Bab 03: Jatuhnya Korban
*Sensitive content warning*
*This chapter contains slight gore*
.
.
.
Satu lagi pagi nan suram dan heboh. Akan tetapi, kali ini para murid tidak berkerumun. Mereka berlarian menjauhi jalan setapak, tempat sebuah tubuh terbujur kaku.
Itu tubuh seorang anak laki-laki. Harusnya dia menjalani tahun pertama di akademi dengan damai. Namun naas, kini dirinya terbaring tanpa nyawa di jalan setapak. Dadanya bolong. Tidak ada luka lain. Genangan darah pun tidak ada.
Tepat di samping tubuh tak bernyawa itu, berserakan serpihan benda berkilau. Serpihan tersebut memancarkan cahaya kuning temaram yang kian redup.
Seorang pria jangkung menghampiri mayat tersebut dan berlutut dengan satu kaki di dekatnya. Itu Dhart, guru baru di akademi yang berperan sebagai wali kelas Z. Alisnya tertekuk semakin dalam setelah mengamati mayat itu cukup lama.
"Malangnya nasibmu. Mendaftar ke akademi ini adalah sebuah kesalahan," oceh Dhart sembari menggendong mayat anak laki-laki itu.
Sebelum melangkah pergi dan memudar, Dhart melirik serpihan yang sudah kehilangan cahayanya. Sorot matanya begitu dingin dan menusuk.
。:゚(☆)゚:。
Hari itu, kegiatan belajar mengajar ditiadakan. Seluruh murid diarahkan kembali ke asrama. Hanya kelas Z yang tersisa. Hening, menuntut penjelasan dari wali kelas mereka.
"Kenapa kalian tidak menjadi anak-anak penurut dan kembali ke asrama seperti yang lain? Apa untungnya kalian berdiam diri di sini?" Dhart bersedekap.
Kimber yang belum lama ditunjuk sebagai ketua kelas pun berkata, "Sejak tahun ajaran baru dimulai—tidak. Sejak kelas ini dibentuk, ada saja kejadian yang menggemparkan akademi. Tentu ini bukan kebetulan semata.
"Dari awal, kami hanya diberi tahu soal tujuan utama dan alasan kami masuk kelas ini. Siapa musuh kami sebenarnya? Si iblis? Apa hanya makhluk itu? Saya rasa tidak. Makhluk itu pasti bersekongkol dengan seseorang atau sekelompok orang yang menargetkan akademi ini."
Seringai meremehkan terukir di wajah Dhart. Seraya menyandarkan tubuh pada papan tulis, Dhart balas bertanya, "Menurut kalian, apa yang seseorang atau sekelompok orang itu incar? Kalian murid akademi ini—sudah dua tahun lebih. Pasti kalian tahu."
"Permata Elang," jawab Mark saat yang lain masih berpikir. Satu sudut bibirnya terangkat membentuk senyum miring.
"Cepat sekali," kekeh Dhart. Seringai meremehkan masih terukir di wajahnya.
Lau di pojok depan kelas mengangkat dagu dengan angkuh. "Dia benar. Sekarang, beri tahu siapa musuh kami sebenarnya supaya kami memiliki gambaran jelas tentang apa yang harus kami lawan."
"Begini," ujar Dhart sambil menggaruk belakang kepala, "pihak akademi sendiri masih mencari tahu siapa pelakunya. Kalau soal tujuan utama si pelaku sudah jelas—dia sendiri yang meninggalkan pesan di ruang kepala akademi."
Rin bersiul kagum dengan tangan terlipat di depan dada. "Orang itu cukup gila, meninggalkan pesan sejelas itu," celetuknya.
"Langsung di ruang kepala akademi," timpal Chici.
"Ada dua kemungkinan." Dhart menunjukkan dua jarinya yang terbungkus sarung tangan hitam. "Pertama, pelakunya adalah orang bodoh yang menganggap dirinya cukup kuat. Kedua, pelakunya adalah orang yang benar-benar kuat."
Kimber menaruh kedua siku di atas meja, menautkan jari-jarinya. "Kemungkinan kedua lebih masuk akal. Mana mungkin orang bodoh sok kuat bisa menembus lapisan pelindung akademi tanpa terdeteksi."
"Belum lagi orang itu masih berkeliaran, membunuh murid-murid tak bersalah di tempat sepi." Lau menambahkan. Dia tampak frustrasi, menyibak poninya ke atas dengan jemari dan menyandarkan kepala pada dinding di samping.
"Sepertinya itu baru gertakan," ujar Rin, "supaya seisi akademi panik. Itu akan memberinya kesempatan untuk menjalankan rencana sesungguhnya. Dia menargetkan Permata Elang, bukan? Tentu dia tidak bisa langsung mencurinya."
"Tewas dengan dada bolong, Rin. Permata Elemen mereka diambil secara paksa dan dihancurkan." Anna berujar sambil memainkan beberapa helai rambutnya. Tatapan matanya yang teduh terkunci pada permukaan meja. "Kalau hanya gertakan, itu terlalu brutal."
Rin mendengkus, kesal Anna tidak menangkap maksudnya. "Coba pikir lagi. Apa untungnya orang itu membunuh murid-murid tak bersalah? Tidak ada, berarti itu hanya gertakan. Bedakan gertakan seorang penjahat dengan gertakan temanmu yang sedang naik pitam."
Sekali lagi kelas hening. Anna dan Rin saling tatap dengan sengit, sementara yang lain mengawasi mereka dari ekor mata.
Dhart yang masih setia bersandar pada papan tulis kelas bertepuk tangan dua kali. "Cukup. Mau diskusi atau debat sepanjang apa pun tidak ada gunanya sekarang. Lebih baik kalian kembali ke kamar masing-masing. Serahkan masalah ini pada pihak akademi dan jangan ikut campur untuk sementara waktu."
。:゚(☆)゚:。
Rin berbaring di atas kasurnya dengan satu tangan terangkat, menghalau cahaya lampu kamar. Gadis itu tidak banyak bicara sejak kembali dari kelas Z secara terpaksa.
Di kasur sebelah, Shela tengah tiarap sambil membenamkan wajahnya dalam bantal putih nan empuk. Sesekali dia mengangkat kepala, mengecek jam tangan di atas nakas.
Censia yang belum lama pindah ke kamar itu duduk di bingkai jendela. Dia sibuk bermain dengan bola-bola cahaya mungil yang diciptakannya untuk menghibur diri.
Hari sudah malam dan keadaan dalam kamar itu masih saja canggung. Bukannya bercakap-cakap seperti biasa, ketiganya justru tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Shela mulai gelisah di ranjangnya. "Lama sekali," gerutunya sambil berguling-guling tidak jelas. Tanpa disadari, dia berguling terlalu jauh hingga jatuh ke lantai.
Bunyi benda berat jatuh ke lantai disertai jeritan tertahan itu membuat Rin sontak bangun. Rin menahan tawa saat mendapati Shela terbaring di lantai sambil mengeluh. "Shela, entah sudah berapa kali kau jatuh karena guling-guling tidak jelas," ujar Rin buru-buru sebelum tawanya pecah.
Di sisi lain, Censia yang tadinya bersantai di bingkai jendela hampir jatuh ke luar. Censia mengintip ke bawah dengan tubuh gemetaran. Setelah meneguk ludah kasar, Censia bercicit, "Bisa mati aku kalau jatuh dari sini."
"Tidak juga. Paling cuma patah tulang," sahut Shela begitu membenarkan posisi di lantai.
Censia pun turun dari bingkai jendela dengan hati-hati, kemudian berkacak pinggang di depan Shela. "Oh, ya? Coba buktikan. Ini lantai dua, lo."
"Sudah pernah tahun lalu. Kakiku patah—aku lupa cedera apa saja yang kualami selain itu." Rin berusaha mengingat sambil memejamkan mata.
Censia menatap Shela dengan mata terbuka lebar seakan bertanya apa itu benar.
"Itu benar-benar terjadi. Untunglah dia selamat—tapi kurasa otaknya sedikit bergeser sejak kecelakaan itu." Shela manggut-manggut dengan tangan terlipat di depan dada.
"Hei, aku dengar itu!" seru Rin mendelik.
Di tengah keributan antara Rin dan Shela, pintu kamar diketuk. Rin yang paling dekat dengan pintu pun membukanya.
"Hai, kalian ikut atau tidak malam ini?" tanya Anna cengar-cengir.
Seketika raut wajah Rin dan Shela berubah ceria, sedangkan Censia mengernyit heran.
"Akhirnya! Aku bosan dikurung di sini," jawab Shela yang langsung keluar melewati Censia. Namun, Shela kembali masuk begitu menyadari dirinya tidak memakai alas kaki.
"Chici sama Kiki mana?" tanya Rin yang sudah siap di ambang pintu.
"Mereka sudah di sana dari tadi. Kenapa kalian lama sekali sampai harus kujemput?" Anna bersedekap, mengetuk-ngetuk lantai dengan ujung kaki.
Rin di hadapannya melongo. "Bukannya kalian bilang bakal jemput kami baru pergi ke sana?"
Satu jitakan mendarat mulus di dahi Rin tepat setelah dia menyelesaikan kalimat.
"Sejak kapan ada yang bilang begitu!" seru Anna, orang yang meluncurkan jitakan tersebut.
"Tunggu dulu!" Censia merentangkan tangan di ambang pintu, menahan Shela yang hendak keluar. "Kalian mau ke mana malam-malam begini?"
Rin menjentikkan jari seraya meringis. "Ah, tadi kamu ke asrama duluan sih. Rencananya kami mau ke suatu tempat—"
"Suatu tempat itu di mana? Bicara yang jelas," potong Censia.
"Sulit dijelaskan. Kita langsung ke sana saja," gerutu Shela sembari mendorong tubuh mungil Censia.
"Hei, aku belum pakai alas kaki!"
Clouchi's note:
Wow, Clou update tiga hari berturut-turut. Ada apa gerangan? Apa ini tanda-tanda hibernasi lagi? /G
Bukan dong. Kebetulan lancar karna cerita ini pake outline. Ya, outline. Akhirnya Clou menggunakan outline dengan benar, gak setengah-setengah.
Sejauh ini mereka banyak omong, ya. Capek liatnya. Pengen lompat ke bagian akhir arc 1 aja terus lanjut arc 2.
Sudahlah, Clou ikutan banyak omong di sini. Sampai jumpa kapan-kapan~
.
.
.
Kritik dan saran membangun sangat diterima ^^)/
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro