Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

dua belas

Yaya dan Malik update tiap rabu ya. Kalo eke lupa tulung ingetin. Yang ga sabar boleh ke KK dan KBM.

***

Ketika 11

Jalanan agak becek saat Magnolia berjalan keluar dari gerbang masjid. Suasana cukup sepi karena orang-orang lebih memilih untuk berada di dalam rumah daripada berjalan saat gerimis seperti ini. Magnolia sebenarnya sudah gatal hendak bertanya kenapa Malik bisa menemukannya di masjid, padahal dia yakin, tidak akan ada yang mengetahui tempat persembunyiannya. Toh, tidak banyak orang yang melarikan diri bakal mencari perlindungan di tempat ibadah seperti yang dirinya lakukan. Tapi, Magnolia sudah tidak tahu lagi harus melangkah ke mana. Walau saat ini dia masih menyimpan uang hasil berjualan hari ini dan beberapa hari lalu, dia tidak ingin ke mana-mana. 

“Abang, kenapa lo tahu kalau gue ada di masjid?”

Malik yang berjalan di depan Magnolia tidak menjawab. Magnolia bahkan harus memarahi dirinya sendiri kalau yang berada di hadapannya saat ini adalah Malik Galih Kencana yang tidak bakal mau bicara kepadanya biar dunia meledak sekalipun. Karena itu, dia memilih diam dan memandangi sosok tampan itu sembari mengucap syukur, pemuda itu yang menemukannya.

Malik saat itu masih memakai seragam sekolah dan jaket yang dia pakai saat ini sebelumnya dipakai Malik saat dia hendak berangkat menjemput Dimas tadi. Apakah Malik mencarinya sejak siang? Atau dia lebih dahulu pergi ke tempat les dan saat menemukan Dimas belum juga menemukannya, Malik terpaksa membantu.

Magnolia tidak bisa mendapatkan jawabannya sehingga dia memilih menundukkan kepala dan memandangi kakinya yang kini dilindungi oleh sandal milik Malik yang selama ini tidak pernah dia bayangkan memakainya bahkan dalam mimpi. Pandangannya lalu terarah pada kaki Malik yang telanjang dan mengingat tadi dia telah berjalan tanpa alas kaki ketika matahari masih sangat terik, dia lalu menarik bagian belakang seragam milik bocah tampan itu tanpa sadar dan Malik berhenti melangkah untuk menoleh kepadanya.

“Lo pake aja sandalnya lagi. Ntar kaki lo lecet. Penggemar lo bisa marah-marah ke gue.”

Malik menghela napas melihat anak perempuan menyebalkan di hadapannya saat ini. Dia memilih menggeleng dan kemudian kembali balik badan dan melanjutkan berjalan menembus gerimis.

Kalau lo masih kayak gitu, harusnya nggak usah nyariin gue, pikir Magnolia sambil memajukan bibir, Lo gengsi jalan bareng gue, kan?

“Nggak.”

Magnolia mengangkat kepala. Malik masih berjalan di depannya dan tidak menoleh sama sekali seperti tadi sehingga dia merasa kalau tadi telinganya salah dengar.

Udah berapa lama gue nggak korek kuping? Magnolia menggunakan kelingking kiri untuk mengorek telinganya. Tapi, tidak terdapat kotoran di sana dan dia yakin telinganya bersih. Lagipula, dia tidak yakin yang barusan adalah suara Malik. Dia, kan, sedang bicara dengan dirinya sendiri.

“Harusnya lo nggak usah ikut nyari-nyari gue hujan-hujan begini. Nanti ganteng lo luntur.”

Ish, ngomong apa, sih, dia ini? Si Malik tidak bakal mendengarkan dan peduli sama sekali dengan ucapannya. Pemuda itu hanya menjemputnya karena tidak tega melihat Dimas menderita.

“Jangan-jangan lo homo. Naksir sama Mamas. Kayak dicocok hidung kalau sama dia. Lah, kalau sama gue, lo bawaannya lari mulu. Bukannya itu ciri-ciri manusia yang nggak senang sama cewek? Ati-ati, Bang. Ntar kena HIV AIDS. Lo kalau ketahuan grepe-grepe Mamas, berantem sama gue, beneran. Kecil-kecil gini, gue pernah menang lomba pukul bantal se-RT.”

Malik menghela napas dan memejamkan mata mendengar tuduhan dari Magnolia. Dia menghentikan langkah secara tiba-tiba hingga membuat si mungil berlesung pipi tersebut nyaris terjungkal karena menabrak tubuhnya.

“Astaga. Lo ngapain, sih, berhenti?” Magnolia memegangi hidungnya yang dia rasa pasti patah. Entah terbuat dari apa punggung Malik, yang pasti mustahil anak kelas sebelas bisa membuat hidungnya berdenyut-denyut. Badannya tidak sebesar The Rock atau jangan-jangan, tubuh Malik sebenarnya kurus kering dengan banyak tulang menonjol sehingga tulang-tulang itulah yang barusan menghantam hidungnya.

“Bisa diam, nggak?”

Entah kenapa dia bisa naksir Malik. Selain wajah dan prestasinya, tabiat, suara, serta kadar kepekaan bocah itu nyaris nol menurut Magnolia. Meski begitu, Malik kemudian membantu mengambil kembali payung yang tadi dijatuhkan Magnolia saat dia tidak sengaja menabrak punggung Malik.

“Hidung lo nggak patah. Sekarang jalan lagi. Hujan makin deras. Dimas pasti masih nyari lo.”

Malik menarik tangannya dari hidung Magnolia. Tangannya dingin dan Magnolia merasa bersalah. Gara-gara dia, Malik mesti memberikan jaket miliknya untuk dia pakai, padahal, Magnolia sendiri sudah memakai jaket tipis miliknya.

Ngomong-ngomong, jaket yang dia pakai sudah terlalu lapuk. Dia membeli jaket tersebut ketika mendapatkan uang hasil berjualan kopi di terminal. Hanya tiga puluh ribu dan Jajang yang memilihkan benda itu di los baju bekas impor yang letaknya di belakang pasar.

“Oi, ini bermerk.” seru Jajang waktu melihat merk yang terjahit di bagian tengkuk jaket, “Adidas.”

Magnolia yang sadar bahwa mereka menemukan harta karun dengan harga jungkir balik akhirnya langsung membayar jaket tersebut tanpa menawar lagi. Kini, meski sudah dua tahun lewat dan benda itu makin pudar karena dia pakai setiap hari, Magnolia tetap menyayanginya. Jaket tersebutlah benda pertama yang dia beli dengan gaji pertamanya untuk melindungi tubuhnya dari serangan dingin di malam hari. 

Seharusnya dia bisa memakai jaket bekas milik papa. Tapi mama menyimpan semua harta papa di dalam kamar dan dia tidak diizinkan masuk hanya untuk mengambil sebuah kenang-kenangan ayah kandungnya, bahkan sebuah kaos bekas untuk dia peluk setiap malam.

Magnolia hanya punya sebuah sarung yang sering papa pakai untuk salat. Itu juga hasil pemberian Dimas yang tidak tega melihat adiknya tidur tanpa selimut.

Magnolia tidak banyak protes saat Malik menyuruhnya untuk terus berjalan. Tapi setelah lima menit, dia merasa sedikit bingung ketika mereka melewati sederetan ruko. Malik sengaja berbelok ke apotek dan menyuruh Magnolia menunggu di depan ruko sementara dia masuk. Meski bingung, dia akhirnya menurut dan supaya pemuda itu tidak marah dia memandanginya terus-terusan, Magnolia memilih untuk memandangi jalanan yang kini dilewati beberapa mobil.

Sebuah nyamuk menggigit betis Magnolia dan refleks dia menepuk betisnya sendiri. Dia tidak memakai celana panjang melainkan jin sebetis yang seperti jaket, dia beli di los baju bekas. Dia hampir tidak pernah membeli pakaian baru keluaran toko. Selain sayang dengan uang yang mesti dia keluarkan, baju-baju di los barang bekas biasanya masih memakai tag. Tidak banyak orang tahu bahwa di sudut pasar ada surga pakaian bermerk dan harganya benar-benar miring. 

Kecuali seragam sekolah dan pakaian dalam, Magnolia adalah penggemar pakaian bekas murah di los. Cukup beli cairan antiseptik dan rendam semua baju-baju bekas tersebut dengan deterjen, jemur dan setrika, maka dia akan mendapatkan sebuah baju baru yang tidak disangka-sangka dulunya adalah baju bekas.

Entah kapan Malik keluar, Magnolia terkejut karena tahu-tahu bocah itu menyodorkan sebuah kantong dan beberapa blister obat yang membuat alisnya naik tanda tidak paham. Ada juga botol vitamin yang tidak dia kenal tapi diserahkan oleh Malik kepadanya sehingga dia memandangi gebetannya tersebut dengan pandangan bingung.

"Eh, apa, nih?"

Apakah Malik tuli? Kenapa pemuda itu malah berjalan meninggalkannya sehingga kemudian Magnolia mesti berjalan terburu-buru menyusulnya dari belakang. Itu pun dia mesti kembali lagi ke ruko karena dia meninggalkan payung pemberian Malik untuknya. Gara-gara itu juga, Malik yang kesal lantas menarik resleting jaket miliknya yang dipakai Magnolia, mengancingkannya hingga gadis itu tersembunyi di dalamnya, serta menarik hoodie yang tersembunyi di belakang rambut kuncir kuda Magnolia dan memakaikannya hingga seluruh rambut dan kepala adik sahabatnya tersebut tertutup. Setelahnya, dia berjalan kembali seolah jeda sebentar tadi tidak pernah terjadi di dalam hidupnya sementara Magnolia yang terlalu kaget hanya memandanginya dengan alis naik.

Beliin gue obat, ngancingin jaket, bener-bener lo takut gue lecet, biar Mamas nggak khawatir.

Gue kira lo yang begitu karena inisiatif sendiri.

Magnolia kemudian kembali menyusul langkah Malik yang tergesa-gesa di depan.

"Cepetan, dong. Lo sengaja lama-lamain, kan?"

"Nggak bisa gue jalan cepat." Magnolia membalas. Suaranya naik karena pada saat yang sama sebuah mobil mengklakson dan melaju dengan amat cepat. Percikan dari mobil tersebut menyembur mengenai mereka berdua sehingga membuat Magnolia memejamkan mata, berharap dia tidak perlu bertemu Malik dan berteriak saat lehernya semakin sakit. 

"Sandal lo kegedean. Kaki gue kelelep. Mesti setengah mati jalan biar langkah lo bisa kesusul."

Magnolia menunjuk ke arah sandal yang dia pakai sehingga Malik dapat dengan jelas melihat perbedaan kaki mereka. Magnolia biasanya memakai ukuran kaki 35, sementara dirinya, meski baru berusia tujuh belas tahun, sudah memakai ukuran 43. Tidak heran, tubuhnya memang menjulang tinggi. Bahkan, Malik lebih tinggi dibandingkan Dimas.

"Lo jalan aja duluan. Gue nggak bisa jalan cepat-cepat. Kaki gue lelet kayak bebek." 

Magnolia merasa kini suaranya serak dan berharap telinga Malik benar-benar tuli sehingga tidak mendengar perbedaan tersebut. Dia juga baru sadar telah seharian tidak minum sehingga tidak heran, tenggorokannya jadi seperti itu.

Tidak ada respon, tidak ada gerakan. Magnolia juga terlalu takut untuk mendongak. Lagipula, payung yang dipakainya cukup besar sehingga dia tidak bisa melihat Malik dengan jelas. Usai menghela napas entah untuk alasan apa, dia kemudian melangkah kembali. Kali ini, agar tidak ketinggalan lagi, Magnolia sengaja melebarkan kaki. 

"Makan dulu." 

Suara Malik yang kembali berubah lembut, membuat Magnolia berhenti melangkah. Di hadapannya, pemuda itu menunjuk ke arah gerobak soto mie yang ternyata membuka lapak di bawah sebuah ruko, dekat apotek. Magnolia bahkan tidak percaya dengan pendengarannya sendiri dan kembali meyakinkan diri kalau dia salah dengar. 

"Ya ampun. Lo susah banget diomongin. Pantas aja Dimas suka marah-marah."

Malik mendekat ke arah Magnolia dan tiba-tiba saja menarik tangan kirinya hingga Magnolia nyaris terpekik kaget. Hingga mereka akhirnya duduk berhadapan di meja kayu beralas spanduk Teh Botol, Magnolia tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun dan hanya mampu memandangi Malik yang sengaja berdiri untuk memesan makanan buat mereka malam itu.

Ini tidak mungkin kenyataan. Dia pasti sedang tidur dan sebentar lagi, dia akan bangun. Magnolia cepat-cepat menampar pipinya dengan kuat, sebelum Malik kembali ke kursi mereka.

Aduh, sakit! ringisnya. 

Masak, sih, ini bukan mimpi? Kayak nggak masuk akal.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro