Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lima belas.

Hari Minggu waktunya apdet.

Tenang aja, ga nangis, kok. Yang ga sabaran, seperti biasa ke KBM app atau KK, ya. Udah bab 29 dan agak gaduh tadi malam. Soalnya Yaya dapet hadiah dari Babang Malik Kesayangan.

***

Ketika Cinta Lewat Depan Rumahmu 14

Setiba di parkiran, Dimas yang memandang cemas kepada Magnolia kemudian bicara, “Sanggup naik sepeda?”

Magnolia yang memperhatikan abangnya sedang meletakkan bungkusan kain lap ke keranjang sepeda lantas mengangguk.

“Kuat. Gue nggak sakit, kok.”

Dimas menghela napas melihat adiknya yang bersikap keras kepala seperti itu. Ditolehnya Malik yang ternyata masih berdiri di depan sepeda motornya, sedang memperhatikan kakak beradik tersebut. Kantong belanjaan pesanan Laura Hasjim sudah tergantung di bagian leher motor dan dia sebenarnya ingin meminta bantuan Malik. Tapi, melihat hubungan Magnolia dan sahabatnya tidak sebaik sikap Malik kepada Kezia, Dimas lalu kembali menarik stang sepeda yang tadinya tersampir di batang kersen supaya lebih dekat ke arah Magnolia yang saat ini berdiri seperti orang menggigil kedinginan.

“Naik angkot aja, ya? Gue yang bawa sepeda pulang.”

Magnolia menggeleng. Bibirnya sudah sedikit lebih berwarna dibanding saat pertama kali Dimas melihatnya tadi. 

“Nggak mau. Masih jalan juga nanti pas turun. Sayang duitnya.”

Dimas lagi-lagi berusaha menahan ngilu sewaktu Magnolia menyebutkan tentang uang. Salahnya yang terlalu keras kepala sehingga adiknya mesti berjuang sekuat tenaga untuk bisa terus bertahan hidup.

“Ikut sini aja.” suara Malik menghentikan perdebatan mereka berdua. Bocah tampan tersebut sudah memakai helm. Tapi, dia melepaskan jaketnya dan menyuruh Dimas untuk memakaikannya kepada Magnolia.

“Nggak usah, “Magnolia mendorong tangan abangnya, “badan gue bau balsem, Mas. Gue nggak mau ngotorin jaket Abang. Gue nggak mau naik motornya.”

“Daripada lo pingsan di sini, cepet naik. Bunda mau masak.” balas Malik dengan nada kesal sehingga Magnolia yang masih menggeleng kepada Dimas, tidak bisa menolak sewaktu abangnya sendiri yang memasangkan jaket ke tubuh adiknya.

“Pulang bareng Malik, ya. Lebih cepat sampai rumah. Gue juga mau balik lagi ke pasar, lupa beli Tolak Angin buat lo.”

Magnolia melirik takut-takut kepada Malik yang sudah duduk di atas motor dan tengah memegang stang. Di tangannya terdapat sebuah helm tambahan milik Dimas yang telah dia angsurkan kepada sahabatnya untuk dipakaikan ke kepala Magnolia. Meski begitu, dalam bisikan, Magnolia mengeluh kalau dia sebaiknya naik sepeda daripada ikut Malik.

“Dia, kan, nggak suka Yaya. Nanti bukannya sampe rumah, malah di antar ke alam baka.”

“Astaghfirullah, dia nggak sejahat itu. Nurut Mamas. Nanti pulang gue masakin air panas. Lo mau makan apa? Sate? Bubur?”

Magnolia menggeleng. Nafsu makannya telah menguap entah ke mana. Tapi, saat Dimas mengatakan ingin membeli makanan, dia dengan serta merta merogoh saku jaketnya.

“Nggak usah.” balas Dimas dengan menahan rasa pilu karena adiknya menyerahkan beberapa lembar uang ribuan kepadanya. 

“Gue ada duit buat beli makanan sama Tolak Angin. Kan, gue masih punya gaji dari ngajar privat si Inggit yang kemarin. Inget, kan?

Magnolia tidak menjawab dan memilih melayangkan pandangan khawatir kepada Dimas seolah-olah bila dia membelanjakan uang tersebut, maka uangnya akan cepat habis. Sementara dirinya, kan, berjualan setiap hari. Walau untungnya tidak terlalu banyak, Magnolia bisa berbelanja kebutuhan sehari-hari. Seperti hari ini, sepulang UN tambahan, dia punya banyak waktu untuk menjajakan lap. Jika saja Mak Surti tidak memergokinya sedang muntah, dia masih bisa melanjutkan berjualan. Bukannya malah dikerok habis-habisan dan disuruh pulang seperti yang sedang terjadi saat ini.

“Nah, helmnya sudah dipakai. Sekarang ikut Malik.” suruh Dimas setelah dia memastikan Magnolia terlindungi dengan baik. Naik motor atau naik sepeda sudah pasti akan membuat kondisi badan Magnolia menjadi makin lemah. Untunglah dia punya sahabat yang amat baik dan pengertian sehingga mau membantu menolong adik bungsu yang amat dia sayangi itu.

“Pegang perut Bang Malik.” perintah Dimas yang mana langsung dituruti oleh Magnolia. Tidak setiap saat Malik menjadi sebaik itu apalagi dengan sukarela mengajaknya pulang bersama. 

Setelah memastikan adiknya sudah duduk dengan nyaman, Dimas kemudian mempersilahkan Malik untuk lebih dulu pulang sementara dia sendiri akan berbelanja dulu ke toko kelontong.

Malik yang sudah keluar dari pasar melirik Magnolia yang memejamkan mata beberapa kali tidak lama setelah mereka keluar dari pelataran parkir pasar. Gadis muda tersebut tidak tahu bahwa pada saat yang sama Malik sedang memperhatikannya. Sesekali Magnolia menempelkan kepalanya ke punggung Malik yang saat itu hanya memakai seragam sekolah. Saat sadar dengan apa yang dia lakukan, Magnolia kemudian dengan cepat mengangkat kepalanya yang tertutup helm, begitu terus hingga beberapa kali. 

Di perempatan lampu merah, Malik yang sempat berhenti kemudian menarik tangan Magnolia yang kentara sekali antara mau-tidak mau memeluk pinggangnya. Gara-gara itu juga dia merasa gadis tersebut bakal jatuh dan saat berhenti di lampu merah seperti ini menjadi kesempatan buat Malik untuk memegangi tangan Magnolia 
supaya dia tetap berada di posisinya.

“Nggak usah pegang. Tangan gue kotor.” bisik Magnolia lirih. Dia berusaha menarik tangannya tapi gagal. Magnolia sadar Malik melakukannya demi Dimas, tapi bila didiamkan, jantungnya seolah akan meledak. Dia malu diperlakukan seperti ini. Bukan apa-apa, dalam kondisi sehat, dia bakal sukarela memeluk Malik jika diizinkan. Tetapi saat ini kondisinya berbanding terbalik dan dia merasa si ganteng anak Bude Laura tersebut terpaksa melakukannya.

“Lo masih nekat jualan. Bukannya minggu kemarin sudah disuruh istirahat.” ujar Malik sambil memperhatikan wajah Magnolia dari spion. Magnolia yang berharap kalau mata bocah itu rabun, hanya membalas pendek, “Gue mesti ngumpulin duit buat masuk SMANSA. Terakhir gue dengar dari Keke yang ngobrol sama Mama, mereka minta sekitar enam atau tujuh juta. Belum termasuk duit buku. Itu nggak tahu duit pendaftaran doang atau juga duit bangunan.”

Magnolia merasa tenggorokannya ngilu karena lagi-lagi mulutnya yang bocor bicara tanpa ragu kepada Malik yang diam sembari memegangi tangan kanannya di perut pemuda tersebut.

“Habis UN, kan, gue udah libur. Pendaftaran masih beberapa minggu lagi. Gue juga dengar dari Keke, kalau daftar dulu nggak terlalu mahal. Bayar dua ratus kalau nggak salah. Nanti ada ujian masuk dan kalau lulus diumumin lagi.”

Magnolia diam sejenak dan memilih untuk melihat ke arah sekelilingnya saat ini. Beberapa mobil dan motor ikut berhenti di samping kanan dan kiri mereka. Dia lalu merasa sadar diri bahwa saat ini Malik tengah memegangi tangannya dan dia bakal dikira sebagai gadis genit karena berpegangan tangan dengan anak SMA sementara dirinya sendiri masih memakai rok SMP. Benar-benar suatu perbuatan yang tidak bisa dibenarkan.

“Abang, nggak usah pegang tangan gue. Malu dilihat orang.” bisik Magnolia dengan suara tertahan. 

“Biasanya ada beasiswa untuk anak baru.” Malik bicara dengan nada lembut mengabaikan bahwa pada saat ini, Magnolia sedang menarik tangannya agar dilepaskan.

“Gue nggak pintar.” Magnolia meringis malu. Dia memang naksir Malik. Tapi dipegang langsung seperti ini oleh orang yang dia taksir membuat bulu kuduknya merinding.

“Bukannya pernah menang lomba? Olahraga, kan? Beberapa kali menang voli, basket, lari, sama baca puisi, betul?”

Sejak kapan Malik tahu dia pernah memenangkan lomba tersebut? Dimas jelas tahu karena dia selalu bercerita kepada abangnya. Tapi, ngomong-ngomong setiap dia memenangkan perlombaan selalu diumumkan saat selesai upacara bendera, setiap hari Senin pagi. Tapi, kebanyakan lomba berbasis olahraga dia menangkan bersama tim, bukan secara individual.

“Nggak guna menang-menang gitu.” Magnolia meringis, “Orang gue sengaja ikut biar nggak disuruh belajar sama biar dapet duit.”

Magnolia menutup bibirnya. Lagi-lagi dia keceplosan bercerita tentang motivasi mengikuti berbagai perlombaan. Tapi, percuma saja menutupi, Malik sudah tahu semua tentang kejelekannya. Toh, selama ini Magnolia sadar diri kenapa dia selalu dijauhi pemuda itu. 

“Bisa masuk SMANSA jalur prestasi, lho. Olahraga juga salah satu bidang yang diperhitungkan.”

Malik melirik Magnolia yang sempat menggeleng dari belakang. Seperti beberapa waktu lalu, dia yakin, rasa rendah diri mulai merasuki diri adik sahabatnya itu. Padahal tadi Malik tidak salah dengar, Magnolia sendiri bertekad masuk ke sekolah paling ngetop se-ibukota tersebut.

“Kalau gue masuk SMANSA, ntar lo marah, lagi. Bilang gue ikut-ikut masuk ke sana, karena naksir lo, iya, kan?”

Malik tertawa. Magnolia bahkan belum pernah melihat Malik seperti itu sebelumnya. Bahkan tawanya tidak juga hilang saat lampu merah berubah menjadi hijau. Membuat Magnolia merasa dia kembali punya semangat untuk melanjutkan hidup, walau sumpah, biaya masuk SMANSA membuatnya pusing tujuh keliling. 

“Gue nggak suka cewek bodoh. Itu doang.”

Hah? Apa katanya? Telinga Magnolia terhalang helm dan saat lampu berubah hijau, suara deru mobil dan motor membuatnya seperti orang tuli. Ketika Magnolia menggoyangkan bahu kanan Malik agar dia mau mengulang kata-katanya barusan, bocah tersebut berubah lagi menjadi dirinya yang sok dingin dan tidak mau membalas kata-kata Magnolia lagi.

“Ulang, Bang! Yaya nggak dengar tadi.”

Malik menggeleng. Wajah Magnolia sudah berubah merah dan dia yakin, tidak lama lagi, bocah tetangga centilnya itu bakal segera sembuh.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro