Kebahagiaan
“Ibu, apa itu kebahagaian?” tanyaku pada ibu dengan logat yang aneh karena dua gigi depanku bolong.
“Kenapa bertanya begitu?’”
“Soalnya saat aku berjalan di taman, aku mendengar orang-orang berbicara tentang kebahagiaan.”
Dengan lembut ibu menarikku ke dalam dekapannya. “Aduh, kamu pintar sekali menangkap informasi. Jadi kabahagiaan adalah apa yang kamu dapatkan dari orang lain.”
“Seperti yang biasa ibu berikan?”
“Iya, anakku.”
Dengan tekad anak-anak, aku ingin mendapatkan kebahagiaan ini selamanya. Tapi takdir suka bermain-main, beberapa tahun kemudian ibu mati.
Diakhir hayatnya, ibu sempat bilang padaku; ‘temukanlah kebahagiaanmu yang baru. Karena ibu tidak lagi bisa memberimu kebahagiaan….’ Dan aku tidak terlalu mengingat lanjutannya.
Aku yang masih terbilang anak-anak ini hidup terlunta-lunta di jalan. Untuk tidur aku tidak terlalu memikirkannya, aku bisa tidur di emperan toko atau di tumpukan kardus bekas. Tapi jika masalah makan dan wilayah, aku tidak bisa apa-apa. Beberapa anak jalan yang lebih senior pasti akan menghajarku dan merebut makananku.
Dulu mereka tidak berani, karena ada ibuku yang akan melindungi. Kini aku sebatang kara, hanya menjadi samsak empuk untuk mereka pukuli.
Sudah empat hari aku tidak makan. Kini kakiku sudah tidak bisa bergerak. Aku hanya tinggal menunggu malaikat Izrail menjemput.
Ironisnya, aku mengingat kalimat lanjutan dari wejangan terakhir ibuku. Ibu bilang; ‘… jika tidak bisa mencari, curi saja kebahagiaan orang untuk memperpanjang hidupmu.’ Aku hanya tersenyum pasrah mengingatnya.
Sayang sekali bu, ini sudah terlambat. Jika saja aku punya satu kesempatan, aku--
“Lihat anak malang itu.” Seorang bocah laki-laki berteriak sambil menunjukku.
Aku tidak peduli lagi. Jika dia ingin menendangku, menertawakanku, bahkan membunuhku, aku pasrah. Aku hanya ingin semua bisa selesai.
“Ayo kita obati dia.”
Lalu kesadaranku ditelan oleh gelap.
Saat aku membuka mata- aku terkejut aku masih bisa melakukannya- yang kulihat adalah kamar mewah dengan perabotan yang terlihat mahal. Kurasa ini yang disebut rumah orang kaya.
“Kau sudah bangun?”
Tubuhku refleks terlompat menjauhi bocah laki-laki itu. Sepertinya sikap ini kudapat dari anak-anak jalanan yang memukuliku setiap saat.
“Jangan takut. Aku hanya ingin mengelap wajahmu yang kotor.”
“Jangan menyentuhku!” bentakku.
“Oke oke. aku tidak akan menyentuhmu. Tapi setidaknya makanlah ini.” Bocah itu meletakkan piring penuh daging enak di dekatku. Sedangkan dia sendiri menjauh.
Aku yang masih waspada, mendekati daging yang menguarkan aroma menggoda iman. Aku yakin air liurku menetes. Dan tanpa menunda lagi, aku memakan daging lembut tersebut dengan ganas.
“Ha ha ha. Kau menyukainya.”
“Diam kau!”
“Ups….”
Untuk beberapa menit, hanya suara kunyahanku yang mengisi ruangan. Dia diam sambil menatapku dengan senyuman manis.
“Anu….” Dia mencoba kembali berbicara. “Namaku Hery. Siapa namamu?”
Dengan mendecap aku menjawab, “Entahlah.”
“Ah bodohnya aku. Bagaimana jika aku memanggilmu Mira?”
Tidak buruk juga. “Terserah.”
“Semoga kita jadi teman baik. Kau mau kan tinggal di sini?”
Tinggal di sini? Berarti aku bisa makan enak terus, tidak perlu memikirkan soal tempat tinggal dan tidak perlu takut dengan anak-anak jalanan kan? Apa ini kebahagiaan yang ibu bilang? Kalau iya, aku mau!
“Tentu saja aku mau!” kataku girang. Tanpa sadar aku melompat-lompat di atas kasur empuk ini.
“Ha ha ha, sampai sesenang itu ya?”
Dan bocah itu, Hery, ikut melompat di kasur tanpa memedulikan piring yang pecah. Dasar orang kaya.
Aku hidup enak seperti yang dibayangkan. Bukan hanya makan, sandang, papan, aku juga diberi perawatan kecantikan yang super mewah. Berkat itu aku terlihat seperti bangsawan.
Hery memberiku pelayan yang siap melayaniku . Sedangkan Hery sendiri selalu menuruti keinginanku. Aku sangat bahagia. Tapi ini bukan kebahagiaan yang ibuku katakan. Ini hanya bagian kecilnya. Dan aku pun ingat apa kebahagiaan yang dimaksud.
“Hery…” panggilku manja. “Boleh kutemani kau membaca?”
“Ah Mira, kemarilah.” Dia menepuk-nepuk pahanya. Menyuruhku untuk duduk di pangkuannya.
Seperti keinginannya, aku duduk dengan manis di sana. Aku menemaninya membaca sebuah buku tebal tentang dunia. Sesekali, Hery pasti akan menghelus kepalaku.
“Mira,” katanya setelah beberapa jam diam mendalami buku. “Kau tahu, aku ini anak yang menyedihkan.”
“Apa maksudmu?”
“Aku hidup dalam kesendirian dan aturan yang mengikat. Karena aku anak sulung, semua beban akan ditimpakan kepadaku saat aku berusia tujuh belas tahun, yaitu satu minggu lagi. Jujur, aku tidak ingin menerima semua itu. Aku ingin bebas.”
Aku turut sedih mendengar curhatannya. Tapi aku tidak bisa melakukan apapun. Untuk mengiburnya, kukecup pipinya.
“Terima kasih Mira. Hanya kau yang mau mendengarku. Benar-benar hanya kau yang mencintaiku. Aku harap kita bisa bersama dan bahagia.”
Bahagia huh? Pasti akan dapat.
Malam hari, sebelum hari ulang tahun Hery aku mengendap ke kamarnya. Jam menunjukkan waktu tengah malam. Dengan santai aku merayap masuk ke selimut Hery.
“Hery sayang… kau adalah orang yang telah menyelamatkanku dari kesedihan.” Dengan lembut aku menyibak anak rambut yang menghalangi keningnya. “Maka aku berterima kasih dengan setulus hati.” Lalu kukecup keningnya lama.
Sungguh, terima kasih akan kebahagiaanmu.
Besok adalah hari yang sibuk. Banyak orang datang dengan tergesa-gesa. Mereka mondar-mandir dengan ekspresi wajah yang beragam. Tapi Hery tidak seperti mereka.
Pria itu hanya diam tertidur dengan wajah yang tenang. Beberapa orang menangis disampingnya. Aku juga salah satu yang di dekatnya saat ini. Dapat kudengar percakapan mereka.
“Hei kau tahu, kalau tuan Hery mati mendadak?” seorang wanita tua dengan riasan menor berbisik ke orang disebelahnya, yang wajahnya tidak kalah menor darinya. “Kudengar dia mati kerena diracun.”
“Kalau yang kudengar dia serangan jantung.”
“Loh bukannya karena dia bunuh diri?” bertambahlah lingkaran setan orang julid di sana. Mereka berbisik dengan suara yang cukup keras.
“Hentikan gosip murahan kalian, ibu-ibu beriasan badut!” teriakku kepada mereka kala pembicaraan mereka semakin menganggu.
“Eww. Siapa yang membawanya masuk?” kata salah satu dari mereka dengan jijik.
“Singgikirkan dia!”
Sebelum aku di lempar keluar, seorang gadis manis menolongku. Dialah adik dari Hery, Monica. Gadis itu mendekapku.
“Tolong jangan buat keributan di samping jenazah kakakku. Dan kalianlah yang salah. Kalian bergosip terlalu berisik, makanya Mira marah.”
Setelah dimarahi demikian, para penjulid bungkam. Kerja bagus Monica.
“Mira, ayo main sama aku. Kamu kesepiankan?”
“Tidak aku mau di sini lebih lama. Sebelum Hery dikubur di tanah.”
“Iya iya. Kamu juga lapar ya? Ayo makan. Dan lagi kalau kucing manis sepertimu di sini, hanya akan dilempar.”
Hah, berbicara kepada mamalia berkaki dua ini sungguh menyebalkan. Mereka tidak mengerti bahasaku. Tapi syukurlah Hery selalu paham keinginanku. Agak meyesal aku mengambil kebahagiaannya. Tapi karena terlanjur ya sudahlah.
Kali ini aku butuh target baru. Dan targetnya kutemukan.
“Hei Monica, berikan aku kebahagiaanmu.”
“Apa? Kau ingin main setelah makan? Baiklah.”
Yah, setidaknya dia sudah setuju aku akan mengambil kebahagiaanya. Berapa banyak yang dia punya? Sepuluh? Dua puluh seperti Hery? Atau lebih?
Apapun itu, sangat ingin kucuri.
****
(Jumlah kata: 1.057)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro