Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

empat puluh sembilan

Makasih 1500 komennya.

Ramein lagi, yes. Selamat menunggu di hari Rabooo.

Yang ga sabaran di KK atau KBM.

***

Ketika 49

Selain Malik Galih Kencana, Dimas Ahmad Hassan yang sebelumnya punya hobi mampir dan nongkrong di Kopi Bahagia hingga berjam-jam, sekarang, kedai kopi tersebut ketambahan dua pelanggan baru lagi yang berhasil mengetahui tempat kerja ibu guru magang mereka. Setelah mengantar Magnolia di hari dia diikuti oleh Malik, Patra dan Sandro kemudian jadi amat rajin datang ke mal dengan alasan ingin ngopi seperti anak muda yang saat ini memilih kopi sebagai penghilang stres.

Sayangnya, begitu Magnolia memberikan dua cangkir espresso untuk mereka berdua, baik Patra maupun Sandro pada akhirnya hanya sanggup minum latte atau frappe saja. 

"Ibu, ah, masak jualan kopi pahit gini? Nggak senang sama saya, ya? Padahal saya udah setia sama Ibu dari kemarin-kemarin." protes Sandro saat dia tidak terima mendapat espresso yang memang dia pesan sendiri. 

"Mana isinya sedikit lagi. Rugi, dong, kita."

Dibandingkan dengan Malik yang tidak pernah protes minum kopi tanpa gula, Magnolia sampai heran menemukan makhluk-makhluk seperti Patra dan Sandro yang punya rasa ingin tahu amat besar tentang dunia perkopian, namun, kemudian berakhir seperti yang sekarang ini, tidak sanggup mencicipi rasa asli kopi yang sebenarnya. Padahal, jika mereka jeli, tidak hanya rasa pahit saja yang bisa dirasakan dari menyesap secangkir kopi. Ada berbagai hint rasa di dalamnya yang kadang menjadi kejutan bagi setiap peminumnya.

"Hai." 

Suara itu lagi-lagi mampir ke telinganya. Magnolia merasa dia mengalami halusinasi selama seminggu ini dan ketika dia menoleh ke bagian depan konter, wajah menyebalkan milik Malik langsung memenuhi pandangannya.

"Mas Harr…" 

Malik menarik lengan Magnolia yang jelas-jelas meminta Harry untuk menggantikan posisinya saat ini. Begitu tangan kanan Malik menyentuh lengannya, dia segera melotot dan mencoba menarik tangannya sendiri. Untung sedang tidak ada pembeli selain Malik sehingga dengan tatapan siap melaser pria itu, Magnolia bicara dengan mendesis kepadanya. 

"Jangan sembarangan pegang-pegang gue. Lo sinting, ya?" 

"Aku nggak bisa minum kopi buatan Harry atau Sandy." lirih, Malik membalas. Wajahnya terlihat amat terluka, tetapi Magnolia merasa masa bodoh dengan kondisinya.

"Itu urusan lo." 

Magnolia harus setengah mati berusaha menjaga suaranya agar tidak meledak marah. Kenapa Malik mesti datang ke Kopi Bahagia? Sudah hampir dua tahun batang hidungnya tidak pernah mampir dan sekarang dia datang seperti seorang pengemis yang berharap bakal diberi uang.

"Magnolia."

Ini lagi. Magnolia tidak suka bila dia memanggil namanya dengan lengkap. Sekujur tubuhnya merinding tidak jelas dan dia amat tidak menyukai perbuatan pria tersebut. 

"Lo ngapain, sih, pake nongol-nongol ke sini? Mamas aja sibuk di rumah sakit. Apa lo nggak lulus koas? Hah? Jangan-jangan dokter-dokter di rumah sakit muak lihat muka lo yang sok pintar, kayak yang gue rasain sekarang."

Pegangan Malik di tangan Magnolia sedikit mengendur dan bagi wanita muda tersebut, hal itu jadi kesempatan buatnya untuk menarik tangannya kembali dan Magnolia masih berniat memanggil Harry yang kini berada di dekat bak cuci piring.

"Kamu muak lihat aku?"

"Banget. Lo manusia paling aneh yang pernah gue lihat di dunia. Kayak lupa aja, dulu lo yang nolak gue, menghina gue, seolah-olah nggak ada yang lebih baik dan sempurna kecuali cewek lo. Urusan kita sudah selesai dari minggu kemaren dan lo mesti inget, gue bukan anak bodoh yang sama kayak dua tahun lalu, yang setiap lo dekati, kasih senyum, gue luluh."

"Dan satu lagi," Magnolia bicara lagi dengan nada yang hanya bisa didengar Malik karena di belakangnya terdengar siulan dari Harry, "Jangan kira gue bicara sama lo sekarang, karena gue senang. Kalau bukan teman Mamas, gue nggak bakalan sudi meladeni lo lagi."

Lagi-lagi Magnolia mengucapkan kalimat yang sama seperti yang dua tahun lalu pernah dia ucapkan kepadanya. Seolah-olah, buat Malik hal tersebut adalah sebuah hukuman. Magnolia juga tidak peduli lagi kepadanya dan dengan tersenyum lebar dia meminta Harry untuk menggantikannya melayani Malik. 

Urusan lo sama gue sudah selesai. Jadi berhenti datang dan menggerecoki gue kalau ujung-ujungnya cuma buat lo teriak-teriak melakukannya demi Mamas dan kalau lo pinter, lo pasti tahu apa artinya selesai. Nama lainnya Tamat. 

***

Malik Galih Kencana sepertinya mulai paham kalau Magnolia benar-benar tidak ingin lagi terlibat dengan dirinya. Namun, bukan Malik namanya kalau tidak punya banyak siasat untuk mengambil hati nona lesung pipi yang semakin hari semakin menyeramkan. Tidak seperti bertahun-tahun lalu, saat Magnolia pernah berusaha menarik hatinya, kini, Magnolia yang kelihatan enggan berurusan dengannya kerap bersikap ketus tidak peduli saat itu ada Dimas yang selalu meminta sang adik untuk menjaga sikapnya.

"Lo ngapain, sih, ngajak-ngajak dia?" 

Tanpa ragu, Magnolia mengoceh kepada Dimas yang saat itu berdiri di depan konter sedang memesan Latte dan Americano kepada Magnolia. Adiknya menolak pembayaran dari Dimas karena tahu, abangnya itu masih membutuhkan banyak biaya. Tetapi Dimas memaksa untuk membayar dan mengatakan usaha yang sekarang dia geluti mulai membuahkan hasil. 

"Gue udah buka cabang ke dua sekarang. Anak-anak muda lagi senang makanan korea dan gue kenal suppliernya. Supaya murah, gue bikin ala street food gitu."

"Jangan ngalihin omongan." Magnolia melotot. Dia sedang tidak senang, tetapi Dimas kentara sekali sedang antusias bercerita. 

"Nggak apa-apa kali, kami mampir ke sini. Sekalian bantu penjualan kalian." Dimas terkekeh. Magnolia yang mendengarnya amat tidak setuju.

"Kalau gue nggak lulus sebentar lagi, udah pasti gue mau diajak pindah ke cabang lain. Tapi lo tahu, kan? Bulan depan gue wisuda."

Magnolia berjalan hilir mudik menyiapkan pesanan Dimas. Dia bersyukur mal sedang sepi dan di ruang sebelah hanya ada Malik yang duduk sambil memandangi laptopnya. Pria tampan tersebut sesekali mencuri pandang ke arah Magnolia yang hari ini menguncir dua rambut sepunggungnya hingga dia tampak seperti gadis umur lima belas tahun. Kenyataannya, dia adalah seorang barista yang amat mahir dan tidak lama lagi akan menyelesaikan pendidikannya sebagai guru program studi pendidikan olahraga dan kesehatan.

"Bulan depan bisa dipanjangin jadi tahun depan, nggak?" gumam Dimas sambil menghela napas. Dia tidak sadar betapa cepat waktu telah berlalu. Si bungsu yang dari dulu dia jaga dengan sepenuh hati sebentar lagi akan pergi jauh meninggalkannya. Magnolia sudah mendapatkan alamat lengkap keluarga ibunya di desa Pagiran dan dia sudah mengabari mereka akan berangkat paling cepat satu bulan lagi.

Bagi Dimas, hal tersebut seperti sebuah hukuman. Betapa tidak, amat tidak mungkin buat Magnolia kembali ke Jakarta dengan mudah. Waktu tempuh dari ibu kota ke tempat tersebut lebih dari enam jam. Sebagian besar waktu akan habis saat mereka menyusuri pelosok dan mengingat posisi desa ibunya berada di atas bukit, mereka akan melakukan pendakian seperti yang dilakukan oleh penduduk lokal. 

Hal seperti itu membuat Dimas berpikir, Magnolia pastilah lebih suka membiarkan dirinya menua di sana daripada kembali lagi ke Jakarta untuk hal yang tidak menarik perhatiannya. Ketika Dimas memintanya datang sekali-sekali, respon Magnolia hanyalah tawa yang membuat hatinya teriris-iris.

"Ke Jakarta cuma lihat lo doang? Kan bisa lewat video call. Gue juga bisa live Instagram setiap hari. Lagian kalo ke Jakarta gue ngapain? Ambil kulakan di Tanah Abang? Warung tempat tinggal gue udah dirubuhin sama Mama. Mereka juga nggak sudi lihat muka gue lagi. Liburan? Gue bahkan nggak tahu liburan itu apa setelah hampir seumur hidup mesti banting tulang nyari duit. Nikah? Kalau jodoh gue orang sana, masak gue nikah di Jakarta, sih? Kasian keluarganya mesti susah payah boyongan."

Dari semua hal yang Magnolia sebutkan, tidak ada tanda-tanda dia ingin kembali ke Jakarta sekadar untuk mampir menemui Dimas atau teman-temannya yang lain. Magnolia berkata bila sempat dia akan menghadiri pernikahan siapa saja yang mengundangnya, entah itu Anita, Utari, atau bahkan Dimas sendiri. Saat Dimas bercanda mengatakan tentang pernikahan Malik, Magnolia hanya berkata meski Bude Laura mengundangnya, dia tidak bakal repot-repot datang. Cukuplah Dimas sebagai wakilnya.

"Bulan depan masih lama, ih. Sampe tanggal 31." Magnolia menunjuk ke arah kalender meja di sebelah mesin kasir. Dia baru selesai membuat Americano yang biasanya dipesan Malik. Tapi, karena saat ini yang berada di depan konter adalah Dimas, maka dia mau tidak mau menuruti permintaan abangnya. Lagipula, asal tidak melihat wajah Malik, dia masih mau membuatkan minuman untuk mantan gebetannya itu.

"Bagi gue cepet. Gue bahkan nggak sadar, lo udah segede gini. Mungkin gue bakal sedih lo tinggal satu bulan lagi. Tapi, gue mikir, gimana jadinya gue kalau nanti lo tinggalin gue buat nikah."

Magnolia tersenyum mendengar keluhan Dimas bila suatu hari nanti Magnolia dipersunting oleh seorang lelaki. Dia tidak ingin membahas hal tersebut karena sekali lagi, menikah bukanlah menjadi prioritas Magnolia saat ini. Dia sudah bertanya kepada bibinya tentang sekolah yang berada di sekitar rumah keluarga mereka dan sang bibi berkata bahwa tidak jauh dari rumah, terdapat sebuah SD yang memang sedang kekurangan tenaga pengajar. Magnolia yang sebentar lagi akan mendapatkan ijazah kemudian meminta bantuan kepada bibinya untuk memberikan alamat sekolah tersebut. Dia akan berkirim surat dan bertanya kepada pihak sekolah tentang kemungkinan dia bisa mengajar di sana setelah tiba nanti. 

Dimas yang telah diberi tahu oleh Magnolia tentang rencananya mengabdi di desa Pagiran merasa amat sedih karena hal tersebut berarti bahwa akan kecil sekali kemungkinan Magnolia bakal kembali ke Jakarta. Tapi, seperti yang telah adiknya utarakan, tidak ada lagi alasan dia untuk terus bertahan di Jakarta dan satu-satunya yang ada di dalam kepala keras milik Magnolia hanyalah dia ingin kembali ke tempat dirinya dilahirkan. 

"Pikiran lo jauh ke depan mulu, Mas. Gue belum kepikiran mau nikah. Tenang aja. Ntar kalau gue beneran mau melepas masa lajang, lo orang pertama yang bakal gue kasih tahu."

Senyum Magnolia seolah-olah dia meyakinkan Dimas bahwa suatu hari nanti, Dimas bakal berkesempatan menyaksikan Magnolia dipersunting oleh pria yang mencintainya. Tetapi, entah kenapa, satu sudut di hatinya seolah tidak setuju bila dia memilih seseorang bukan karena dia menginginkannya. 

"Makasih." Dimas berlalu sambil memegang dua cup kopi dalam pegangannya. Wajahnya tampak tidak puas, tetapi dia memilih bergerak menuju ruang sebelah sementara Magnolia sendiri, mengikuti bayangan sang abang hingga kemudian Dimas duduk di bangkunya dan menyodorkan Americano Malik kepadanya. Malik sendiri, sebelum menyesap minuman tersebut, memilih untuk menghidu aroma kopi sembari memejamkan mata. Tidak lama, dia menoleh ke arah Magnolia yang belum melepaskan pandangan kepada saudaranya tersebut. 

Malik tersenyum dan menunjukkan cangkir kertasnya kepada Magnolia sementara wanita muda itu sendiri memilih untuk melengos dan memandangi mesin kasir dengan tatapan malas. Malik bahkan tersenyum karena dia hapal sekali rasa kopi yang selama ini selalu Magnolia buat untuknya. Kopi yang sedang dia sesap saat itu adalah kopi buatan gadis yang dulu amat menyukainya dan setelah dua tahun berlalu, dia akhirnya bisa menikmati kopi Magnolia lagi. 

Magnolia kembali mengalihkan pandang ke arah Malik. Senyum yang sarjana kedokteran itu buat amat kentara dan Magnolia bisa tahu kalau saat ini dia sedang senang karena berhasil membuat Magnolia kembali membuatkan kopi untuknya, bukan senyuman karena merespon Dimas yang saat ini sedang berbicara dengan wajah serius kepadanya.

Nikmatin aja minuman terakhir yang gue buat, Bang. Habis ini, gue bakal benar-benar pergi dari hidup lo, sampe lo nggak bisa temukan gue di mana pun. Itu yang lo mau dan gue dengan senang hati mengabulkannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro