Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

── satu ; itrium

Apakah kau tahu arti dari kehidupan?

Kata itu dapat diartikan dalam berbagai macam aspek. Terlepas dari banyaknya orang di dunia ini. Pun mereka yang memiliki pola pikir tak sama. Yang pada akhirnya menciptakan berbagai variasi arti.

Ah, apa kau penasaran arti kehidupan bagi diriku sendiri? Well, jika kau tak ingin tahu atau tidak penasaran, anggap saja demikian.

Berbeda dengan orang-orang yang berlomba-lomba menggambarkan kehidupan sebagai sesuatu yang mengandung estetika di dalamnya, bagiku kehidupan ialah abu-abu. Bukan hitam, ataupun putih. Terjebak di antaranya yang justru mengundang keambiguan.

Jangan tanya mengapa aku berpikir demikian. Ini hanyalah sebatas pemikiranku sendiri yang berbeda dari orang lain. Juga bisa dikatakan... aneh.

Ya, aku sendiri memang mengakui bahwa diriku aneh. Tipe MBTI-ku adalah INFP. Aku tidak mengerti mengapa aku bisa mendapatkan tipe mediator seperti itu, di kala perkataanku terkadang menyakiti perasaan orang lain karena terlalu benar dan sesuai fakta. Salahkan mereka yang tidak paham dengan diri mereka sendiri sehingga akulah yang harus menyadarkannya. Yah, bukan sepenuhnya salah mereka juga. Ada secuil dari bagian itu yang merupakan peranku. Haha, aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali aku bertengkar hingga menjambak rambut orang lain.

Karena terlalu lama melamun dalam pikiranku sendiri, aku baru tersadar jika saat ini aku masih berada di dalam kelas. Tepatnya di mata pelajaran Kimia yang tidak pernah kumengerti. Struktur kimia yang terlalu rumit dan nama-nama senyawa yang jika kau lupakan maka kau tak akan bisa mengerjakan soalnya membuatku membenci pelajaran ini.

Omong kosong jika ada di antara kalian yang mengatakan bahwa pelajaran Kimia lebih mudah dibandingkan dengan Fisika. Dulu aku memang mempercayai hal itu, ketika aku masih berada di ambang kebingungan harus memilih jurusan di antara IPA atau IPS. Ingatanku yang bagus namun karena aku tak terlalu suka menghafal membuat diriku berakhir di jurusan IPA. Yang konon katanya semua siswa maupun siswi di jurusan ini merupakan titisan Albert Enstein.

Mereka memang hanya mengetahui Albert Enstein saja. Padahal banyak yang lebih terkenal dibandingkan beliau. Michael Faraday, contohnya. Beliau merupakan ilmuwan favoritku. Nama Michael Faraday terkenal tak hanya di pelajaran Fisika saja. Namun, di pelajaran Kimia pun demikian. Beliau yang menjelaskan bahwa listrik dapat dihasilkan dengan menerapkan kinerja elektrolisis, yaitu pemecahan apalah itu. Aku tak terlalu ingat. Lagi pula, aku tidak ingin membuat book ini menjadi sebuah artikel di Wikipedia.

"Oi, (Y/n)."

Bisikan yang terasa menggelikan di permukaan kulit itu membuatku menoleh ke sumber suara. Di sisi kiriku, teman paling akrab selama aku duduk di bangku SMA rupanya memanggilku.

"Apaan?" sahutku malas. Jujur saja, aku sudah melesat ke pulau kapuk apabila aku tidak dipaksa untuk menulis narasi di atas.

"Aku mau pinjem penghapusmu. Boleh gak?" tanyanya. Wajahnya tampak biasa saja. Tetapi kurasa temanku itu membutuhkan penghapus milikku lebih dari oksigen. Yah, ini terlalu berlebihan.

"Oh, boleh. Nih." Aku memberikan penghapus milikku yang sudah berukuran kecil karena terlalu sering kupakai. Berukuran kecil bukan karena kupakai ketika menghapus rumus-rumus yang salah kugunakan, melainkan karena aku memakainya untuk menggambar. Jangan terkejut jika di buku paketku terdapat sketsa husbuku menyasar di mana-mana.

"Makasih, (Y/n)! Nanti aku traktir di kantin," katanya dengan wajah yang... bahagia? Memangnya ada orang yang bahagia ketika ingin mentraktir orang lain? Hei, dompetmulah yang sedang dipertaruhkan, mengapa kau justru merasa bahagia?

"Ya, terserah, Ki. Tapi, yang lebih penting, balikkin penghapusku nanti."

Kiki hanya terkekeh dan menjawab ya. Aku tidak terlalu yakin kalau ia akan mengembalikannya nanti.

Sepertinya aku baru saja menyebut nama temanku itu. Aku memang sengaja tak menjelaskannya di awal agar kalian merasa penasaran. Namanya Kiki. Bagiku, Kiki itu orangnya asyik dan menyenangkan. Sekaligus sebagai 'tempat sampah' yang paling nyaman digunakan. Meskipun sifat jahilnya sudah pangkat kuadrat.

Banyak yang mengira bahwa kami berpacaran. Pfft, aku tidak mungkin berpacaran dengannya. Kami itu bak pinang dibelah kapak. Hanya saja salah satunya dibawa pergi hingga berpisah jauh dengan yang lainnya. Well, intinya kami bukan kembar. Hanya teman.

"Mau ditraktir apa? Kamu harus makan makanan yang gak akan memperparah lambungmu itu lho," ujarnya. Aku yang hendak menjawab 'mie ayam' pun hanya bisa kembali menelan nama makanan itu ke dalam kerongkongan.

"Kalau gitu, terserah kamu. Aku bukan pemilih-milih makanan," jawabku jujur.

"Oke." Ia mengacungkan jempolnya dan kembali mencatat. Sementara aku menatap Kiki sejenak, lalu memikirkan wajah husbuku yang mana yang harus kugambar di buku paketku hari ini.

***

"Hei, (Y/n)!"

Seruan itu membuat Kazuha di layar ponselku tergelincir dari tebing dan terjatuh. Mengakibatkan tubuhnya berubah menjadi debu dan diganti dengan karakter berwarna biru penyuka es krim.

"Apa?" sahutku ketus. Ia telah membunuh Kazuha-ku. Jadi, aku tak boleh beramah-tamah dengannya. Namun, niat itu pun gagal ketika aku melihat wajahnya yang selalu tampak datar di kondisi apapun. Kini aku lebih memilih Kazuha-ku saja yang mati dan aku hanya perlu pergi ke Statue of Seven daripada nyawaku yang melayang karena ular peliharaannya.

"Lagi ngapain? Nguli di Genshin Impact?" Ia melirik ke layar ponselku. Aku sontak menariknya menjauh.

"Kamu ngapain ke sini, Sho?" tanyaku, mengabaikan pertanyaannya yang sebelumnya. Toh jawaban dari pertanyaan itu sudah sangat jelas.

"Ngajakkin kamu ke kantin. Yang lain udah pada ngumpul di sana. Cuma kamu aja yang gak ada," jawabnya lagi.

"Aku 'kan gak suka tempat rame. Kenapa sih kalian selalu makan di kantin kalau lagi istirahat?" Aku mengernyit heran. Apakah teman-temanku itu tidak terganggu dengan ramainya suasana kantin? Terkadang aku tidak mengerti mengapa bisa berteman dengan mereka.

Ia menatapku. "Karena emang itu kegunaan kantin, (Y/n). Ayo, cepet." Ia hendak menarik tanganku, namun aku menepisnya.

"Aku mau duduk di sini saja. Lagi pula, aku lagi gak mau makan apa-apa," tolakku.

"Kamu lupa? Kiki mau traktir kamu, 'kan? Lagi pula, maag-mu itu bisa kambuh kapan aja."

Seketika aku teringat dengan perkataan Kiki tadi pagi. Aku terlalu sibuk dengan ponselku hingga melupakan traktiran dari temanku itu. Lagi pula, siapa yang tidak menyukai hal gratis? Well, tentang penyakit sialan bernama maag yang membuatku tak bisa memakan makanan yang kuinginkan itu memang sudah diketahui oleh semua teman dekatku. Yang tidak kumengerti adalah mengapa mereka jauh lebih peduli daripada diriku sendiri?

"Ya. Kamu bener."

Aku pun menyetujuinya. Kurasa aku harus menyiapkan mentalku karena akan berada di tempat ramai.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro