Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sepuluh

Kan, eke khilap.

Kalian rajin komen ama vote sih.

Betewe kalo judul di bab sama awal cerita beda. Maklumin aja yes. Wkwk
Eke ngetik di docs. Tiap bab ada judul. Tp di wp eke cut per 1000 words.

***

Ketika 09

Magnolia tidak mengerti apa yang telah terjadi. Dimas memaksanya pulang saat kondisi pasar masih ramai. Dia tidak bisa menolak karena tangannya ditarik begitu kuat. Bahkan Dimas dengan kasar melemparkan semua barang dagangan Magnolia ke dalam keranjang sepeda gadis itu lalu memerintahkan adiknya untuk duduk di belakang sementara dia duduk di jok depan, mengayuh pedal seperti kesetanan agar mereka cepat sampai di rumah.

Magnolia bisa melihat peluh membasahi tengkuk abangnya. Seragam sekolah putih bersih yang Dimas kenakan tampak jomplang dibanding jaket lusuh dan pudar yang selalu dia pakai. Bahkan sarung tangan yang menampakkan jari-jari tangannya tampak jelek dan robek. Tapi dia tidak mempermasalahkan hal tersebut. Asal tangannya terlindungi dari sinar matahari, tidak mengapa, pikir Magnolia.

“Mamas, kenapa marah-marah? Yaya beliin mie ayam tadi. Mamas sudah makan, kan? Kenapa lo ke pasar? Bukannya jam segini lo mesti les?”

Dimas tidak menjawab. Entah karena jalanan ramai atau dia memang sedang banyak pikiran, Magnolia tidak mengerti. Yang pasti, begitu dia bersuara, Dimas malah mengayuh sepedanya makin kencang. Dimas bahkan melewati begitu saja lubang-lubang dalam yang pada hari sebelumnya telah menyakiti Magnolia. Dia juga hampir menabrak gerobak bakso dan mendapat makian dari pedagangnya. Tapi, bukannya minta maaf, Dimas balik memarahi pedagang tersebut tanpa ragu, sebuah hal yang hampir tidak pernah Magnolia lihat keluar dari bibir abang satu-satunya tersebut.

“Mas. Lo kenapa, sih?”

Magnolia mendapatkan jawabannya lima menit kemudian ketika mereka berdua tiba di rumah. Dimas membiarkan sepeda Magnolia terparkir di pekarangan sementara dia menyeret adiknya kembali ke teras. Saat itu sandal milik mama ada di rumah dan Magnolia sempat melihat Malik sedang memanaskan motor di depan rumah. Pada jam segini, Malik biasanya akan berangkat menuju tempat kursus. Dimas seharusnya juga melakukan hal tersebut. Biasanya dia akan berangkat bersama Malik. Tapi, menurut Magnolia, Dimas seolah tidak peduli dengan hal tersebut dan hanya bernafsu meluapkan kemarahannya yang Magnolia tidak mengerti alasannya. 

“Lo kenapa, sih?” tanya Magnolia begitu Dimas memerintahkannya untuk duduk di kursi teras. Awalnya Magnolia menolak. Mama masih berada di dalam rumah seperti tadi pagi dan dia takut duduk di sana. Mama bakal mengira dia mengotori teras dengan pakaian dan kakinya yang berasal dari pasar.

“Lo yang kenapa!” hardik Dimas, “Gue nungguin lo dari tadi di sekolah. Tapi mereka bilang lo nggak masuk. Dengan mata gue sendiri lo malah asyik jualan di pasar.”

Napas Dimas memburu. Dia menunjuk wajah adiknya berkali-kali. Sinar matanya berkilat penuh kemarahan dan saat ini, kemarahan telah membuat wajahnya merah seperti kepiting rebus. 

“Gue bangun kesiangan.” Magnolia mencoba menjawab dengan jujur, “Bangun setengah sembilan gara-gara begadang.’

“Begadang?” Dimas meninggikan suara. Saat itu juga, mama berlari tergopoh-gopoh menuju teras demi mencari tahu apa yang sedang terjadi, begitu juga Kezia yang lebih dulu tiba di rumah daripada mereka berdua. 

“Ngapain dia? Bikin masalah, Mas?” tanya mama dari ambang pintu. Dia kelihatan amat senang melihat Dimas begitu emosi kepada Magnolia.

Akan tetapi, Dimas tidak menjawab pertanyaan mama dan lebih memilih fokus kepada adiknya. Karena itu juga, Mama dan Kezia memilih masuk kembali ke rumah sambil tertawa-tawa. Akhirnya Dimas membuka mata terhadap Magnolia.

“Lo begadang buat UN dan lo bangun kesiangan? Kenapa lo malah jualan? Kenapa nggak langsung ke sekolah?” Dimas mencengkeram lengan kiri Magnolia dengan amat kasar sehingga adiknya meringis.

“Lo pikir lo doang yang begadang? Gue masih bisa bangun pagi. Segitu susahnya lo nurutin permintaan abang lo buat lulus SMP, Dek. Gue pengen lo masuk SMANSA ta[i lo lebih milih kayak gini. Jualan aja yang lo pikirin. Masa depan lo lebih panjang daripada jualan lap yang nggak ada gunanya itu.”

Air mata Magnolia yang dia tahan-tahan dari tadi menggenang di pelupuk mata. Dia mencoba tidak menangis dan berharap suaranya masih tetap tenang saat membalas ucapan Dimas. Pemuda itu adalah abangnya yang amat dia sayang.

“Gue bangun kesiangan itu bukan kemauan gue. Lo jangan jadikan pekerjaan gue sebagai alasan buat lo nyalahin kenapa hidup gue begini. Kenapa gue lebih milih jualan. Justru karena sadar diri gue milih jualan.”

Magnolia berusaha tersenyum, tapi gagal. Air matanya jatuh sebutir ketika dia susah payah merangkai satu atau dua kalimat lagi.

“Maaf bikin lo malu, bikin keluarga ini malu. Tapi, gue sudah mutusin jualan adalah jalan hidup gue daripada belajar yang cuma ngabisin duit.”

Dimas yang tersinggung karena Magnolia memilih berjualan daripada belajar tanpa sadar melayangkan pukulan ke bahu adiknya sehingga Magnolia nyaris tersungkur dari kursi. Tapi, belum puas sampai di situ, Dimas kembali melayangkan pukulan ke pipi adiknya dan nyaris kesetanan jika saja saat itu tidak dilihat Malik yang sebenarnya hendak mengajak Dimas berangkat les bersama.

“Pukul aja gue!” Magnolia berteriak lantang, “Lo pikir sekolah nggak bayar? Lo pikir baju seragam nggak beli? Untung gue nggak jual diri buat bayarin semua kemauan lo asal gue sekolah. Lo malu lihat gue jualan lap? Selama ini adek lo makan dari situ, nggak ngemis dari kalian semua.”

Magnolia bangkit dan mendorong tubuh Dimas agar menjauh darinya. Air matanya sudah tumpah dan basah. Matanya semerah darah, tapi tidak ada yang lebih sakit daripada ucapan Dimas yang paling dia sayangi.

“Lo berani mukul gue. Lo tahu gue demam tapi lo lebih mikirin gue mesti sekolah dan jawab soal UN sialan itu.”

Dimas memandangi tangannya sendiri. Dia terlalu terkejut telah melakukan hal tersebut. Tangan Malik telah menahan bahunya dan dengan mata merah dia menyaksikan Magnolia terisak-isak di hadapannya.

“Dek, maafin gue.”

“Lo satu hari bakal punya anak, Mas. anak perempuan. Jangan sampe lo pukul anak lo kayak lo pukul gue. Sakit banget. Sakit karena lo nganggap gue orang yang bikin kalian malu.”

Magnolia merasa kalau dia masih ingin menumpahkan segala perasaannya. Akan tetapi, Kezia yang kembali muncul di depan pintu seolah menertawakan perseteruannya dengan Dimas dan wajah Malik yang begitu mengkhawatirkan Dimas membuatnya merasa seolah-olah dia memang sendirian di dunia ini.

“Gue beliin lo mie ayam buat makan. Jangan nggak dimakan. Itu duit hasil jualan lap gue.”

Magnolia lantas berjalan begitu saja melewati ketiga orang di hadapannya dan lari keluar pagar tanpa menoleh lagi. Sementara Kezia terkikik dari belakang melihat kepergian saudarinya.

“Bagus, dia minggat. Moga-moga aja nggak balik lagi.”

“Keke!” Dimas menghardik adiknya dan Kezia menjulurkan lidah. Dia kemudian memanggil Malik dengan suara lembut, akan tetapi Malik sepertinya sudah terlalu fokus kepada Dimas. 

“Yaya!” Dimas yang akhirnya sadar mulai menoleh ke arah sekeliling. Seperti Magnolia, matanya juga basah dengan air mata. Dia melihat ke arah Malik yang masih memegangi bahunya, mencoba membisikkan kata-kata agar dia lebih sabar lagi.

“Adek gue demam.” Dimas menyeka air mata dengan punggung tangan, “Dia masih sempat beliin gue mie ayam.”

Dimas mengusap wajahnya dan nyaris berteriak karena telah melakukan keslahan bodoh. Kenapa dia harus menampar dan memukul Yayanya yang tersayang? Dia terlalu panik dan marah kepada adik bungsunya itu.

“Bro, mau ke mana?” tanya Malik saat dia melihat Dimas berlari dengan cepat ke arah pagar.

“Cari Yaya.”

“Les lo gimana?”

Dimas tidak menjawab. Dia ingat tadi Magnolia berlari ke arah kanan, menuju jalan raya. Adiknya bahkan tidak lagi memakai sandal dan dalam keadaan demam dia berlari sendirian. Dimas malah tidak tahu apakah Magnolia sudah makan atau belum.

Langit mendadak gelap dan petir bersaut dengan gemuruh secara tiba-tiba. Rasanya tidak mungkin, tapi dalam sekejap, tetes-tetes hujan mulai jatuh hingga membuat Dimas memejamkan mata dan memaki dirinya sendiri.

Kenapa hujan mesti turun di saat seperti ini?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro