── dua puluh satu ; intensitas
Kak Mars menginjak rem tepat ketika mobil yang dikendarainya sudah diparkirkan dengan sempurna. Ia turun dari mobil lebih dahulu. Aku pun menyusul langkahnya yang sudah berjalan ke arah pintu masuk mall.
Suasana mall yang ramai langsung menyambut kami begitu menginjakkan kaki di atas permukaan lantai. Setelah menaiki escalator, Kak Mars membawaku ke food court. Tempat di mana berbagai makanan dijual di sana. Tidak hanya itu, ada begitu banyak orang yang juga tengah duduk dan menikmati makanan mereka.
Kami pun merupakan salah satunya. Kak Mars secara tak langsung menyuruhku untuk duduk terlebih dahulu. Sementara dirinya pergi memesan makanan. Aku pun diam di sana. Memperhatikan suasana di sekitarku yang lumayan ramai.
Cukup lama aku terdiam di sana, hingga Kak Mars yang menyadarkanku. Wajahnya tampak mengernyit heran ketika aku melihatnya. Menandakan bahwa kakakku itu merasa bingung karena aku hanya melamun sejak tadi. Rupanya ia sudah kembali duduk di depanku.
Suasana kembali hening. Aku sendiri tidak tahu harus memulai percakapan yang seperti apa. Terlebih, Kak Mars-lah yang berada di hadapanku saat ini. Sosok kakak yang jarang kuajak bicara. Mencari topik pembicaraan yang bisa diangkat menjadi obrolan terasa sangat sulit saat ini. Padahal aku sendiri bukanlah tipe orang yang susah untuk berbincang.
"Gimana sekolahmu?"
Sontak aku mengangkat kepalaku dan mengalihkan tatapan dari kedua tanganku yang menumpu di atas meja. Kak Mars juga tengah menatap ke arahku. Menunggu jawaban yang akan aku beritahu padanya.
"Lancar, Kak," sahutku singkat.
"Tentang SNMPTN, gimana? Kamu diterima gak?" Kak Mars bertanya seraya memberikan tatapan yang sama ke arahku. Aku sontak mengalihkan pandanganku darinya. Menghindari netranya itu.
"Aku nggak diterima, Kak. Maaf."
Seusai aku mengeluarkan jawaban itu, Kak Mars menghela napas. Aku tidak ingin menatap ataupun melihat bagaimana reaksi kakakku saat ini. Mendengar dari helaan napas yang dikeluarkannya tadi, sudah dapat dipastikan bahwa ia akan memarahiku karena aku tidak berhasil lolos.
"Kenapa kamu malah minta maaf? Itu bukan salahmu. Justru seharusnya kamu merasa termotivasi untuk menjadi lebih lagi. Bukannya kayak gitu?"
Untuk sejenak, aku tertegun akibat perkataan Kak Mars. Untaian kata yang ia ucapkan itu tidak pernah sedikit pun terlintas di dalam kepalaku. Aku pikir, Kak Mars tidak akan pernah mengatakan hal-hal bijak yang bisa mengubah kehidupan seseorang.
Namun, sepertinya ia bisa.
***
"Kamu di mana?"
Seusai mendengar pertanyaan singkat itu, aku pun mengedarkan tatapanku ke sekitar. Yang kudapati adalah pandanganku yang terhalang oleh derasnya hujan. Ribuan tetes air itu membasahi permukaan aspal. Sekaligus membuat orang memilih untuk berteduh sejenak. Sama seperti aku saat ini.
"Aku di halte bus dekat sekolah, Sho. Tapi, ini hujannya gede banget. Kamu gak apa-apa kalau jemput aku?" ujarku merasa bersalah. Khawatir merepotkan Sho, temanku itu. Ia memang menyalonkan diri sebagai supir pribadiku. Namun, bukan berarti aku tak pernah merasa merepotkan dirinya.
"Gak apa-apa. Kamu tunggu di situ."
Usai Sho berujar demikian, sambungan telepon itu pun dimatikan. Aku melirik sekilas ke arah sederet angka yang tertera di layar.
2:37.
Hanya selama dua menit tiga puluh tujuh detik Sho menghubungi aku. Sebelum kemudian ia pun memutuskan panggilan itu secara sepihak. Aku tidak mempermasalahkan hal itu. Toh Sho memang demikian. Ia jarang sekali berbicara panjang di telepon, maupun secara tatap muka.
Aku pun memasukkan ponselku kembali ke dalam saku. Sementara, pandanganku aku edarkan ke sekitar. Melihat ke arah segerombol remaja seumuran denganku. Mereka tampak berjalan beriringan dan beberapa kali tertawa karena ucapan salah satu dari teman mereka.
Ah, melihat keakraban itu membuatku teringat dengan teman-temanku sendiri. Pertemanan yang memang seharusnya hanya sekedar teman belaka. Namun, berubah menjadi hal yang sebaliknya dikarenakan perasaan yang tak disengaja tumbuh di antaranya. Aku pun tidak tahu mengapa semuanya menjadi seperti ini. Tetapi, aku pikir hal ini hanya dirasakan oleh diriku sendiri. Tidak dengan teman-temanku yang lain. Mengingat aku selalu merahasiakan semuanya dari mereka.
Suara mesin motor yang mendekat membuatku mengalihkan tatapan ke arah sumber suara. Seorang lelaki dengan helm full face-nya menghentikan suara mesin motor itu. Kemudian, ia membuka helmnya dan menampakkan paras tampannya itu. Untuk sesaat, aku sempat tertegun melihatnya. Selama ini, pandangan dan pikiranku selalu tertuju pada Kiki. Yang membuatku lupa dengan temanku yang lainnya.
"Naik, (Y/n)."
Pikiranku kembali teralih pada Sho. Ia memberikan sebuah helm padaku. Aku pun menerimanya dan segera memakainya. Tak ingin membuat Sho menunggu lebih lama, aku langsung naik ke atas motor setelahnya.
"Udah siap?"
Aku mengangguk. "Udah."
Seusai satu kata itu terlontar, suara mesin motor mengalun di udara. Menciptakan kebisingan yang terdengar setelahnya sesaat kemudian.
***
Aku menyodorkan helm yang baru saja kulepas kepada Sho. Ia menerimanya setelah melepas helmnya sendiri. Aku merapikan letak tas ransel di punggungku. Lalu, menatap ke arahnya.
"Makasih udah anterin aku pulang, Sho."
Lagi-lagi, untaian kata yang sama aku utarakan padanya. Sho pun bereaksi serupa di setiap kali aku berkata demikian. Ia mengangguk dengan ekspresi datarnya. Namun, rupanya kali ini ada yang berbeda. Tangannya itu bergerak ke atas kepalaku. Mengacak-acak rambutku hingga menghalangi pandangan.
"Jangan lupain tanggal, (Y/n)."
"Hah?"
Aku sontak menganga begitu mendengar ucapannya yang mengherankan itu. Kupikir, aku salah dengar ketika Sho mengatakannya. Mengingat perkataan yang ia ucapkan itu sama sekali tak ada hubungannya dengan apa yang terjadi saat ini. Namun, ketika aku hendak bertanya apa maksudnya, Sho lebih dulu memberikan sebuah kotak di hadapanku.
"Buat kamu. Happy birthday, (Y/n)."
Ah. Benar. Aku melupakan ulang tahunku sendiri. Juga, orang yang paling tidak kusangka justru mengucapkan selamat dan memberikan sebuah kado untukku.
"Niatku, aku mau kasih kado itu kemaren. Pas kamu ulang tahun. Tapi, kamu malah pulang duluan. Gak bareng sama aku. Jadi, ya udah baru bisa aku kasih sekarang," ujarnya menjelaskan. Merupakan perkataan yang cukup panjang bagi seorang Sho.
Sekali lagi, aku menatap kotak pemberiannya itu. Ukurannya sedang, namun pasti berisi sesuatu di dalam sana. Sejenak, aku hanya bisa termangu. Melupakan keberadaan Sho di hadapanku. Setelahnya aku kembali menengadahkan kepala, menatap ke arahnya.
Dengan senyuman di wajah, dan mata yang menyipit, aku pun berucap, "Terima kasih banyak, Sho."
***
Yo minna!
Apakah kalian masih ingat dengan alur cerita ini? Kalau masih, kalian hebat. Kalau tidak, berarti kalian sama denganku.
Karena sejujurnya aku sendiri sudah agak lupa awoakoawok-
Maaf sudah membuat kalian menunggu lama. Dikarenakan aku sibuk kuliah, cerita ini pun jadi terbengkalai. Sebenarnya gak cuma ini aja yang terbengkalai sih, tapi semuanya ༎ຶ‿༎ຶ
Kuucapkan terima kasih karena sudah membaca dan juga meninggalkan jejak di sini. Love you all♡
I luv ya!
Wina🌻
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro