── dua ; mikro
Meskipun aku termasuk tipe orang introvert, bukan berarti aku benar-benar seratus persen pendiam dan tak memiliki teman. Bisa dikatakan, aku akan menjadi lebih cerewet dan berisik ketika berada di lingkungan yang nyaman atau sefrekuensi denganku. Dan akan menjadi pendiam serta irit bicara apabila aku berada di lingkungan dan suasana yang baru.
Daripada kalian penasaran siapa saja orang yang mau berteman denganku, maka mereka akan kuperkenalkan satu per satu.
Yang pertama adalah Kiki. Dari teman-temanku yang lain, Kiki-lah yang paling akrab denganku. Aku sudah kebal dengan sifatnya yang jahil itu meskipun terkadang masih membuatku kesal. Pertemanan yang dibuat sejak masih duduk di bangku sekolah dasar hingga kelas tiga SMA telah membuat kami menjadi dua orang yang saling mengenal satu sama lain.
Selanjutnya ialah Shoto, lebih akrab dipanggil Sho. Merupakan orang yang mengajakku ke kantin tadi dan kini berjalan di hadapanku. Sho itu memiliki sifat yang pendiam, menurutku. Entah mengapa, ia bisa berada di klub Animal Lovers, bukan anime lovers, lho. Aneh, memang. Namun yang lebih aneh adalah fakta bahwa Sho merupakan salah satu teman akrabku.
Berikutnya adalah Amu. Amu itu sangat baik. Selera kami yang sama terhadap suatu hal membuat kami menjadi akrab. Menggambar adalah kesukaan Amu. Karena hal itu juga, aku ikut terseret ke sana. Membuat kami berada di klub menggambar dengan dirinya sebagai ketua.
Yang selanjutnya itu Upi. Upi pernah bilang padaku; katanya, Kiki menyukai diriku. Aku yang seperti ini disukai oleh lelaki itu? Pfft, dunia sedang bercanda rupanya. Lagi pula, kami hanya teman. Tidak lebih dan tidak kurang. Anyway, Upi juga anak yang asyik. Meskipun terkadang aku dan Amu berakhir membolos karena ulahnya, namun aku tetap saja merasa senang ketika melakukan hal itu. Well, kami memang aneh.
Yang terakhir adalah Toro. Sebagai informasi penting, Toro itu jago masak. Apapun bisa ia masak. Lalu, bagaimana dengan rasanya? Jangan ditanya lagi. Mungkin masakan Toro akan menjadi makanan paling enak yang pernah kalian makan.
"Lho? Kok kita gak jadi ke kantin?" Aku bertanya ketika kami tidak berjalan ke arah kantin. Melainkan ke tempat lain yang sudah kukenal.
"'Kan kamu gak suka tempat rame. Jadi, kita ganti tempatnya." Amu yang menjawab pertanyaan keherananku. Ia melemparkan senyum setelah berkata demikian. Yang kubalas dengan kebingungan.
"Tumben," balasku.
Setelah tiba di warung baksonya Teteh, aku duduk di sana. Diapit oleh Amu dan Upi. Keduanya pun memesan. Namun, sesaat setelah mereka memesan makanan, aku tersadar suatu hal.
"Lho, Kiki ke mana?" Aku menoleh ke kanan-kiri. Mencari keberadaan lelaki bersurai biru itu.
"Katanya lagi ke toilet," jawab Sho acuh. Sho ternyata tidak makan. Entah, mungkin ia sedang tidak lapar.
"Oh, gitu. Ya udah, aku pesennya nanti aja deh. Tunggu Kiki dateng. Nanti gak ada yang bayar," kataku seraya mengeluarkan ponsel dari saku rok abu-abuku.
"Cie, yang mau ditraktir sama Kiki."
Siapa lagi kalau bukan Upi yang berkata demikian? Gadis itu menyenggol lenganku dengan lengannya sendiri. Membuatku menatapnya tak paham.
"Kenapa, Pi? Toh ini cuma ditraktir, 'kan?" tanyaku heran. Ya, sesuai perkataanku. Toh ini hanya sebatas traktiran antarteman. Benar, bukan?
"Ceilah. Aku 'kan udah bilang sama kamu waktu itu. Kiki suka sama kamu, tapi kamunya yang gak peka, (Y/n). Tanya aja Amu. Bener 'kan, Mu?" Upi menaik-turunkan alisnya. Meminta persetujuan Amu yang duduk di sisi kiriku.
"Bener!" Amu mengacungkan ibu jarinya di depan wajahku. Membuat tubuhku sedikit mundur.
Astaga, apa yang teman-temanku pikirkan?
Sebenarnya, aku tidak keberatan sama sekali jika harus membayar makananku sendiri. Tetapi, karena Kiki sudah berkata akan mentraktirku, alhasil aku menunggunya lebih dahulu. Meskipun tidak seratus persen yakin jika Kiki akan muncul dan benar-benar mentraktir.
"Aku aja yang bayar."
Itu bukan suara Kiki. Aku menoleh, lalu mendapati seorang lelaki yang aku kenal, juga tidak kukenal di saat yang sama. Sebagian surainya berwarna biru. Namun, tetap didominasi oleh nuansa putih.
"Psst, Upi!" bisikku, memanggil Upi yang tengah sibuk memasukkan sambal tambahan ke mangkuk baksonya. Melihat warna kuahnya yang sangat merah, seketika membuatku merasa lapar.
"Kenapa, (Y/n)?" tanyanya tanpa menoleh.
"Itu... yang di belakang kita siapa?" tanyaku bingung. Aku sangat yakin jika Upi pasti tahu siapa sosok di belakang kami itu. Aku memang pernah melihatnya, sepertinya ia dari kelas sebelah.
"Itu Enzo, (Y/n). Kamu gak tau?" tanya Upi kaget. Wajar kalau ia terkejut. Pasalnya aku memang tidak tahu-menahu selain teman sekelasku.
Aku hanya menggeleng. Membuat Upi semakin menganga. Mengabaikan Upi dengan ekspresinya yang demikian, aku pun berinisiatif untuk memanggilnya.
"Nama kamu Enzo, 'kan?" Aku memastikan lagi. Sangat tidak lucu jika aku salah. Meskipun Upi-lah yang memberitahukannya padaku.
"Iya."
"Ah, kamu gak usah bayarin punyaku. Nanti uangmu abis lho. Soalnya aku makannya banyak," kataku diselingi dengan kebohongan. Well, sejujurnya, satu porsi bakso buatannya Teteh sudah sangat cukup bagiku.
"Lo denger apa katanya, 'kan?"
Aku terlonjak kaget ketika tiba-tiba mendengar suara yang sudah sangat kuhafal itu. Tersangka utamanya, Kiki, sedang menatap sengit ke arah Enzo. Err... aku tidak tahu mengapa lelaki itu menatapnya demikian. Mengingat aku bahkan tidak mengenal siapa itu Enzo. Apakah ia merupakan temannya Kiki? Mungkin benar demikian. Hanya saja aku yang tidak tahu.
"Iya, denger," sahut Enzo. Sekali lagi ia menatapku sebelum berlalu dari sana.
"(Y/n), kamu udah pesen?"
Aku kembali mengalihkan tatapanku ke arah Kiki. Yang ditatap pun melakukan hal yang sama. "Belum," jawabku.
"Kalo gitu, tunggu aja di sini. Biar aku yang pesen," ujarnya. Kemudian, Kiki berseru pada Teteh, "Teteh! Baksonya dua porsi, ya!"
Sesuai perintah Kiki, aku kembali ke tempat dudukku tadi. Namun, menyadari Amu dan Upi yang berpindah tempat, seketika aku mengernyit heran. Mengapa mereka melakukannya? Ketika aku menatap mereka, keduanya hanya mengacungkan jempol dengan ekspresi yang sama, namun sulit kuartikan.
Dengan kebingungan yang ada, aku memilih untuk duduk di tempat mereka sebelumnya. Tentu saja, dengan kesendirian yang menyelimuti. Beban yang seketika bertambah di sisi kananku membuatku menoleh. Kemudian mendapati Kiki duduk di sana.
"Kamu lebih suka bakso atau aku?"
"Hah?"
Seketika aku melongo. Pertanyaan tiba-tiba dari Kiki itu tentu saja membuatku tak paham. Apa maksudnya?
"Nih pesenannya."
Perhatianku teralihkan pada dua mangkuk yang berisi bakso di hadapan kami. Teteh yang membawakannya. Setelah berucap terima kasih dan berdoa, aku memutuskan untuk menambahkan sambal ke dalam mangkuk. Namun, aku baru tersadar ketika botol sambal yang biasanya berdiri santuy di atas meja, kini telah tiada.
Kala aku menoleh ke kanan dan mendapati Kiki yang sudah tidak duduk di sana, aku pun langsung mengetahuinya. Aku bangkit dari dudukku. Lalu mengejar dirinya yang sudah jauh beberapa meter di depanku.
"Kiki! Sambalnya mau kamu bawa ke mana?!" seruku kesal.
"Kamu gak boleh makan sambal, (Y/n)! Nanti maag-mu kambuh lho!" balas Kiki dari depan sana.
Kurasa kalian sudah tahu bagaimana akhir dari chapter ini.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro