Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua Puluh Tujuh

Ketika 26

Demi menyenangkan hati Dimas, Magnolia sengaja meminta cuti pada hari ulang tahunnya. Dia merasa tidak perlu bekerja setengah hari. Toh, mal saja buka pukul sepuluh dan pelanggan yang datang belum langsung membeli kopi. Bisa-bisa setengah hari yang dimaksud baru bakal selesai saat hari menunjukkan pukul enam. Padahal, sejak hari sebelumnya, Dimas sudah mewanti-wanti agar Magnolia harus menikmati hari lahirnya secara istimewa. 

"Nggak usah repot-repot, Mas." ujar Magnolia saat Dimas memintanya bersiap-siap. Untung saja, mama dan Kezia memutuskan untuk berjalan-jalan berdua saja pada hari Minggu itu, sehingga Dimas makin leluasa mengajak adiknya untuk pergi bersama.

"Nonton. Dari awal kita selalu gagal. Lo demam, lah. Mesti lembur, lah, latihan bikin kopi. Pokoknya, selalu ada alasan. Gue sengaja nabung sebagian gaji gue tiap bulan supaya hari ini bisa puas nraktir lo."

Magnolia menghela napas. Dimas tidak pernah mendengar nasihatnya. Saat ini dia butuh banyak uang untuk persiapan masuk universitas. Tapi, yang dia lakukan malah menghambur-hamburkan gajinya yang memang tidak seberapa.

"Nggak setiap hari lo ultah."

Tidak setiap hari. Tetapi, tetap saja Magnolia khawatir. Tinggal beberapa bulan lagi ujian kelulusan untuk anak kelas 12 dan jika bukan sekarang, kapan lagi Dimas akan mempersiapkan dana pendidikannya? Soal otak, dia amat percaya abangnya bisa.

"Sudah. Nggak usah dipikirin. Gue ngajak lo jalan juga sebagai hadiah. Jadi, jangan pasang muka sedih gitu. Kita mau nonton Percy Jackson."

Demi menyenangkan hati Magnolia, Dimas mengajaknya menonton film fantasi yang sedang laris di bulan itu dan Magnolia tidak bisa menolak. Sebelum ini, Kezia sudah menonton bersama teman-temannya dan Dimas tahu, saat saudarinya bercerita dengan antusias kepada mama tentang pengalamannya menonton, Magnolia tampak amat penasaran dan tertarik. 

Hanya saja, seperti sifat Magnolia yang dia hapal dengan amat baik, adiknya tidak akan pernah menginjakkan kaki di tempat tersebut bila tidak dipaksa dan kesempatan yang paling baik menurut Dimas adalah hari ulang tahun Magnolia.

Sekitar pukul sepuluh, Dimas sudah menunggu di depan kamar adik perempuannya tersebut. Tinggal mereka berdua saja karena mama dan Kezia sudah menghilang sejak pukul delapan. Dimas juga telah memberi tahu Malik kalau dia tidak bisa belajar bersama. Dia ingin menikmati waktu seharian dengan Magnolia dan respon sahabatnya hanyalah sebuah senyum serta sebuah kalimat tanya yang membuat Dimas mengangguk.

“Ulang tahun?”

“Iya. Sekali-sekali mau ajak dia merayakan hari lahirnya.”

Dimas bahkan tidak menyadari kalau saat itu Malik tersenyum kepadanya. Dia terlalu antusias bahkan saat Magnolia memanggil namanya dari dalam kamar.

“Yaya manggil, Bro. Gue masuk dulu.”

Dimas bergegas meninggalkan Malik yang pagi itu sedang mencuci motor di depan rumah. Suara Magnolia yang memanggil Dimas juga sempat membuatnya menoleh. Gadis yang hari itu genap berusia enam belas tahun tersebut jarang bersuara besar terutama saat ada ibu dan saudara tirinya. Karena itu, Malik agak sedikit heran saat dia tiba-tiba saja memanggil abangnya.

“Rok dari lo masih kegedean.” malu-malu Magnolia menunjukkan dirinya kepada Dimas. Dia sudah memakai sepatu sekolahnya yang berwarna hitam sementara rok yang dia pakai berwarna merah muda dengan aksen bunga kecil-kecil di bagian ujungnya. Rok dengan panjang di bawah lutut tersebut mengembang dengan indah sementara untuk atasan, Magnolia hanya memakai sebuah kaus polos berwarna putih.

Rambut Magnolia yang mulanya hanya sebahu, kali ini dia kuncir kuda. Setelah bekerja sebagai pegawai Kopi Bahagia, dia jadi memanjangkannya karena menurut Anita, pelanggan suka melihat penjual kopi berambut panjang. Meski begitu, suatu kesia-siaan saja menurut Magnolia. Alasannya jelas. Semua pegawai wanita mengikat rambutnya dalam gelungan dan menutupnya dengan bandana khas Kopi Bahagia. Jadi, mau sepanjang apa pun rambutnya, tidak bakal punya banyak fungsi kecuali pelanggan mau mendapat serbuk ketombe atau helaian rambut masuk ke minuman mereka.

“Cakep. Tapi, sepatunya aja yang nggak cocok.” Dimas mencoba menilail. Sepatu sekolah memang kurang keren diajak jalan-jalan. Meski begitu, Magnolia tidak punya pilihan. Sepatu sekolahnya adalah teman paling setia yang menemani setiap langkahnya baik untuk menimba ilmu atau sekadar mengais rupiah, entah itu sebagai tukang lap, tukang cabai, atau nona penjual kopi di salah satu sudut mal kota Jakarta.

“Biarin. Daripada gue pake sendal jepit.” Magnolia menjulurkan lidah sembari mengunci pintu kamar. Tidak ada yang berharga di dalam kamar tersebut kecuali foto dirinya dan Dimas serta sarung papa, pemberian abangnya bertahun-tahun lalu. Magnolia menyimpan semua uangnya di bank dan dia tidak pernah meninggalkan buku bank dan ATM di kamar. Dia percaya mama dan Kezia tidak akan berbuat aneh-aneh. Tetapi karena dirinya selalu pulang malam dan kondisi kamar yang amat rapuh membuat Magnolia berpikir dua kali. Tanpa ada yang mengetahui, kartu ATM dan buku bank dia simpan di bawah seng atas langit-langit kamar mandi, tersembunyi di balik batu bata dan telah dia bungkus dengan kantong kresek. 

Yang paling dia takuti paling-paling jika suatu hari nanti mama berniat merobohkan kamar mandi di luar, sehingga harta karunnya bakal hilang. Tapi, sebelum itu terjadi, Magnolia sudah memikirkan sebuah tempat penyimpanan baru yang tidak bakal diketahui orang-orang. Uang yang dia miliki memang tidak banyak, tetapi bila hilang, dia pasti bakal menangis hingga keluar air mata darah.

“Sendal lo jelek juga.” Dimas pura-pura sedih. Tapi sekejap kemudian, dia menyuruh adiknya menunggu sementara dirinya sendiri berjalan menuju kursi teras, tempat hadiah kedua dia sembunyikan di sana.

“Ya Allah, Mas. Lo baik banget. Seharusnya nggak perlu.”

Magnolia merasa amat terharu sekaligus tidak enak. Tadi malam, usai Malik pulang, pemuda itu menggedor kamar dan menyerahkan hadiah pertama untuk dia pakai pagi ini dan setelahnya, Magnolia mendapatkan hadiah lagi berupa sepasang sepatu sandal berwarna pink muda yang amat cantik.

“Ini pasti mahal.” Magnolia tidak bisa menahan haru saat Dimas memintanya membuka sepatu sekolah yang dia pakai, “Lebih cocok dipakai Keke.”

Dimas mengangkat kepala. Tampak tidak setuju dengan kata-kata terakhir tersebut sehingga dia memilih diam dan meminta Magnolia menyelesaikan pekerjaannya.

Usai memastikan kamar dan semua pintu terkunci, berikut pagar rumah, Dimas kemudian mengajak adiknya berjalan hingga ke perempatan. Mereka akan menonton di mal dekat rumah. Magnolia tidak ingin menahan Dimas terlalu lama dan bila suatu saat mama mencari, mereka akan segera tiba di rumah tanpa terhambat kemacetan. Meskipun Dimas sempat menawari untuk main di mal yang fasilitasnya lebih lengkap, akhirnya dia mengalah, tidak setiap saat adiknya mau diajak jalan-jalan dan Dimas lebih suka melihat Magnolianya tersenyum daripada harus cemberut di hari lahirnya sendiri.

“Nggak usah popcorn. Gue juga tahan nggak minum.” dengus Magnolia ketika mereka tiba di bioskop. Dimas sudah memegang tiket dan tidak lama lagi pintu studio mereka akan dibuka.

“Haus, Dek. Nontonnya juga nggak sebentar. Itu ada paketan popcorn sama Coca-Cola, murah. Cuma dua puluh lima. Sama beli sosis, ya? Kita makan gorengan doang tadi gara-gara lo maunya makan abis nonton.”

“Gue nggak mau lagi asyik-asyik nonton, ntar kebelet pipis atau beol gara-gara kebanyakan makan.” balas Magnolia dengan pipi bersemu merah, takut orang-orang di belakang mereka mendengar percakapan Magnolia. Dia merasa minder karena punya kebiasaan kampungan seperti itu.

“Ya ampun. Orang lain biasa aja, kali, lagi enak-enak nonton terus ke WC.” Dimas tertawa tidak lama setelah dia selesai memesan kudapan pada petugas food corner di bioskop.

“Banyak banget. Habis ntar duit lo.” Magnolia ikut membantu membawakan belanjaan mereka, tetapi tidak diizinkan oleh Dimas. 

“Harusnya lo begini sama Papa, tapi, sampai menghembuskan napas terakhir pun lo nggak sempat diajak jalan-jalan. Jadi, anggap aja semua ini balas dendam salah satu impian lo yang nggak pernah terkabul.”

Magnolia hanya mengurai senyum tipis dan dia mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati sang abang yang membuatnya kadang malu dengan diri sendiri. Di saat yang sama, dia merasa seseorang memperhatikannya, tetapi, begitu Magnolia menoleh ke arah sekeliling, dia tidak menemukan sosok mencurigakan tersebut. Yang sedang dia lihat hanyalah antrean calon penonton yang sedang menunggu giliran membeli tiket. Selain itu, sekumpulan anak muda, entah bersama pasangan dan rombongannya sedang tertawa dan bersenda gurau satu sama lain.

“Kenapa? Kebelet? Tuh, studionya sudah dibuka. Orang-orang sudah mulai masuk.”

“Nggak.” Magnolia menggeleng, “Perasaan gue aja kali. Kayak diliatin.”

Dimas meninggikan leher dan matanya mulai menjelajah sekelilingnya. Tapi, seperti kata-kata adiknya barusan, tidak ada hal aneh dan mencurigakan.

“Nggak ada. Lo kira ada psiko yang tiba-tiba datang mau nusuk kita, gitu?” Dimas nyengir memamerkan deretan giginya yang rapi sementara Magnolia, sebelum mengedikkan bahu, sempat menjawab, “Mungkin. Ada cewek yang nggak suka lihat lo gandeng-gandeng gue, terus mutilasi gue.”

Magnolia tertawa. Bicara tentang orang yang tidak suka dengan keakraban yang kelewat dekat dengan Dimas mengingatkannya pada Kezia dan mama. Tidak satu atau dua kali dia mendengar kedua orang tersebut meminta supaya Dimas juga memperhatikan saudara kandungnya. Kezia jauh lebih berhak mendapat cinta Dimas daripada Magnolia yang jelas-jelas anak haram.

“Ya, udah. Masuk aja. Jangan ngomong aneh-aneh.” Dimas menarik lengan kanan adiknya lalu menggenggam jemarinya dengan amat erat seolah-olah dia sedang mewaspadai siapa saja yang hendak mengganggu dan menyakiti Yaya kesayangannya. Dimas sempat menoleh kembali ke arah belakang dan dia meyakinkan diri kalau tidak ada sosok yang membuat adiknya ketakutan seperti tadi. Setelah itu, dia mempercepat langkah memasuki studio tempat film yang akan mereka tonton ditayangkan.

“Pelan-pelan.” Dimas mengingatkan Magnolia untuk hati-hati melangkah, suasana dalam studio tampak temaram. Tetapi terdapat lampu-lampu di setiap anak tangga untuk menerangi nomor deret kursi yang dimulai dengan alfabet. Begitu sampai di deretan tiket mereka, deret E, tempat yang amat disukai oleh penikmat bioskop, Dimas menuntun adiknya untuk menuju kursi mereka.

“Bener ini nomornya, nggak salah?” Magnolia meyakinkan. Dimas menggunakan senter dari ponselnya untuk membuktikan kalau dia tidak salah.

“Ya udah, duduk dulu.” Dimas memberi instruksi. Tapi, baru beberapa detik Magnolia menghenyakkan pantatnya, Dimas sudah bicara kembali, Masih ada beberapa menit sebelum mulai. Lo mau ke WC?”

Magnolia sebenarnya belum ingin ke kamar kecil. Akan tetapi, melihat durasi film yang akan mereka tonton ternyata tidak sebentar, pada akhirnya dia memutuskan berdiri.

“Mau ditemenin?”

“Nggak usah.” balas Magnolia begitu Dimas menawarinya bantuan. Lagipula, Dimas tidak mungkin masuk WC perempuan dan daripada dia hanya berdiri dan menahan malu, lebih baik Dimas duduk dan menjaga makanan mereka.

Untung saja antrean di WC tidak lama dan Magnolia bisa kembali ke bangkunya kurang dari lima menit. Dia juga sudah mencuci tangan sehingga ketika Dimas mengulurkan sekotak berondong jagung kepadanya, dia tidak menolak. Tapi, setelahnya, dia sempat menggoda sang abang sambil tertawa, “Harusnya lo nonton bareng pacar, Mas, bukan bareng gue. Kayak kelihatan banget kalau lo nggak laku.”

Dimas tertawa. Diusapnya puncak kepala Magnolia dan dimintanya si bungsu untuk memeluk lengannya. Sungguh yang seperti ini jauh lebih menyenangkan daripada mengajak pacar yang bahkan belum pernah dia miliki sama sekali. 

“Jangan berisik. Filmnya sudah mulai.” bisik Dimas begitu lampu studio mulai redup kemudian berubah gelap. Sudah banyak penonton yang berada di dalam sana tetapi, kursi di sebelah Magnolia tampak kosong.

Tepat saat suasana berubah hening dan bagian pembuka film ditayangkan, seorang pemuda meminta izin untuk duduk di sebelah Magnolia. Baru saja dia menoleh dan hendak berkata, “Silahkan,” Magnolia tergigit lidahnya sendiri.

Malik Galih Kencana, tahu-tahu saja ikut duduk dan menonton di sebelahnya.

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro