Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sebelas

Teman-teman, jangan lupa bantu share, ya. Supaya makin banyak yang ketawa bareng kalian. Hihihi.

Selamat malam minggu. Semoga makin senang malam ini.

***

Ketika 10

 Langit sudah gelap ketika Magnolia batuk entah ke berapa kali. Kepalanya pening dan pikirannya kusut. Tapi perasaannya saat ini yang paling kacau. Entah sudah jam berapa saat ini. Yang dia tahu, azan Isya sudah selesai berkumandang sejak tadi dan dia masih saja duduk di pinggir masjid dengan pandangan kosong. Tubuhnya menggigil, kakinya telanjang, tapi anehnya dia tidak merasa lapar sama sekali sekalipun dia tidak makan sejak pagi. 

Andai paracetamol bisa disebut makanan, mungkin dia bisa mengaku sudah makan. Namun, dia tidak ingat sudah menelan selain benda tersebut. Sejak Dimas memukulnya dan dia melarikan diri dari rumah, hujan telah turun dengan sangat deras. Dia yang tidak tahu arah tujuannya siang tadi pada akhirnya memilih untuk duduk di masjid dan menangis sepuasnya saat salat. 

Awalnya Magnolia tidak merasakan kesakitan seperti yang sekarang dia rasakan. Mungkin alasannya karena dia terlalu sedih dan kecewa akibat perlakuan Dimas yang tidak pernah dia sangka begitu terobsesi untuk memaksanya lulus sekolah dan harus masuk sekolah yang sama dengan dirinya. Padahal bukan satu atau dua kali Magnolia menegaskan kalau tubuh dan otaknya tidak lagi mampu menyerap pelajaran dengan baik. Dia harus tetap berjualan agar bisa melanjutkan hidup. Tetapi, Dimas sepertinya belum paham.

Kini, setelah dia lelah menangis dan air matanya sudah tidak bisa diajak berkompromi lagi,dia membiarkan saja bulir-bulir itu terus turun tanpa bisa dia cegah lagi. Dia sudah terlalu capek meminta air matanya untuk tidak terus turun lagi. Dadanya bahkan terasa sesak dan nyeri. Tapi seperti tangisnya, dibiarkannya saja nyeri-nyeri itu datang. Sudah lama dia tidak menangis sehingga bisa mengeluarkan air mata di saat seperti ini seperti meluapkan semua kesedihan sejak ditinggal papa.

“Papa, Adek sedih.” Magnolia menggigit bibir. Dia tidak akan kembali ke rumah itu. Mama dan Kezia bahkan menertawai saat Dimas menghajarnya tadi. Jika Malik tidak menahan badan Dimas, dia mungkin sudah mati.

Entahlah, dia tidak yakin Dimas sanggup melakukannya. Tapi, kejadian siang tadi sudah membuka matanya lebar-lebar bahwa belum tentu Dimas bakal melindunginya hingga dia dewasa nanti. Saat ini saja dia sudah mampu memaksa Magnolia menuruti kemauannya dan jika menolak dia bakal kena siksa.

Magnolia memeluk tubuhnya kuat-kuat. Hawa dingin hujan mulai merasuk hingga tulang belulangnya. Jaket tipis yang dipakainya tidak mampu menangkal angin yang membawa titik-titik air. Dia tidak mau kembali duduk di dalam masjid. Selain karena waktu salat sudah usai, dia tidak mau mengotori tempat suci ini dengan tubuhnya yang kotor.

Magnolia menyandarkan kepala di salah satu tiang masjid dan air matanya turun lagi ketika secara tidak sadar dia menyebut tubuhnya kotor. Apakah nasib anak haram lain sama seperti dia? Tidak diinginkan oleh siapa pun juga? Lantas, ke mana anak-anak itu menyelamatkan diri? Adakah keluarga yang menjaga dia? Atau mereka harus menggelandang demi bisa tetap hidup esok hari?

“Pulang.”

Sebuah suara, dalam dan teduh, namun amat familiar telah berhasil membuat Magnolia mengangkat kepala. Air matanya masih menggenang di pelupuk mata dan begitu melihat sosok yang saat ini menjulurkan payung di atas kepalanya, dia cepat-cepat menghapus matanya yang basah dengan punggung tangan.

“Ngapain lo ke sini?”

Magnolia menarik jaketnya semakin erat. Dia tidak percaya, setelah berhasil menyembunyikan diri selama berjam-jam, bocah di hadapannya tahu posisinya saat ini.

“Dimas kayak orang gila nyariin lo dari tadi.”

Magnolia menggigit bibir. Jika bukan karena Dimas, dia tidak akan sudi datang ke tempat ini dan menyuruhnya pulang. Coba saja Dimas memilih tidur di rumah, sudah pasti dia tidak akan ketahuan sedang duduk di sini seperti anak yatim yang menanti sumbangan dari jamaah yang lewat. 

Huh, dia memang anak yatim piatu. Tapi, dia tidak akan sudi mengemis sekalipun perutnya melilit pedih dan dia tinggal satu detik lagi dari kematian. Dia akan melakukan semua hal untuk bertahan hidup kecuali mengemis. 

“Biar aja dia nyariin gue. Lo juga, kenapa sok ikut-ikutan nyari.”

Dia seharusnya bahagia karena Malik dengann sukarela menyusulnya hingga ke tempat ini. Tapi, karena dia mendengar dengan telinganya sendiri bahwa dia tidak tega melihat sahabatnya begitu terluka, dia terpaksa ikut mencari Magnolia.

“Lo balik sana. Susuin abang gue. Gue nggak butuh dia, nggak butuh belas kasihan kalian semua.”

Air mata sialannya malah kembali meleleh. Selama ini dia merasa kuat dan rundungan dari siapa saja bisa dia terima. Meski begitu, ketika melihat pemuda yang selama ini hampir tidak pernah bicara dengannya malah berdiri memayunginya di bawah atap masjid, membuatnya tidak kuat lagi. Magnolia bahkan harus menyembunyikan wajahnya pada kedua lutut dan berusaha menahan isak tangis yang dari tadi menolak berhenti.

“Dimas panik. Dia seharusnya pulang cepat tadi karena guru kami rapat di sekolah. Tapi, dia memilih buat nungguin lo. Jadi dia langsung ke SMP dan menyuruh gue balik duluan.”

Suara Malik terdengar amat lembut. Suara inilah yang selalu dia dengar saat pemuda tersebut mengajari Kezia. Dia kira, tidak bakal pernah mendengar Malik bicara seperti ini kepadanya sampai kapan pun.

“Tapi kata teman-teman lo, lo nggak masuk.”

Malik masih berdiri sembari memayungi Magnolia sedangkan gadis itu masih menundukkan wajah seolah tidak sanggup mendengar kalimat yang keluar dari bibir Malik. Dia memang menunggu saat-saat pemuda tampan itu berbicara. Tapi tidak seperti ini, tidak saat yang ada dalam pikiran Malik hanyalah Dimas seorang, sahabat yang paling dia sayang.

Seperti Dimas, Malik tetap bakal menganggapnya salah juga. Yang paling penting bagi abangnya adalah dia bisa menyamai otaknya, masuk ke SMANSA, dan tidak perlu memalukan keluarga. Bagaimana bisa dia tidak membuat malu sedangkan dia lahir ke dunia saja adalah hasil perbuatan memalukan? Mama berkali-kali bilang kalau dia adalah anak haram dan Kezia mendukung ucapan mama. Sekarang dia mesti kembali ke tempat itu setelah Dimas tidak menganggapnya lagi seorang adik yang menurut kepadanya?

“Gue nggak mau lagi sekolah.” Magnolia kembali mengangkat kepala dan saat ini Malik sudah berjongkok di hadapannya, masih sambil memegang payung untuk melindungi kepala Magnolia dan kepalanya sendiri.

“Dia kira sekolah mudah? Otak gue nggak lagi sama kayak kalian. Gue lebih mikirin gimana caranya bisa makan, gimana bisa keluar dari rumah itu, gimana supaya gue nggak dianggap numpang hidup.”

Magnolia menarik napas sebelum dia kembali bicara, “Gue mesti akting di depan semua orang kalau gue kuat…”

Magnolia kembali menyembunyikan wajah, “Dia mana tahu perasaan gue yang terbangun tengah malam, sakit perut saat mens dan berharap mama mau peluk gue sekali aja. Gue berusaha nggak mau inget kalau gue bukan anaknya, tapi nggak bisa. Seumur hidup gue, gue cuma tahu kalau dia ibu gue.”

Dadanya sakit dan sesak ketika bicara dan Magnolia tidak tahu siapa yang menggerakkan hatinya untuk bicara seperti itu di depan Malik padahal selama ini mereka hampir tidak pernah bicara. Selama ini selalu dirinya dan Malik akan menjadi tuli.

Magnolia berusaha tersenyum lalu menertawakan dirinya sendiri telah melakukan tindakan bodoh. Malik pasti cuma menunggunya untuk kembali dan tidak bakal repot-repot mendengar curhat bodohnya itu.

“Pakai ini.” 

Lagi-lagi suara Malik membuatnya mengangkat kepala dan entah kenapa bocah itu mengangsurkan jaket hitam miliknya kepada Magnolia.

“Pakai, terus kita pulang. Gue sudah kasih tahu Dimas kalau lo masih bisa ikut UN susulan minggu depan. Dia sekarang nungguin lo dengan cemas.”

Malik bahkan melepaskan sendal miliknya untuk dipakai Magnolia hingga gadis itu mesti menampar pipinya sendiri dan meyakinkan diri kalau semua ini bukan mimpi.

“Abang, lo masih waras, kan?”

Malik tidak menjawab. Dia lebih memilih berdiri dan menunggu Magnolia memakai sandal dan jaketnya. Karena itu juga, Magnolia yang gugup kemudian buru-buru memakai jaket dan sandal Malik sampai mengabaikan kalau beberapa menit yang lalu dia merasa begitu merana.

“Pegang sendiri payung lo. Buruan jalan. Gue nggak enak dilihat dua-duaan di masjid kayak gini.”

Magnolia yang sadar kemudian menoleh ke arah sekeliling dan dia juga merasa malu kepada dirinya saat ini. Karena itu juga, dia segera menerima payung pemberian Malik lalu berlari-lari kecil demi mengejar dan menyejajari langkah Malik yang telah berjalan lebih dulu.

Dia kira, semuanya telah usai hari ini. Tapi Malik telah menemukannya, bocah tetangga depan rumah yang telah membuatnya bertahan hingga detik ini. Bocah yang sama yang tadi mengangsurkan jaket, sandal, serta payung untuknya bahkan membiarkan dirinya sendiri bertelanjang kaki menyusuri jalan basah dan dingin di malam ini. Saat ini dia pasti telah bermimpi, pikir Magnolia. Tapi, entah kenapa, meski dia tahu Malik melakukan semua ini demi Dimas, dia tidak bisa menepis perasaan senang dalam hatinya.

Cuma itu saja sudah cukup membuatnya bahagia kembali.

***

Dih, Malik. Jangan sok baek, dah. Haters lu bejibun. Pala lo pasti kepentok pager, kan, bisa jemput Yaya ujan-ujanan. Lo kira ini kuch-kuch hota hai?

Banyak yang deja vu ama cerita eke. Wkwk.

Mirip-mirip soalnya, naksir tetangga semua. Ya Jasmine, ya Uni, ya Sekar dan Mandala, ini juga, si Yaya.

Sekolahnya juga sama. Hahahahha.

Maklumin eke, yes. Males mikir soalnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro