Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

enam puluh sembilan

Bab 69

Ramein yok.

Buat yang PO, sabar-sabarin ya. Yaya Malik udah kelar cetak, tapi cover ama isbnnya belom. Masih kudu nunggu 2 minggu. Sabar yes. Hahahha.

Ini fotonya. 715 halaman. Tuebel banget, dibanding A Love For Jasmine, Jajas mah ga ada apa-apanya. 110 rb, worth it banget. Dapet kopi kalo beli satuan. Kalo beli bundel bonus lap juga. Boleh cari di mana aja, ada ga novel setebal itu, tapi murce.

Videonya di IG eke Eriska Helmi. Kalian udah follow belum?

Komen yang rame, yes. Di lapak Daisy dan Krisna alias Madu in Training lagi pada misuh. Jadi cinta semua sama Malik yang sekarang jadi Angel Babiknya kalian.

Eh...eke typo. Sudahlah.

***

Ketika 69

Hampir pukul sepuluh malam saat Magnolia mengangkat telepon dari Dimas yang sedari siang sudah memantau adiknya tanpa henti. Selain mencemaskan kondisi Magnolia, dia juga mencemaskan kondisi pasangan tersebut yang dari bertahun-tahun lalu bagai anjing dan kucing. Dimas bahkan tidak bisa berkonsentrasi mengerjakan hal lain sejak Magnolia marah kepadanya pada siang harinya. Entah apa yang terjadi di dalam mobil saat ini sementara salah satu di antaranya ingin menerkam yang lainnya. 

“Mamas?” 

“Udah di mana?” 

Tanpa basa-basi, Dimas bertanya kepada adiknya. Panggilan ini entah sudah ke berapa kali dan dia sedikit heran kadang menemukan suara Malik sedang tertawa. Jika adiknya amat benci kepada pria itu, kenapa Malik terdengar amat senang? 

“Di tol. Bentar lagi keluar.”

Dimas mengucap hamdallah. 

“Gue jadi, kan, nginep di hotel?” Magnolia bertanya kepada abangnya.

Sebetulnya, Malik amat keberatan ketika Magnolia berkata kalau dia akan menginap di hotel dekat kompleks rumah mereka. Membayangkan Magnolia sendirian di sana sementara di rumah keluarga Hassan ada banyak orang. Keluarga dari Ira Saraswati sudah mulai berkumpul dan dia yakin, Magnolia juga merindukan mereka semua.

“Rindu. Tapi masalah gue di rumah itu bukan cuma soal rindu.”

“Jadi. Udah gue booking dari siang. Udah check-in juga. Sekarang gue lagi di lobi nungguin kalian.”

"Udah di lobi hotel." Magnolia menoleh kepada Malik sebagai info kalau dia harus membawa Magnolia ke hotel dan meskipun ingin protes, Malik memberi kesempatan kepada Magnolia untuk bicara kepada Dimas. Lagipula, sepanjang jalan tadi, mereka sudah banyak mengobrol. Tidak hanya itu, Magnolia bahkan sukarela menyuapkan nasi ke mulutnya sementara dia menyetir, sehingga saat berada di SPBU, Malik menyempatkan waktu untuk tidur sebentar. 

Karena durasi perjalanan yang tidak sedikit, mereka berdua juga punya banyak kesempatan untuk membahas tentang apa saja dan inilah pertama kalinya Malik merasa bebas bisa memandang dan menyentuh jemari Magnolia sepuas hati, walau dengan konsekuensi, bibir judesnya selalu protes dengan perbuatan Malik yang tidak henti-hentinya mencoba mencari kesempatan. 

"Abang. Jangan pegang-pegang terus, bisa? Gue malu diliatin orang." keluh Magnolia ketika mereka menyempatkan diri beristirahat di daerah Bogor menjelang Magrib. Akhirnya, demi menyenangkan hati nona berlesung pipi itu, akhirnya, Malik menyerah. Risiko pertama kali berpacaran dan dia maklum kalau sikap Magnolia jadi seperti itu. Sementara dirinya sendiri yang memang sudah lama sekali menunggu saat seperti ini tidak keberatan bila kemudian Magnolia balas memperlakukannya seperti itu.

Untunglah, ketika mereka tiba di pelataran parkir hotel The Peaks, sebuah hotel berbintang tiga yang letaknya memang tidak jauh dari gerbang kompleks perumahan, sosok Dimas tidak ikut menyusul. Tampaknya dia belum tahu kalau mobil Malik sudah berada di sana. 

"Eh, tunggu." Malik menahan Magnolia yang sudah melepas sabuk pengaman dan siap membuka pintu. Gara-gara itu juga, Magnolia lantas berhenti dan dengan raut bingung memandangi wajah Malik yang dekat ke arahnya.

"Nanti, kalau sudah bareng Dimas, jangan lupain aku." 

"Idih." Magnolia menaikkan alis. Dia nyaris tertawa ketika melihat wajah Malik yang sedikit kecewa ketika mendengarnya.

"Kenapa juga ngomong begini?" Magnolia berusaha menarik tangan kanannya dari genggaman tangan Malik. Cepat sekali pria itu memanfaatkan situasi. 

"Habisnya, kalau sudah sama Dimas, kalian kayak suami istri. Mesra. Dunia seolah milik berdua. Dulu aja, kamu nggak noleh sama sekali ke aku kalau sudah lihat dia. Dikit-dikit Mamas."

"Lah, kan, wajar. Mamasnya gue. Lagian, gue nggak ngembat laki orang."

Jawaban Magnolia membuat Malik makin tersenyum masam. Kalau sudah begitu, pastilah nanti dia bakal bermanja-manja dengan Dimas seperti sebelum-sebelumnya. Tapi, cemburu kepada calon ipar sendiri adalah hal yang amat konyol, pikir Malik. Toh, setelah ini, Dimas juga akan menjadi suami Inggit dan setelahnya, mana mungkim Inggit bakal membiarkan suaminya memeluk Magnolia seperti biasa.

"Sayang, kamu langsung mampir ke sini. Kalau ikut pulang, pasti Bunda bakalan nyuruh kamu menginap. Biarpun di rumah Mamamu penuh dengan orang, Bunda pasti nggak akan tinggal diam melihat calon menantunya merana."

Sabuk pengaman Magnolia sudah berhasil lepas dan rambut sebahunya bergoyang ketika dia menoleh lagi ke arah Malik yang begitu percaya diri berceloteh tentang Laura Hasjim dan juga ajakan menginap yang tidak masuk akal. 

"Ogah nginep di rumah lo." Magnolia mengedikkan bahu. Terlihat jelas kalau dia menolak dan Malik tidak habis pikir. Bundanya adalah kesayangan Magnolia dan sejak kecil, dia sering diajak menginap oleh Laura Hasjim. 

"Dulu beda. Gue masih kecil, item, jelek, ceriwis lagi. Lo aja sampai ilfil, kan? Sekarang? Nggak bisa gitu. Gue nggak mau menginap di sana selama masih ada lo."

"Lah, kenapa?" Malik protes. Wajahnya nampak kecewa dan seharusnya, Magnolia menyetujui saja usul itu.

"Ntar gue bunting."

"Astaghfirullahalazhim, Magnolia." Malik mencubit kedua pipi Magnolia hingga wanita itu terpekik kaget dan dengan cepat, Magnolia menarik kedua tangan Malik dari pipinya. 

"Lo apa-apaan, sih? Gue ngomong jujur, juga. Seharian ini tangan lo kelayapan ke mana-mana. Ini aja belom gue terima tembakan lo tadi. Gimana kalau udah gue terima?"

Malik seperti membeku di tempat sewaktu Magnolia dengan mulut pedasnya merepet panjang lebar. Tapi, fokus pria itu adalah kalimat terakhir yang keluar dari bibir Magnolia, bukan yang lain.

"Kok belum diterima? Bukannya kita udah sah jadian?" 

Magnolia tertawa dan dia menepuk pipi Malik beberapa kali dengan tangan kanan yang berhasil dia lepaskan dari genggamannya, lalu bersiap hendak membuka pintu. Namun, karena Malik masih belum melepas central lock-nya, Magnolia menoleh lagi, "Pintunya, dong…"

"Terima." Malik mendekap Magnolia dari arah belakang. Tidak peduli saat itu Magnolia mulai mengoceh lagi karena dengan lancang lengan Malik telah melingkar di perutnya.

"Abang. Mau turun." Magnolia menggigit bibir. Sifat suka memaksa yang tidak pernah hilang dari pria di sebelahnya itu, telah membuatnya nyaris berteriak. Kenapa juga Malik mesti memeluknya? Jika ada orang yang melihat, bisa-bisa mereka bakal digiring ke pos hansip terdekat.

"Seharian kita sudah sama-sama, kamu udah mau respon setiap candaanku, aku sudah setengah mati GR nyangka kita jadian dan kamu bilang belum nerima aku? Yang benar aja."

"Lagian, kayak bocah aja, jadian-jadian. Udah, ah. Mau keluar, nih. Kasihan ama Mamas udah nungguin dari tadi."

"Magnolia." Malik mengeratkan pelukannya. Perasaannya amat dongkol. Kenapa si cantik ini mempermainkannya? Padahal Malik sudah merasa amat senang sejak tadi. Dia juga tidak satu atau dua kali menyebutkan calon istri, calon mertua, yaitu bundanya sendiri dan Magnolia tidak protes sama sekali. 

"Kenapa." Magnolia yang tadinya berpikir untuk membuka sendiri pintu di samping kirinya mendadak menyerah. Dimas pernah mewanti-wanti, jangan sembarangan membuka pintu mobil jika bukan dari central lock. Karena dirinya amat perhitungan, dia tidak mau mengganti rugi jika merusak mobil Malik. 

"Pacaran, yuk." 

Magnolia menahan tawa. Dia sengaja tidak menoleh ke belakang, takut tawanya meledak. Kenapa juga Malik jadi seperti bocah yang takut kehilangan ibunya? Bukannya selama ini dia amat percaya diri jadi yang paling tampan dan paling laku entah di SMANSA JUARA atau bahkan di kampusnya. 

"Dulu gue pernah nembak lo kayak gini, terus dicuekin. Sekarang gimana rasanya?"

Malik yang mulanya menyandarkan kepala di punggung Magnolia mengangkat kepala. Saat itu, Magnolia kemudian membalikkan badan dan tersenyum ke arahnya, "Sebel, kan?"

"Banget." balas Malik menahan keki. Dicubitnya lagi pipi Magnolia kuat-kuat karena saat ini, hal itulah yang baru bisa dia lakukan. Benar-benar sinting kelakuan wanita itu, tetapi, anehnya, jantung Malik malah berdebar dengan amat kencang dan setelah dia mendengar suara Magnolia yang tertawa sambil meminta ampun, dia menghela napas. 

"Lagian. Udah nembak, udah grepe-grepe adik Mamas, masih aja ngajak pacaran. Sinting."

Astaga. Ucapan pedasnya seperti baru saja habis menampar pipi Malik dengan cabai setan sepuluh kilogram. Tapi, sewaktu dia membuka central lock dan bersiap turun, Magnolia menoleh ke arahnya dan melemparkan senyum tipis yang membuat pertahanannya amblas hingga ke tulang kering. 

Kenapa semakin dia dewasa, Magnolia semakin menggemaskan?

***

Tebakan Malik tentang sikap Magnolia kepada abangnya tidak pernah salah. Begitu mereka tiba di lobi, Magnolia sudah mengenali batang hidung abangnya bahkan sebelum Malik sadar posisi sahabatnya. Tanpa banyak ba bi bu lagi, Magnolia segera berlari dan menyongsong Dimas sambil menyebut namanya.

"Mamas." bibir Magnolia langsung melengkung begitu dia melihat Dimas berdiri dan mencoba tersenyum ke arahnya. Untung saja saat itu tidak begitu banyak orang dan posisi Dimas berada di ujung lobi, dekat dengan lift yang berada di sisi kiri gedung. Magnolia segera memeluk erat abangnya dan membenamkan wajah di dadanya tanpa ragu sama sekali.

"Yaya kangen." Magnolia terisak. Belum pernah mereka terpisah hingga satu tahun lebih dan melihat Dimas jauh lebih kurus dibanding saat pria itu melepasnya di Pagiran membuat air mata Magnolia makin deras mengalir. 

Magnolia mengusap-usap punggung Dimas yang tidak segempal dulu dan dia terisak-isak, "Lo nggak makan, ya, pas gue tinggal? Tulang semua ini." 

"Nggak, lah. Setahun ini gue magang, ngurusin nikahan juga, jadi memang BB agak turun banyak. Tapi BMI masih ideal, Ya. Dulu kan emang agak montok sedikit."

Magnolia tidak mendengar kata-kata Dimas. Yang dia pikirkan adalah betapa malang nasib sang abang. Berhari-hari menunaikan tugas di rumah sakit dan dia tidak makan dengan layak. Padahal saat bersama Magnolia, dia akan makan dengan teratur. Magnolia tanpa ragu akan mengirimkan nasi beserta lauk untuk Dimas setiap siang dan bila malam, mereka akan makan bersama sebelum akhirnya Dimas kembali ke rumah.

"Ini tulang lo kerasa banget." Magnolia mengangkat kepala. Tangannya masih membelit pinggang Dimas dan air matanya masih membanjiri pipi, "Tulang pipi lo nonjol."

Kepada Dimas, sikap Magnolia persis sekali seorang istri yang mengkhawatirkan suaminya. Bahkan, beberapa tamu yang lewat sempat menunjuk ke arah mereka dan mengatakan kalau keduanya adalah pasangan yang amat romantis sehingga membuat Malik yang berdiri di belakang dua saudara tersebut menggaruk tengkuk. 

"Nggak apa-apa, Yaya Sayang. BB gue memang turun, tapi bukan karena jarang makan atau malah nggak terurus. Gue sengaja ngecilin perut biar jas nikah muat."

Magnolia jelas tidak percaya. Bibirnya masih bersungut-sungut sewaktu Dimas sadar, Malik berdiri dalam diam sedang memandangi mereka berdua. 

"Bro, aman di jalan tadi?" 

Malik mengangguk dan dia mengacungkan ibu jari ke arah Dimas yang tetap lengket kepada adik bungsunya. 

"Yaya belum makan." Malik kemudian bicara. Usahanya berhasil membuat pelukan dua kakak beradik tersebut terpisah. Namun, tangan Magnolia masih melingkar di pinggang Dimas dan dia tanpa ragu menyandarkan kepala di bahu abangnya, sebuah pemandangan yang membuat kepala Malik berdenyut-denyut. Iya, memang mereka dua bersaudara kandung. Tetapi, Magnolia tidak perlu bergelayut mesra di bahu abangnya seperti itu. 

"Mau makan?" Dimas mengusap air mata di pipi Magnolia dengan kedua tangannya dan tanpa ragu Magnolia mengangguk. Akan tetapi, sebelum itu, Dimas sempat menoleh ke arah Malik lalu berbicara, "Lo gimana, Bro? Gabung kita makan atau mau langsung balik? Kasihan badan lo pasti remuk seharian nyetir."

Dimas sepertinya sengaja menggoda Malik karena dia dengan jelas melihat kalau sahabatnya langsung tersenyum dengan wajah masam. Meski begitu, Malik lalu menjawab bahwa di mobilnya ada banyak kiriman dari Pagiran untuknya dan sang ibu yang membuat Dimas kemudian menoleh lagi kepada adiknya.

"Oleh-oleh apaan?"

"Sayur, singkong, jagung, segala macam pokoknya. Ada kelapa juga. Mobil Abang jok bagian belakangnya terpaksa dilipat, soalnya nggak muat. Ntar pas kalian pulang, langsung bongkar aja. Kalau nggak, nunggu besok. Ada kadonya juga. Gede banget."

Mereka berdua berjalan menuju pintu keluar. Tas berisi perlengkapan Magnolia masih berada di mobil Malik. Mereka sepakat untuk mencari makanan yang dijual di sekitar hotel. 

Dalam perjalanan mencari penjual nasi goreng atau sate, sesekali Magnolia menoleh ke arah Malik yang berjalan di belakang mereka. Dia mengurai sebuah senyum yang membuat Malik kemudian membalas senyumannya. Tapi, hal tersebut tidak berlangsung lama. Dimas seolah sengaja memegang bahu kiri adiknya sementara dia sendiri berada di sebelah kanan Magnolia seolah mencegah Malik berbuat macam-macam kepada adiknya. 

"Itu ada nasi goreng. Di seberang jalan." Malik menunjuk ke arah seberang mereka dan pandangan semua orang kemudian terarah ke sana. Terdapat sebuah gerobak yang sedang ramai dikerumuni pembeli dan Dimas setuju mereka akan makan di sana. Selagi dia memegang tangan kanan adiknya, Malik pun tidak mau kalah. Dia yang berdiri di sebelah kiri Magnolia kemudian menggenggam jemari pacar beberapa jam kesayangannya dan perbuatannya tersebut sempat membuat Dimas melirik dengan ekor matanya.

"Nanti ketabrak kalau nggak dipegang." dalih Malik. Wajahnya kelihatan amat puas bisa menggenggam tangan Magnolia sementara yang digenggam sendiri mengeluh karena perlakuan dua pria gila di kanan dan kirinya.

"Ya Allah, gue bukan anak TK mesti diajarin nyebrang." 

"Sudah sekali kena serempet mobil, kan? Gue nggak mau kena sembur Bude Laura gara-gara anaknya minggat lagi ke Pagiran cuma buat mastiin adik gue sehat, terus balik-balik ke Jakarta, dia malah demam tiga hari."

Suara Dimas yang terdengar santai, membuat Magnolia dengan cepat menoleh ke arah Mamasnya yang tercinta, lalu Magnolia mengalihkan pandangan ke arah Malik yang kini salah tingkah dan menggaruk tengkuknya kembali.

"Maksud lo apaan, Mas? Abang ke Pagiran? Kapan? Pas gue kecelakaan?"

Dimas yang dipanggil oleh Magnolia kemudian memandangi adik dan sahabatnya dengan tatapan bingung.

"Lah, emang lo nggak tahu kalau Malik sampai jagain lo semalaman di sana, sampai nggak tidur?"

Bola mata Magnolia nyaris keluar. Dia dengan cepat mengaitkan jam tangan asing yang nangkring di atas meja riasnya, lalu menatap Malik dengan bibir bergetar sewaktu Dimas terus mengoceh panjang lebar seolah dia sedang berada di jalan tol.

"Ngebut dari rumah sakit habis jaga semalaman, ke Pagiran sampai sama jam sembilan atau sepuluh malam dan subuhnya langsung minggat lagi ke Jakarta. Lo benar-benar nggak tahu? Ckckck, nggak mungkin, kan, adek gue tidur kayak kebo sampai nggak tahu siapa yang besuk dia?"

"Nggak tahu, Mas. Gue nggak tahu."

Magnolia yang tadinya masih berani memandangi wajah Malik, kemudian menarik lengan kiri Dimas dan membenamkan wajahnya di sana. Dia tidak mampu lagi mengangkat kepala, tapi dia lupa bahwa saat ini, tangan kirinya masih digenggam erat oleh mantan tetangga super ganteng yang menolak melepaskan genggaman mereka sama sekali.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro