ke belakang dan berkata, "Bawa Anna ke asrama."

。:゚(☆)゚:。

Keadaan mendadak hening begitu Rin tiba di gedung utama, padahal dia dapat mendengar barang-barang terbanting saat berlari.

Rin menenguk saliva kasar, melangkah masuk dengan waspada. Dia terus melirik ke kiri dan kanan, tidak lupa menoleh ke belakang. Jantung Rin berdegup sangat kencang, berbanding terbalik dengan langkahnya yang teramat pelan.

Dia menarik napas dalam-dalam saat sudah dekat dengan pintu masuk kantin. Ditempelkannya punggung ke dinding baru mengintip ke dalam.

Matanya langsung melebar kala mendapati Chici terkulai lemas di atas meja yang sudah patah. Sementara itu, Kiki yang basah kuyup tersandar di pantri, tempat penjaga kantin biasa membagikan makanan.

Mereka berdua tidak sendiri dalam kantin seluas itu. Ada satu orang lagi, memakai jubah hitam bertudung layaknya malaikat pencabut nyawa. Dia berjalan menghampiri Kiki dengan tangan terulur.

Rin memicingkan mata, mengamati tangan orang itu yang tampak janggal. Warnanya sehitam rambut Rin. Hanya ada tiga jari panjang yang tampak rapuh. Kukunya pun tak kalah panjang dan tajam.

Tubuh Rin menegang saat melihat makhluk itu hendak menusuk dada Kiki dengan tangan hitam nan anehnya.

Api yang menyelimuti kepalan tangan Rin berubah menjadi tiga buah panah dalam sekejap. Dilemparkannya panah-panah itu pada makhluk berjubah hitam di sisi lain kantin.

Makhluk itu terlambat bereaksi hingga satu panah mengenai kepalanya, sedangkan dua panah lain memeleset. Panah api yang mengenainya lenyap begitu saja seperti tidak pernah ada, bahkan tudungnya tidak koyak ataupun terbakar.

Rin berlari dengan sebuah kursi di tangan, naik ke salah satu meja, terus melompat ke arah makhluk itu. Diayunkannya kursi tersebut sekuat tenaga, menghantam kepala makhluk itu hingga kursinya patah.

Mata Rin membeliak. Apa yang terjadi tidak seperti yang dibayangkannya. Makhluk itu tidak mengerang kesakitan atau terpukul mundur. Dia hanya bergeming.

Sudah terlambat bagi Rin untuk menghindar. Makhluk itu melakukan gerakan melibas dengan tangan kiri. Rin pun terhempas ke meja yang langsung patah begitu dia mendarat.

Beragam umpatan keluar dari mulut Rin saat dia berusaha bangkit berdiri. Potongan kayu tertancap pada lengan kirinya, membuat gadis itu meringis. Lengan kausnya sobek, terlihat sedang menyerap darah yang mengalir dari luka.

Makhluk itu berdiri tiga langkah di depan Rin, diam bagai patung. Tidak ada tanda-tanda dia akan menyerang.

Kening Rin mulai berkerut. Jarak antara mereka tidak terpaut jauh, tetapi Rin tetap tidak bisa melihat apa yang tersembunyi di balik tudung hitamnya. "Apa yang kauinginkan dari akademi ini?"

Tidak ada respon.

Rin tahu, bertanya seperti itu tidak ada gunanya. Dia sendirian, kehabisan akal, dan terluka. Kenyataan bahwa serangan fisik dan elemen tidak mempan pada makhluk itu membuatnya merasa putus asa. Belum lagi ada dua temannya yang sedang pingsan di situ.

"Sialan," umpatnya setengah berbisik.

Rahang Rin mengeras ketika dia mencabut potongan kayu yang tertancap di lengan kiri. Kepalan tangan kanannya kembali dilahap api yang kemudian menjalar sampai siku. Kobaran api itu membesar kala Rin melangkah dengan oleng seperti orang mabuk.

Tangannya terangkat, meluncurkan tinju api pada makhluk itu untuk terakhir kali. Namun, Rin justru meninju udara kosong. Makhluk itu menghilang. "Eh?"

Bersamaan dengan ambruknya Rin, kaca jendela kantin pecah. Dua anak laki melompat masuk dan mendarat di atas pantri. Mereka hanya memakai kaus oblong dan celana pendek selutut. Wajah keduanya dibanjiri keringat.

Satu dari mereka bersiul saat melihat kantin yang berantakan bagai kapal pecah. "Apa yang terjadi di sini—astaga, ada tiga orang pingsan!" serunya menggema.

Sambil terkekeh, Rin berusaha bangun dengan satu tangan. "Aku masih sadar. Dua orang yang pingsan, Jason—duh."

Lau melompat turun dari pantri, buru-buru menghampiri Rin. Dia berjongkok, memeriksa lengan Rin yang sempat tertusuk potongan kayu. "Lukanya cukup dalam."

"Kalian sedang apa malam-malam di gedung utama?" tanya Jason lantas melompat turun. Dia bergantian menatap Chici dan Kiki yang sedang pingsan. "Tadi Anna bilang kalian diserang. Sama siapa?"

"Makhluk aneh berjubah hitam."


Clouchi's note:
Fuuh~ akhirnya bisa ngetik adegan gitu meski pendek. Bab ini enak banget diketik, gak macet-macet hehe. Rasanya mulai seru nih, tapi belum seru seru amat.

Ehem, harusnya ini masuk bab 03, tapi Clou pisah karna targetnya cuma seribuan kata per bab ._.)

Dah dah, Clou mau rebahan dulu. See you all soon!

.

.

.

Kritik dan saran membangun sangat diterima ^^)/

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro