Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Enam puluh empat

Hadiah Lebaran.

Dah jangan gaduh.

Yang ngomel2 nagih janji tamat, nagih apdet, pas biasanya ga pernah komen, pengen eke getok.

Apdet rabu ama minggu. Tapi suka-suka eke, kapan rabu kapan minggunya. Bisa jadi rabu di bulan 8, bulan 9, kan eke bilang, tamatnya kapan-kapan.

***

Ketika 64

Tidak ada hal yang lebih menyedihkan bagi seorang Malik Galih Kencana dibandingkan saat dia diizinkan masuk ke kamar Magnolia dan menyaksikan wanita muda itu tidur dengan kepala diperban karena melindungi luka dua jahitan yang diterima ketika kecelakaan yang menimpanya pagi tadi. Karena itulah, dokter menyatakan dia terkena gegar otak ringan. 

"Dikasih dokter obat pereda nyeri soalnya dia bilang kepalanya sakit." jelas Rosanawati kepada Malik. Wanita itu membawakan sebuah kursi plastik agar Malik bisa duduk sementara dua saudara sepupu, Magnolia dan Hening tampak sama-sama terlelap. Hening tidur di sebelah kanan Magnolia, memeluk tubuhnya yang berbalut selimut hingga pinggang. Tidak ada AC atau kipas angin. Pagiran yang berada di sisi bukit cukup dingin. Terutama saat malam seperti ini.

"Bibi masakin kamu makanan dulu." Rosanawati bicara lagi saat dia hendak keluar. Malik sempat mengucapkan jangan repot-repot yang kemudian dibalas dengan sebuah lambaian tangan.

"Kamu, teh. Udah jauh-jauh mau lihat Yaya. Barusan Dimas udah Bibi kasih tahu. Soalnya dari tadi dia nanyain kamu."

Malik tersadar kalau dia tidak sempat memberi tahu semua orang. Baik itu Dimas bahkan bundanya, Laura Hasjim. Apa boleh buat. Dia hampir tidak bisa berpikir jernih saat tahu Magnolia tidak sadarkan diri. 

Rambut Magnolia tergerai. Entah sudah sepanjang apa. Ketika menonton video call antara dirinya dan Dimas, Malik tidak bisa melihat wajah Magnolia dengan jelas. Dia sadar, Magnolia belum pernah mengganti ponsel pemberian Dimas sejak bertahun-tahun lalu. Walau sudah ketinggalan zaman, Magnolia merawat barang pemberian abangnya dengan amat hati-hati. 

Malik menemukan lebam di dekat pelipis kiri Magnolia, sekitar lima sampai tujuh senti di bawah perban jahitan dan dia tanpa sadar menyentuh wajah gadis itu dengan penuh kerinduan. 

"Maafin nggak bisa jaga kamu kayak dulu." Malik berusaha mengerjapkan mata. "Aku memang pengecut, selalu sembunyi dan berharap kamu nggak melihat aku yang selalu jaga kamu dari belakang."

Magnolia jelas tidak menjawab. Dia sedang tertidur. Matanya terlelap dan Malik ingin tahu apa yang sedang diimpikannya saat ini. 

Tangan kiri Magnolia terjulur di atas tempat tidur. Malik yang melihatnya tanpa ragu meraih tangan itu dan membawanya ke pipi kirinya sendiri. Jemari mereka tergenggam dan Malik memejamkan mata. Tubuhnya yang dingin seolah menghangat karena sentuhan itu. 

Magnolia selalu menolak sentuhan-sentuhan mereka sejak pertengkaran beberapa tahun lalu. Gadis itu seolah jijik dan enggan ketika siku mereka beradu secara tidak sengaja atau saat Malik mencoba mengusap rambutnya, seperti yang selalu Dimas lakukan kepada adiknya. 

"Sehat terus, Ya. Bertahanlah sampai aku selesai. Jangan naksir sama cowok lain." 

Untuk kalimat terakhir Malik mencoba tersenyum. Selama ini Magnolia tidak pernah terpengaruh tawaran setiap lelaki yang mendekat dan dia amat senang mendengarnya. Meski begitu, dia harus menahan diri untuk tidak tersenyum ketika dengan kukuh Magnolia berkata dia tidak akan menikah sebelum Dimas. Hal tersebut berarti, dia masih punya waktu untuk mendapatkan hatinya kembali. 

Tapi, saat melihat Magnolia terbaring tidak berdaya seperti ini, dia hampir hilang akal. Bila biasanya, bertengkar dengan Magnolia membuatnya mati kutu, sekarang, dia amat berharap kalau wanita itu sembuh. 

"Nggak nyangka bisa pegang tanganmu. Kalau kamu bangun, sudah pasti aku bakal kena hajar." Malik mencoba tersenyum. Dia selalu ingin menautkan jemari mereka, tapi, entah kenapa, rasa gengsi selalu membuatnya menahan diri. Dia takut Dimas akan marah bila dia nekat. Karena itu, Malik selalu pura-pura tidak senang bila Magnolia hadir di antara mereka. 

Dimas sering mengatakan kalau dia harus melindungi Magnolia dari semua hal buruk bahkan laki-laki yang punya niat mengincarnya. Pria macam mana pun yang menaruh hati haruslah melewati penilaiannya. Bahkan, Dimas tidak ragu mewanti-wanti Malik supaya tidak menyakiti adiknya walau Magnolia menaruh perasaan yang amat besar. 

"Tangan kita pas, loh. Inget, nggak, dulu? Aku pernah minta kamu peluk pinggangku dan kamu nurut. Terus, kita sempat pegangan tangan. Di lampu merah."

Waktu itu, Magnolia bahkan masih kelas tiga SMP. Badannya yang kurus kering baru saja dikerok oleh Mak Surti penjual bawang. Dia tahu, Magnolia merasa amat minder berdekatan dengannya tetapi tidak menolak saat diajak pulang bersama. 

Magnolia tidak menjawab. Dia tetap lelap tertidur. Tapi, buat Malik itu bukanlah suatu masalah. Justru momen ini yang amat dia tunggu. Jika terbangun, Magnolia pasti bakal memberinya satu pukulan entah di jidat, di pipi, atau di perut seperti sebelumnya. Jadi, kesempatan seperti ini amat dia manfaatkan untuk memandanginya puas-puas. Dua bulan terpisah dan hanya mampu mencuri lihat lewat akun Instagram Laura Hasjim adalah hal yang amat konyol yang pernah dia lakukan. 

Malik membawa punggung tangan Magnolia ke arah bibirnya dan mengecup punggung tangan wanita muda itu dengan penuh kerinduan. Dulu, bila ingin bertemu, dia tinggal datang ke Kopi Bahagia. Beri saja alasan disuruh Dimas, maka Magnolia tidak akan protes. Bila Magnolia bangun nanti, dia juga akan memberi alasan yang sama. Dua hari lagi adalah peresmian pertunangan Dimas dan Inggit. Dia tidak diperbolehkan pergi jauh. Sebagai gantinya, Malik yang melakukan tugas mulia itu, menemui Magnolia. 

Kecupan barusan membuat Magnolia sempat bergerak dan buru-buru Malik mengembalikan tangan sang guru ke samping badannya. Bila Magnolia terbangun dan menyadari bahwa kini "Teman Mamas" telah lancang menggerayangi tangannya, Magnolia pastilah bakal mengamuk sedangkan saat ini dia butuh banyak istirahat dan mengurangi tekanan pada kepalanya. 

Malik menghela napas lega saat kemudian menyadari kalau Magnolia kembali melanjutkan tidur. Dia kemudian melirik arloji di tangan dan menemukan kalau saat ini waktu telah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit. Magnolia mungkin tidak akan terbangun sampai subuh nanti dan dia baru sadar telah minggat dari Jakarta tanpa memikirkan keadaannya sendiri. 

Nggak mungkin aku pulang sekarang. Bibi Yaya dan suaminya nggak bakal kasih izin. Lagian, aku juga sudah nggak sanggup lagi nggak tidur dari semalam.

Yaya juga mesti dicek kondisinya, siapa tahu dia muntah. Aku belum sempat nanyain sama Bibi, Yaya pingsan karena benturan atau yang lain. Nggak mungkin dokter nyuruh pulang…

" Makan dulu, yuk."

Suara Rosanawati membuat Malik yang saat itu sedang mengamati kondisi Magnolia, segera menoleh. Dia ingin sekali menolak, tetapi, sejak tadi pagi, perutnya belum terisi sama sekali. Lagipula, dia tidak yakin dengan tubuhnya yang belum sempat dibersihkan. 

"Makasih, Bi."

Malik melirik ke arah Magnolia untuk terakhir kali dan setelah melemparkan sebuah senyum tipis dan usapan di pipi gadis itu, Malik bangkit dan ikut menyusul Rosanawati menuju ruang makan.

***

Magnolia terbangun karena menyadari Hening yang tidur di sampingnya mengigau menyebut nama Titin, teman sepermainan yang usianya sebaya dengannya. Saat itu, lampu kamar sengaja tidak dimatikan dan dia menoleh ke arah jam dinding yang letaknya di seberang tempat tidur. Pukul lima lewat tiga puluh menit. 

Astaga, gue kesiangan.

Sadar dengan luka di kepala, Magnolia kemudian bangkit dengan berhati-hati. Dia tidak ingin bertindak sembrono yang mengakibatkan jahitan di kepalanya kembali terbuka. 

Dia memarahi dirinya sendiri karena tidur terlalu lelap. Apalagi Nenek Een tidak memanggilnya seperti biasa untuk minta bantu buang air atau diambilkan air minum. 

"Ning, geser atuh. Teteh mau ke dapur."

Walau sudah dua bulan lewat berada di Pagiran, Magnolia belum terlalu bisa berbahasa Sunda. Dia kadang bicara menggunakan bahasa Indonesia walau ketika berada di sekolah, kebanyakan siswa SD belum terlalu paham. Mereka telah terbiasa menggunakan bahasa ibu sehingga menjadi tantangan yang luar biasa buat Magnolia dan dia akhirnya menguatkan tekad untuk banyak berkomunikasi dengan keluarganya menggunakan bahasa Sunda. 

Perlahan, Magnolia bangkit dari tempat tidur dan segera memakai sandal yang berada tepat di bawah dipan. Mulanya dia merasa bingung dengan keberadaan sebuah kursi plastik di samping tempat tidur. Namun, karena saat ini keadaannya sedang cedera, dia yakin, Rosanawatilah yang melakukannya.

Magnolia keluar kamar dengan membuka pintu dan menyingkap gorden. Biasanya hanya ada dirinya dan Nenek Een di rumah. Hening hanya sesekali menemani Magnolia tidur, terutama bila mendapat banyak PR dari sekolah. Tapi, kali ini dia dikejutkan oleh kehadiran Rosanawati yang sedang mencuci piring. Tidak hanya itu, aroma nasi goreng yang baru dimasak memenuhi indra penciumannya. Seketika, cacing dalam perut Magnolia menabuh genderang, amat gaduh
tanda minta diisi. 

"Bibi, nggak usah cuci piring. Yaya ngerepotin. Jadi nggak enak." 

Rosanawati menoleh dan dia tersenyum, "Udah. Yaya duduk aja. Makan nasi goreng. Tadi Bibi masak banyak."

Magnolia sempat heran melihat nasi goreng di dalam wadah nasi yang seperti kata Bibinya, memang dimasak cukup banyak. Tetapi, dilihat dari bentuknya, nasi goreng di hadapannya saat ini sudah sempat diambil. Apakah Mang Karim dan Bibinya sudah makan?

"Yaya mau salat Subuh dulu. Udah telat banget. Langit udah mau terang."

Magnolia menggulung lengan baju dan berjalan menuju kamar mandi. Dia mengiyakan kata-kata Rosanawati untuk berhati-hati. Kondisinya belum stabil dan lantai kamar mandi yang basah bisa membuatnya terpeleset jika tidak hati-hati.

Magnolia kembali masuk kamar dan mengambil peralatan salatnya yang berada di dalam lemari pakaian. Keberadaan kursi plastik di kamarnya, membuat Magnolia mesti mengembalikan benda tersebut ke dapur agar bisa menggunakan tempat kursi itu berada untuk salat.

"Bibi jagain Yaya semalaman? Makasih, ya."

Rosanawati yang belum selesai mencuci kembali menoleh dan tersenyum dengan raut agak ganjil. Dia seperti hendak mengatakan sesuatu tetapi kemudian mengunci bibirnya seolah ada seseorang yang melarangnya untuk bersuara. Karena itu juga, Magnolia lantas kembali ke kamar untuk menunaikan salat. 

Usai salat, Rosanawati kemudian dikejutkan dengan suara Magnolia yang memanggil namanya, lalu wajah gadis itu muncul lagi di dapur. Magnolia tampak panik karena di tangannya saat ini terdapat sebuah jam tangan yang amat familiar di matanya. 

"Bibi, ini kenapa ada jam tangan laki-laki di kamar Yaya? Semalam ada yang masuk? Ada penyusup?"

Bila benar yang datang dan meninggalkan jam tangan tersebut adalah seorang penyusup, maka Magnolia merasa amat ketakutan. Tapi, dari posisi dia menemukan jam tangan itu, di atas meja rias milik ibunya, Mawardhani, dia yakin benda itu tidak sengaja tertinggal. 

Gue inget banget Abang punya jam dengan merk yang sama. Gue sempat Google buat cari tahu harganya. Lagian, gue juga inget, layar jam Abang ada lecet soalnya pernah lecet gara-gara kegesek tembok di samping rumah Mama. 

Ini nggak mungkin, kan, punya dia? Mang Karim? Boro-boro pake jam. Pake gelang aja tangannya korengan.

"Yaya tidur kayak kebo semalam, jadi nggak tahu kalau ada orang. Tapi, pagi ini kayak nggak ada siapa-siapa."

Magnolia saat ini tidak bisa menahan debar di dada karena begitu yakin kalau jam tangan yang sekarang dia pegang dengan erat adalah milik Malik. Tetapi, pria itu tidak mungkin datang ke Pagiran tanpa alasan. Lagipula, besok Dimas akan melangsungkan acara pertunangan dan Malik tidak mungkin melewatkan hari penting sahabatnya itu. 

"Memang ada tamu. Tapi sudah pulang habis salat tadi." 

Rosanawati yang mulanya ingin merahasiakan hal itu karena permintaan Malik tidak bisa menahan diri untuk mengunci bibirnya lebih lama lagi. Dua bulan cukup buatnya untuk menyimpulkan apa yang sedang terjadi. Dari gelagatnya tadi malam, Rosanawati tahu kalau Malik amat mencintai Magnolia tetapi sikap Magnolia kepadanya jauh dari kata suka. Saat Malik dan Dimas menginap dua bulan lalu saja, sikap Magnolia amat mirip dengan angsa yang sedang mengamuk. 

Meski sempat merasa aneh dengan sikap Malik yang buru-buru pulang sebelum Magnolia bangun, dia kemudian berusaha memahami sikap Malik. Jika mereka bertemu sekarang, Magnolia kemungkinan besar tidak akan suka dan bakal mempengaruhi luka di kepalanya. 

"Oh." respon Magnolia pendek begitu Rosanawati menyebutkan kata tamu. Dia tahu, bibinya telah menganggap Malik dan Dimas sebagai keluarganya juga. Karena itu, tidak mungkin Rosanawati melabeli pria tersebut dengan panggilan tamu.

"Kalau gitu, jam ini pasti punya dia. Kita mesti kembalikan. Siapa tahu dia perlu." Magnolia mengulurkan jam tangan tersebut kepada Rosanawati. Namun sang bibi mengeluh karena tangannya saat ini penuh sabun dan meminta Magnolia untuk menyimpannya. 

"Tolong simpan dulu. Nanti, kalau orangnya perlu, dia bakal balik lagi dan ambil sendiri."

Magnolia menaikkan alis. Dia tidak paham arti kalimat yang barusan bibinya katakan. Lagipula, siapa, sih, tamu yang dengan sengaja melepas jam tangannya dan meletakkan benda itu di atas meja rias Magnolia kalau bukan tanpa alasan.

Malik?

Ih, gara-gara kepentok, gue jadi mikirin dia terus. Udahlah, move on, Ya. Cari laki yang lebih baik dari dia, kan bisa. Di sini banyak cowok ganteng dan bertanggung jawab. Nggak kayak dia, yang selalu PHP dan doyan nyakitin hati cewek jelek kayak gue.

Untung aja gue kecelakaan jadi besok nggak perlu pulang ke Jakarta dan lihatin muka songongnya itu. 

Ternyata, Tuhan selalu punya rencana yang terbaik buat umat-Nya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro