── delapan ; upsilon
"Hidup, (Y/n)!"
Seruan itu menggema paling keras ketika aku baru saja masuk ke kelas. Permen yang biasa aku dapat dari Amu, kini kembali ada di meja kelasku. Aku tersenyum melihatnya. Namun, kembali disadarkan oleh fakta bahwa teman-temanku itu berseru dengan kompak. Bahkan Sho dan Toro pun ikut serta berpartisipasi. Entah hal apa yang merasuki keduanya.
"Kamu hebat, (Y/n)! Aku aja sampe gak perlu ngomong apa-apa!" seru Upi di depan wajahku. Aku bahkan bisa merasakan semangatnya yang menggebu-gebu itu.
"Lho, (Y/n)? Pipi kamu kenapa merah kayak gitu?" Amu-lah yang bertanya. Melihat wajahnya yang sudah tampak lebih bahagia, seketika aku tersenyum tipis.
"Hah? Oh, ini. Aku, aku gak sengaja nampar pipiku terlalu keras pas ada nyamuk yang gigit aku," jelasku singkat seraya menyengir.
"Nyamuknya gak apa-apa 'kan?" tanya Amu panik dan tampak khawatir. Astaga, Amu. Kamu lebih peduli dengan nyamuknya daripada aku ya? Huft... Aku memang sudah tidak terkejut dengan sifat Amu itu, sih.
"Nyamuk gak apa-apa kok. Ia udah keburu terbang duluan sebelum sempet kutepuk," jawabku lagi.
"Oh, gitu. Syukurlah." Ia tersenyum lebar. Lalu, menepuk-nepuk kepalaku.
Aku berbohong. Merah di pipiku itu bukan karena tamparanku sendiri. Bukan karena seekor nyamuk yang nakal. Melainkan karena ibuku.
***
Kutatap langit yang tampak kelabu. Tidak indah sama sekali. Namun, sangat sesuai dengan perasaanku saat ini. Terasa tepat hingga aku tak perlu lagi meragukannya.
Kursi yang sebelumnya hanya diduduki olehku kini terisi oleh orang lain. Ketika aku menoleh untuk melihat siapa orangnya, surai warna biru miliknya itu menjadi objek pertama yang kulihat.
"Eh, Ki," sapaku.
"Ngapain sendirian di sini? Nanti digangguin setan lho," ujarnya. Seperti biasa, jahil.
"Lah? 'Kan kamu setannya, Ki," balasku asal.
Aku kira Kiki akan marah atau setidaknya mengumpat karena aku berkata demikian. Namun, lelaki itu justru malah terkekeh dan menatapku lagi.
"Setannya suka sama kamu lho."
Mendengar ucapan Kiki, aku mendengus sebelum tertawa. "Gak kaget sih kalo ada setan yang suka sama aku. Auraku aja serem kayak gini. Pasti udah dianggep satu umat sama mereka."
Kiki hanya tertawa. Ia tak merespon ucapanku lagi. Sesaat kami pun terdiam. Menikmati hembusan angin yang tiba-tiba bertiup dari arah yang tak diketahui.
"(Y/n), kalo lagi ada masalah tuh cerita. Jangan dipendem sendiri. Nanti ke isekai sendirian, lho."
Sontak aku menoleh. Hal pertama yang kulihat adalah senyuman Kiki. Sebuah senyum yang sudah sering kulihat namun tak bermakna apa-apa selain kejahilan di baliknya. Tetapi, kini seketika senyuman itu tampak berbeda. Seolah-olah terdapat chemistry lain yang tidak bisa kujelaskan.
"Merah di pipi kamu itu bukan karena kamu tampar sendiri, 'kan?" tanya Kiki lagi.
Yah, jika sudah disudutkan seperti ini, aku bisa apa? Aku hanyalah seonggok manusia yang memiliki perasaan. Yang pastinya akan menangis kencang jika diri sudah tak kuasa menahan air mata lagi.
"Yah, ketauan deh," gumamku kecewa.
"Ngapain juga ditutup-tutupin, (Y/n). Skill ngebohong kamu emang payah dari dulu," kata Kiki sambil mendengus pelan. "Jadi, mau cerita atau nggak?"
"Mau deh. Bener kata kamu, lama-lama aku bisa ke isekai nih," ucapku diselipi nada jenaka. Yang dibalas dengan senyum miring dari Kiki.
Pada akhirnya, aku menceritakannya pada Kiki. Meskipun ia tampak tidak meyakinkan, sebenarnya Kiki merupakan pendengar yang baik. Ia tak akan menyela jika aku belum selesai bercerita. Mungkin ini salah satu alasan mengapa aku merasa nyaman di dekatnya, sebagai teman.
"Jadi, itu masalahmu, ya?" Kiki bergumam. Sepertinya ia sudah mulai paham mengenai apa akar permasalahanku. Sebenarnya aku pun paham. Hanya saja, aku tak memiliki solusi yang terbaik.
"Berarti Kak Mars masih ngeselin, 'kan?" celetuk Kiki tiba-tiba.
Aku sontak menoleh padanya. Kemudian, tertawa sebelum mengangguk. "Masih, masih banget."
"Lawan aja, (Y/n)!" Kiki mengepalkan tangannya ke udara. Ia menatapku dengan tatapan yang terlihat menggebu-gebu. Sementara aku hanya memandangnya dengan wajah yang tidak habis pikir.
"Err... gak mungkin, Ki. Gimanapun juga Kak Mars itu kakakku. Aku gak boleh kurang ajar," tukasku pelan.
Kiki hanya menatapku jengah, sepertinya. Mungkin ia tampak lelah dengan diriku. "(Y/n), kamu inget perkataannya Sho gak? Ia cuma menghormati orang yang emang pantas untuk dihormati. Nah, kakakmu itu termasuk pantas gak?"
"Pantas sih, menurutku."
Kurasa jawabanku itu sudah berhasil membungkam Kiki. Namun, bukan karena jawaban itu sendiri. Tetapi lebih ke arah Kiki yang sudah lelah menghadapiku, mungkin. Aku pun tidak tahu tentang apa yang ia pikirkan saat ini.
"Skip dulu masalah Kak Mars. Sekarang kita bahas masalah kamu sendiri. Gimana kalo kamu cari beasiswa? Atau kamu udah cari?" tanya Kiki.
Aku memalingkan wajah ke arah tanah yang sama-sama kami pijak. Di dalam kepalaku seketika terbayang bagaimana perjuanganku selama ini dalam mencari hal tak kasat mata bernama beasiswa itu. Itu sungguh melelahkan.
"Aku udah cari, Ki. Tapi hasilnya gak memuaskan. Sekalipun ada tes beasiswanya, aku yang gak diterima. Emangnya aku sebodoh itu, ya?" ucapku putus asa.
Kutatap langit-langit biru di atas sana. Menerawang jauh entah pada apa. Kini aku mulai mengkhawatirkan seperti apa diriku di masa depan nanti. Hal yang seharusnya tidak perlu kupikirkan saat ini, namun tetap kupikirkan juga. Karena nyatanya, meskipun aku tidak ingin, isi kepalaku masih saja tertuju pada hal yang sama.
"Nggak, (Y/n). Kamu itu pinter. Tapi, masih ada orang lain yang usahanya jauh lebih keras dari kamu. Hingga keliatannya ia lebih pinter dari kamu. Padahal mungkin aja kalo ia itu gak sepinter kamu. Cuma usahanya itu dibuat dua kali lipat dari apa yang kamu lakukan. Jadinya kamu gagal," tutur Kiki.
Perkataan Kiki ada benarnya. Memang, aku tidak tahu bagaimana usaha mereka. Yang kulihat di saat itu hanyalah hasil dari usaha keras yang telah mereka lakukan. Aku yang payah dan mudah menyerah ini pun terhasut karenanya.
"Terus, aku harus gimana, Ki? Kalo bunuh diri gak dosa, aku udah lompat dari atap sekolah. Terus gentayangin kalian deh," ujarku terlampau pasrah. Namun, perkataanku itu benar-benar akan kulakukan seandainya demikian.
"Hush! Jangan ngomong sembarangan! Nanti aku kesepian kalo kamu gak ada. Terus, siapa yang bakal aku apelin tiap pagi kalo kamu gak ada?" Kiki memasang wajah sedihnya. Sementara, aku berpikir sejenak.
"Amu? Atau Upi? Mereka baik kok. Tapi, gak tau mereka mau sama kamu atau nggak," kataku.
"Mereka berdua? Aku sih skip."
"Yah, terserah kamu, Ki," kataku yang sudah kehabisan kata-kata.
Seketika Kiki kembali memasang wajah seriusnya. Ia menatapku. "Sekarang kamu nunggu hasil SNMPTN aja. Kamu juga udah daftar KIP, 'kan?"
"Udah sih. Tapi, tentang SNMPTN itu aku gak terlalu yakin. Prinsipnya sama kayak nge-gacha. Semoga aku dapet soft pity atau nggak 50 per 50 pun gak apa-apa," ujarku dengan wajah yang pasrah. Karena nyatanya aku memang sudah merasa demikian. Sepasrah inilah diriku. Miris, ya.
"Kalo gitu, aku doain supaya langsung dapet tanpa pity-pity-an segala deh!" seru Kiki yang seketika menjadi antusias. Entah ia paham atau tidak mengenai pity yang kubicarakan. Yang, mungkin, hanya terjadi di game terkenal bernama Genshin Impact.
Setelah bercerita pada Kiki, aku merasa sedikit lebih lega. Jauh lebih tenang. Setidaknya, dapat kurasakan bebanku sedikit terangkat. Ternyata bercerita pada seseorang yang kupercayai tidak buruk juga daripada memendamnya seorang diri.
"Makasih, Ki. Makasih banget."
***
Warna merah. Merah cinta.
Aku hanya bisa tersenyum miris seraya tertawa melalui hidung ketika aku membuka layar ponselku. Membaca sederet kalimat singkat yang, entah mengapa, sudah kuduga akan tertulis demikian. Aku sama sekali tidak merasa terkejut jika hasil yang kuterima adalah kenyataan bahwa aku tidak lolos di SNMPTN tahun ini. Justru, aku akan lebih terkejut (mungkin hingga mati kejang-kejang) jika aku lolos begitu saja.
Tetapi, nyatanya aku tetap merasa sedih dan sesak.
Meskipun aku telah berharap untuk kecewa, fakta yang ada bantalku tetap saja basah. Akibat kugunakan untuk meredam tangisku yang brutal ini. Lagi pula, aku tidak ingin siapapun mendengar suara tangisanku yang jelek dan akan merusak telinga mereka.
Kubalikkan tubuhku menatap langit-langit kamar. Aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana air muka Mama ketika beliau mengetahui bahwa aku tidak lolos SNMPTN. Mama pasti akan membanding-bandingkan aku dengan Kak Mars. Dengan tetangga yang lain, pun dengan siapapun yang di matanya jauh lebih baik dari aku.
Ponsel di sebelah kepalaku tiba-tiba bergetar. Aku memang tidak pernah membuat ponselku itu bersuara. Selalu di dalam mode senyap dan dibuat bergetar ketika ada pesan baru atau panggilan telepon yang masuk.
"Halo, Ki?"
"Gimana hasilnya, (Y/n)?"
Seketika aku terdiam. Menarik napas panjang, lalu menghembuskannya. Berkali-kali aku lakukan sampai aku merasa tenang. Namun, pada akhirnya aku tak kunjung merasa tenang. Aku terlalu payah untuk menghadapi masalahku sendiri.
Padahal, aku bisa dengan begitu mudahnya mengatakan hal-hal keren di hadapan ibu Amu. Namun, yang ada saat ini hanyalah air mata yang jauh lebih jujur dari perasaanku sendiri. Ia mengalir begitu saja bahkan sebelum aku sempat menjelaskannya pada Kiki.
"Maaf, Ki. Kayaknya aku mau lompat aja dari atap sekolah."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro