Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Delapan

Mau pake cast, katanya disuruh kekorea-koreaan. Coba yang gaul korea, ada ide siapa cocok jadi Malik, Yaya, sama Dimas.
Cus komen di sini

Jangan lupa ramaikan vote dan komen biar eke rajin up.
Malem kalo tembus banyak komen, eke up lagi dah. Ahhahahahha

***

Ketika cinta lewat depan rumahmu 07

Magnolia merasa badannya tidak sehat saat Dimas terus memaksa menyelesaikan "satu soal lagi" selama hampir tiga jam dari pukul sepuluh malam. Matanya sudah tidak kuat dan otaknya seperti menguap. Akan tetapi, Dimas terus membisikkan kata-kata semangat yang membuatnya ingin muntah. Tetapi, demi abangnya yang tersayang, ditahannya perasaan itu dan dengan mata yang semakin lengket, Magnolia terus mencoret-coret buku catatannya untuk mencari jawaban yang pas. 

"Coba baca lagi, Ya, soal nomor 39 ini. Dilakukan persilangan antara tanaman semangka berbuah besar rasa tak manis (BBmm) dengan tanaman semangka kecil berbuah manis (bbMM). Sifat besar dan manis adalah dominan. Keturunan pertama (F1) adalah tanaman semangka berbuah besar manis dengan fenotif BbMm. Jika F1 disilangkan F1 disilangkan dengan sesamanya, perbandingan fenotif… hei, lo tidur?"

Dimas menyentuh lengan kurus Magnolia yang kepalanya kini terkulai di atas meja. Matanya terpejam tetapi tangannya masih memegangi bolpoin.

"Dek."

"Hm…" gumam lemas terdengar dan Dimas merasa tangan adiknya sedikit lebih hangat dari biasanya.

"Mau lanjut? Dua nomor lagi."

Magnolia menggeleng. Dia sudah tidak kuat lagi. Malik sudah pulang saat waktu menunjukkan pukul sembilan. Dia bahkan tidak menoleh kepada Magnolia meski gadis berlesung pipi tersebut menggodanya dengan kata bersemangat. Yang ada malah, Dimas bergegas mengantarnya pulang hingga ke pagar. Mereka sempat mengobrol selama beberapa menit, meninggalkan Magnolia yang menatap penuh minat dari meja teras.
 
Itu pun, tidak lama. Mama kembali muncul di ambang pintu dan kelihatan tidak senang saat melihat anak tirinya duduk di kursi kayu jati kesayangannya. Karena itu juga, Magnolia yang sadar diri segera bersimpuh.

"Mama sudah makan?" basa-basi Magnolia bertanya. Ibunya melirik sinis ke arahnya lalu berkata, "Jaga mulut lo, ya. Jangan kayak lont* manggil-manggil anak orang supaya ngeliat lo. Persis banget tingkah lo kayak wanita murahan di jalan. Gue nggak heran. Mak lo pasti kayak gini juga. Makanya, sifatnya nurun ke anaknya."

Cepat, mama berjalan masuk rumah dan menutup pintu, meninggalkan Magnolia yang membeku di tempat usai diberi kalimat amat menyedihkan yang membuat dia berusaha tersenyum.

"Yaya cuma nyapa Abang, Ma. Bukan godain. Dia sudah baik mau ngajarin Keke. Maaf kalau Mama ngira, Yaya genit. Soalnya, Yaya nggak tahu cara ngomong yang bener sama Abang. Tiap mau buka mulut, selalu keluarnya kayak gitu. Emang mirip kayak cewek-cewek genit."

Dia tahu mama tidak mau repot-repot mendengar penjelasannya dan Magnolia tidak punya waktu buat bersedih. Dimas sudah selesai ngobrol dengan Malik dan sudah mengunci pagar dengan gembok. Saat dia kembali, dilihatnya Magnolia sedang tertegun sambil memegangi tenggorokannya.

"Kenapa, lehernya sakit?"

Pandangan Magnolia tampak kosong dan dia hanya melihat ke arah keramik teras yang berwarna merah polos. 

"Bau obat nyamuk, ya?" Dimas bertanya lagi. Kembali Magnolia menggeleng. Setelah itu, mereka melanjutkan membahas soal hingga tidak terasa hari sudah lewat tengah malam dan Magnolia kalah dengan rasa kantuknya.

"Dek?” 

Magnolia terbangun dan mengangkat kepala. Wajahnya merah tapi dia tidak menjawab pertanyaan abangnya dan memilih untuk menarik lembaran soal-soal UN tahun sebelumnya lalu memeriksa sisa nomor yang belum selesai dia kerjakan. Masih ada dua nomor lagi dan Magnolia merasa kalau sebelumnya Dimas sudah menyebutkan tentang hal tersebut sebelumnya.

“Badan lo agak anget. Udah aja belajarnya. Sisanya lo bawa semua ke kamar, istirahat.”

Magnolia mengangguk. Tapi setelah Dimas mengantar Malik tadi, dia jadi amat pendiam. Saat bangkit, Dimas sempat melihat di sekujur lengan dan kaki adiknya penuh dengan bentol-bentol bekas digigit nyamuk. Dia kemudian menahan langkah Magnolia yang bersiap berjalan menuju kamar.

“Lo tunggu bentar. Gue baru ingat sesuatu.” 

Dimas membuka pintu rumah dan dia menghilang dengan amat cepat, sementara Magnolia yang berdiri di depan teras mengedarkan pandang ke rumah seberang. Pagarnya tertutup, tapi di bawah bayangan lampu teras dia bisa melihat Malik sedang duduk di salah satu bangku sedang duduk membaca buku tebal yang bila diberikan kepadanya sudah pasti akan membuat kepalanya sakit. Jangan sampai buku itu ditemukan oleh Bang Beni, tukang cabai di pasar, pikir Magnolia. Jika tidak, pria itu akan merobek setiap lembarannya untuk dijadikan bungkus cabai.

“Ini, gue bantu olesin.” 

Dimas dengan cekatan membuka tutup botol minyak kayu putih lalu menuangkan isinya ke telapak tangannya sendiri dan tanpa ragu mengusapkan ke sekujur lengan dan kaki adiknya hingga beberapa kali. Hal tersebut membuat Magnolia bergumam pelan kepadanya, “Jangan, Mas. kalau Mama lihat, lo bakal kena marah.”

Dimas hanya mengerling ke arah Magnolia lalu kembali memastikan kalau tubuh adiknya sudah diolesi dengan minyak kayu putih. Sementara Magnolia sendiri melirik takut-takut ke arah dalam rumah sambil memeluk buku dan alat tulisnya dengan erat.

“Gu…gue serius. Biarin aja, gue juga mau langsung masuk abis ini.”

“Mama udah tidur. Lo jangan lupa cuci kaki dan buang air dulu. Gue nggak mau perut lo sakit lagi gara-gara nahan kencing.”

Magnolia membersihkan diri dan melakukan kegiatan buang air di sebuah jamban kecil yang terletak belakang rumag mereka. Seperti warung yang berada di depan rumah, jamban tersebut sudah ada sejak lama dan Magnolia tidak pernah lagi melakukan aktivitas di dalam rumah sejak diusir oleh sang ibu. Untung saja, tetangga kompleks tempat mereka tinggal tidak ada yang kepo dan mempertanyakan kenapa janda keluarga Hassan seolah-olah sengaja menelantarkan anak bungsu mereka. Di depan semua orang, Magnolia selalu bersikap kalau dia adalah anak kesayangan mama dan karena itu juga, mama selamat dari ejekan dan sindiran warga.

“Iya. gue pipis. Lo udahan, dong.”

Dimas tahu, daripada merasa rikuh karena sentuhannya, Magnolia lebih merasa ketakutan Dimas bakal dipergoki oleh ibu mereka. Karena itu juga, dia mempercepat pekerjaannya dan meletakkan botol minyak kayu putih ke atas meja.

“Itu punya Keke? Balikin, deh. Ntar dia ngamuk.” Magnolia sempat bertanya sebelum dia menuruni teras dan mengambil sendal jepit miliknya. 

“Punya gue. Sengaja beli kalau lo sakit atau nggak enak badan. Ini, lo ambil aja. Ntar kalau Keke masuk ke kamar gue malah diambil sama dia.”

Wajah Magnolia agak tidak enak sewaktu mendengar Dimas memintanya untuk mengambil minyak kayu putih tersebut sebelum ketahuan Kezia. Hal tersebut seolah menegaskan kalau Dimas lebih memilih Magnolia daripada adiknya yang lain. 

“Lo aja yang pegang. Nggak apa-apa kalau Keke mau ambil. Dia adek lo juga. Jangan pilih kasih.”

“Punya Keke lebih lengkap. Dia punya semuanya sedangkan lo nggak.” tangan Dimas terulur dan dia berharap Magnolia akan menerima pemberiannya. Akan tetapi, adik bungsunya itu hanya tersenyum.

“Lo manjain gue terus. Padahal aslinya kita doyan berantem. Gue jadi kangen masa-masa berantem kita. Sejak Papa pergi, lo berusaha banget jadi Papa buat gue, Mas. tapi, di mata gue, Papa yang papa kita. Sementara lo tetap Mamas gue.”

Dimas pada akhirnya berjalan mendekati Magnolia dan memaksa adiknya menerima minyak kayu putih tersebut tidak peduli gadis lima belas tahun itu menggeleng.

“Ambil.” desak Dimas. “Sekarang lo ke WC, gue temenin.”

Magnolia tidak banyak protes lagi. Dia takut suara mereka terdengar hingga ke kamar mama. Jadi yang bisa dia lakukan adalah mengucapkan terima kasih dan mempercepat langkahnya menuju jamban di belakang rumah. Badannya sudah begitu lelah dan yang paling dia inginkan malam ini adalah menutup mata dan beristirahat hingga penat di tubuhnya lenyap.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro